Menuju konten utama
Decode

Gen Z, Di Antara Pengangguran dan Jerat Gig Economy

Pengemudi ojek online di Indonesia masuk dalam kategori pekerja ekonomi gig yang punya kerentanan kesejahteraan yang tinggi.

Gen Z, Di Antara Pengangguran dan Jerat Gig Economy
Header Periksa Data Gig Worker. tirto.id/Fuad

tirto.id - Generasi Z (Gen Z), yakni mereka yang lahir antara 1997 dan 2012, kini semakin banyak yang terjebak dalam pusaran pekerjaan ekonomi gig, salah satunya ojek online (ojol), baik penuh waktu maupun paruh waktu. Fenomena ini didorong oleh tingginya angka pengangguran di kalangan Gen Z, minimnya keahlian dan peluang mencari pekerjaan alternatif, serta iming-iming gaji yang lebih tinggi dan fleksibilitas waktu kerja yang ditawarkan oleh ojol.

Salah satunya Ardhia, seorang perempuan berusia 26 tahun yang ditemui Tirto di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (10/7/2024). Sebagai bagian dari "generasi sandwich" yang harus menanggung biaya orang tua dan adiknya, Ardhia menjadikan ojol sebagai pekerjaan sampingan. Hari itu, selepas bekerja sampai petang, ia berencana lanjut "narik" ojek daring (ojek online) atau ojol sampai sekitar pukul setengah satu pagi.

“Jadi intinya kenapa punya side job ya karena bertahan aja sih menjadi generasi sandwich. Dengan, istilah lebay-nya ya, masih membawa sejuta mimpi gitu. Karena ngewujudin mimpi kan perlu budget ya. Mimpinya gratis tapi ngewujudinnya, masa cuma pakai doa?” celetuk Ardhia diselingi tawa, saat bercakap-cakap dengan Tirto, Rabu (10/7/2024).

Dalam sehari, Ardhia menargetkan pendapatan sebesar Rp100 ribu. Jumlah tersebut ia capai dengan "onbid" (menerima order) sekitar 5-9 jam, baik sebelum maupun setelah menjalani pekerjaan utamanya.

Uang tersebut ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, operasional kendaraan seperti bahan bakar, membayar sewa kos, dan kebutuhan pribadi lainnya. Gaji dari pekerjaan utamanya ia sisihkan seluruhnya untuk keluarga.

"Jadi [kalau] gajian jam 1 malam, jam 2 udah gak ada. Jadi buat makan besok ya paling nyisain, misalkan 25 [ribu rupiah]. Jadi kalau aku sehari gak 'narik' kan kepakai dong 25-nya. Lah gimana nih makan besoknya? Kecuali udah kayak, 'oh hasil 'narik' kemarin cepek [Rp100 ribu] misalnya. Kayaknya gue masih aman buat gak narik'," terangnya.

Dalam kesehariannya, Ardhia biasa mengambil pesanan dengan jarak tempuh per perjalanan berkisar antara 2-12 km. Ia bahkan pernah mendapat order sejauh 35 km, dari Tanah Abang, Jakarta Pusat, hingga Pamulang, Tangerang Selatan. Ia mengaku tidak bisa memastikan total jarak tempuh per hari dan berapa jumlah pesanan yang ia ambil, karena jumlahnya tak menentu.

Realita di Balik Gemerlapnya Ojol: Profesi Penuh Waktu

Meskipun Ardhia menjadikan ojol sebagai pekerjaan sampingan, faktanya banyak pekerja ojol, termasuk Gen Z, yang menjadikan profesi ini sebagai sumber penghasilan utama mereka.

Berdasarkan survei The PRAKARSA tahun 2017 terhadap 176 orang pengemudi ojol di Jakarta dan Surabaya, 60 persen di antaranya mengaku menjadikan pekerjaan tersebut sebagai sumber pemasukan utama mereka.

Temuan serupa juga didapat dari kajian Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada tahun 2023. Sekitar 61 persen responden dari 225 orang pengemudi ojol di Jabodetabek, mengaku ojol adalah pekerjaan utama dan satu-satunya mereka.

Padahal, menurut pakar seperti Nabiyla Risfa Izzati, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pekerjaan ojol semestinya dipandang sebagai pekerjaan sampingan dan bukan pekerjaan penuh waktu.

Dia menjelaskan, gig berarti “sebentar”, oleh karenanya, pekerjaannya bersifat fleksibel dan idealnya hanya dilakukan “sebentar-sebentar”. Tapi, kondisi Ardhia yang menjadikan ojol sebagai sampingan rupanya tidak berlaku bagi semua pengemudi ojol.

Ekonomi gig sendiri merujuk pada ragam pekerjaan jasa yang dilakukan oleh pekerja individu dan dimediasi oleh platform digital. Ekonomi gig erat kaitannya dengan pekerja prekariat yang dibayar murah, pekerjaannya berbasis kontrak yang tidak menentu, serta tingkat keamanan pekerjaannya yang rendah.

Menurut Nabiyla, perkembangan gig economy sebagai profesi penuh waktu di Indonesia disebabkan oleh pasar kerja yang masih haus terhadap pekerjaan apapun. Hal itu dilatarbelakangi oleh tingkat pengangguran yang masih tinggi dan sektor kerja formal yang cenderung saturated atau stagnan.

“Sehingga mau nggak mau orang mengambil kesempatan apapun yang ada di depan mereka. Jadi pertanyaannya, ketika mereka bilang bahwa, ‘oh saya memang mau kok, saya memang memilih untuk jadi ojol’, is it really though?” kata Nabiyla, lewat perbincangan Zoom, Rabu (10/7/2024).

Nabiyla sendiri sanksi soal motivasi mereka yang memilih pekerjaan sebagai driver ojol. Murni dari keinginan atau karena tidak punya pilihan. Seperti kasus Ardhia, yang mengakui bahwa ia sebenarnya tak ingin bekerja di jalanan karena resikonya, namun belum menemukan pekerjaan lain yang lebih cocok.

Studi Permana, dkk (2023) yang mengacu pada survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 mengestimasi bahwa angkatan kerja Indonesia yang menjadikan aktivitas gig sebagai pekerjaan utama ada sebanyak 430 ribu hingga 2,3 juta orang. Angka itu setara dengan 0,3 hingga 1,7 persen dari total angkatan kerja pada 2019.

Dari data BPS yang sama, studi tersebut juga menghitung estimasi jumlah angkatan kerja Indonesia yang memperlakukan pekerjaan gig sebagai pekerjaan tambahan atau sampingan. Hasilnya, diperkirakan ada 140 ribu hingga 900 ribu orang Indonesia yang menjadikan pekerjaan gig sebagai pekