Menuju konten utama

Tren Laki-laki Pecinta Kucing

Memajang foto bersama kucing peliharaan di Instagram sedang ramai dilakukan para pria. Ada apa di balik tren naiknya para pria pecinta kucing ini?

Anak kucing pada saat pameran kucing di Bishkek, (23/3. Kaum laki-laki mulai mulai marak memelihara kucing. AFP/Vyacheslav Oseledko

tirto.id - Pemilik anjing sadar bahwa, jika Anda menghidangkan makanan, dan air, dan tempat tinggal, dan kasih sayang, maka anjing-anjing itu akan menganggap Anda dewa mereka. Sebaliknya, para pemilik kucing, sudah tentu sadar bahwa dengan menyajikan makanan, dan air, dan tempat tinggal, dan kasih sayang, maka kucing-kucing itu akan menganggap diri mereka sendirilah sang dewa.

Christoper Hitchens, penulis cum jurnalis Inggris, pernah menulis penggalan kutipan di atas dalam bukunya The Portable Atheist: Essential Readings for Nonbelievers. Rasanya, kalimat tersebut amat tepat menggambarkan keangkuhan makhluk bernama kucing itu. Mereka memang punya citra buruk. Di antaranya: angkuh, sombong, pemalas, dan tak setia, tetapi, kucing tetap jadi salah satu hewan peliharaan paling populer di dunia ini.

Di Australia, pecinta kucing meningkat sampai 2,3 juta orang. Di Inggris, angkanya naik dari 500 ribu pada 2016 jadi 8 juta pada 2017. Dari tingginya angka-angka ini, ada fenomena yang perlu disorot. Sekitar 1 juta pecinta kucing di Australia adalah pria. Sementara di Inggris, pecinta kucing pria berjumlah 5,5 juta. Artinya, satu dari lima pria di Inggris adalah pecinta kucing.

Ada apa dengan pria dan kucing-kucing ini?

Para pria pecinta kucing ini dijuluki cat guy atau cat men atau cat dad, alias laki-laki meong. Kenaikan tren ini cukup kasat mata di media sosial. Foto-foto pria dengan kucing kesayangannya, banyak berseliweran. Misalnya, seperti akun Hot Dudes with Kittens di Instagram, ia adalah bukti bahwa tren ini makin tinggi dengan lebih dari 500 foto yang diunggah dan pengikut lebih dari 148 ribu.

Heather Fraser, seorang peneliti dari Universitas Flinders menyebut fenomena ini adalah sebuah pertanda baik. Meningkatnya para pria pecinta kucing ini membantu melunturkan stereotip maskulinitas yang lengket pada laki-laki. Dalam konsep maskulinitas, untuk waktu yang lama, pria dicap sebagai makhluk yang keras dan tak menunjukkan perasaan kasihnya pada hewan peliharaan, meski tak sedikit yang memelihara anjing, hewan bercitra maco, setia kawan, dan disiplin. Namun, para pria pecinta anjing dinilai lebih wajar ketimbang para pria pecinta kucing.

“Ada aspek-aspek dari maskulinitas ortodoks yang menghalangi atau melarang… banyak pria untuk tidak bisa bicara dengan cara yang sama seperti perempuan, tentang perasaan mereka pada binatang,” ungkap Fraser pada ABC News.

“Jadi kukira ini adalah pergeseran budaya yang menarik, terlebih lagi melihat para pria-pria muda yang memamerkan kecintaan mereka pada kucing lewat banyak cara [di media sosial] yang menantang stereotip keperempuan-perempuanan,” tambahnya. Perlu diketahui kalau frasa ‘keperempuan-perempuanan’ punya muatan buruk yang menebalkan batas antara laki-laki dan perempuan: seolah-olah perempuan berada di kasta tertentu yang lebih rendah daripada laki-laki.

Fraser sendiri adalah seorang dosen dan peneliti “Feline Masculinities”, studi tentang meningkatnya laki-laki meong di media sosial. Tujuan studinya adalah untuk memahami keberagaman praktik gender yang dibawa para pria pecinta kucing ini di masyarakat modern.

Sejarah manusia mencatat, tak hanya pria yang tertimpa stigma “lemah” atau “banci”, bagi perempuan pecinta kucing, ada stigma-stigma tertentu yang juga tak kalah berat bebannya, semisal: “perawan tua” atau “penyendiri yang kesepian”.

Dalam artikel Hayley Gleeson di ABC, setidaknya sejak abad ke-19, ia telah mengamati bahwa di antara para penutur bahasa Inggris, kucing-kucing sudah dilekatkan dengan para wanita dan feminin, sementara anjing digeneralisasikan sebagai sahabat manusia dan lambang maskulinitas.

Gleeson kemudian mencontohkan tulisan F.B Harrison dalam The Journal of Education pada 1891. "Anjing dengan energi berapi-api, gonggongan nyaring, dan tabiat yang selalu waspada membuatnya punya sifat laki-laki; [sedangkan] kucing dengan kemalasannya yang lucu, ngeongan cempreng, penuh tipu-daya membuatnya punya karakter perempuan.”

Ditambahkannya, pada masa awal abad ke-20, ilustrasi-ilustrasi kucing berpakaian sebagai perempuan digunakan orang-orang Amerika Serikat dalam propaganda anti-hak pilih untuk melukiskan hak politik perempuan adalah sebuah kekonyolan, sekaligus jadi simbol untuk menurunkan derajat gerakan mereka—para wanita AS yang dahulu kala tak boleh ikut pemilu. Kucing-kucing, seperti perempuan, dianggap sepele, tak mampu dan tak layak dalam hal-hal serius.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/04/25/PRIA_PECINTA_KUCING-QUITA.jpg" width="860" alt="Infografik Pria Pecinta Kucing" /

Pada 1998, dan 2013, masih ada sejumlah studi yang mengamini stigma-stigma tersebut. Bahkan pada Agustus 2016 lalu, Facebook juga mengeluarkan sebuah hasil riset yang mengamini eksistensi stigma pada para pecinta kucing.

Tapi kenaikan tren para pria pecinta kucing hadir sebagai hawa segar yang bisa merombak stigma-stigma tersebut. “Trims untuk media sosial,” kata Fraser. “Kini para laki-laki meong bisa bergabung komplotan lain yang berisi orang-orang pecinta kucing.”

Justru pria-pria pecinta kucing kini punya nilai tambah tersendiri bagi para perempuan. Pria-pria ini dinilai lebih penyayang.

Roy Morgan Research di Australia bahkan mengeluarkan temuan mereka yang sebut pria pecinta kucing berpenghasilan lebih baik dari para pria yang tak memelihara kucing. Temuan lainnya, 29 persen pria pecinta kucing lebih berpikiran terbuka dan tidak menganggap homoseksualitas sebagai tindakan imoral. Stigma tentang pecinta kucing yang lebih memilih singel seperti kata Facebook juga dibantah, karena 70 persen dari mereka sudah menikah atau dalam hubungan romantis yang de facto.

Tapi apakah para pria ini justru memelihara kucing agar para wanita mendekat? Paul Flackney, salah satu laki-laki meong di Inggris, menjawab pertanyaan itu dalam opininya di The Guardian. Ia bilang, mencintai kucing adalah tentang menyalurkan hasrat berteman seperti yang dipahami orang-orang yang senang memelihara hewan. “Ini tak harus tentang menarik perhatian lawan jenis,” tulis Flackney. Baginya, punya hewan peliharaan bikin dirinya jadi lebih sehat. “Kucing itu juga lucu, lebih lucu dari yang kukira, bahkan,” tulisnya.

“Kalau kau adalah salah satu pecundang yang tak punya kucing, aku akan merekomendasikan untuk cari bantuan—kau terhitung berbuat baik, sekaligus sedikit mengeksplorasi… karakter barumu yang mungkin menarik,” tambahnya.

Tertarik jadi laki-laki meong?

Meong~

Baca juga artikel terkait KUCING atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
-->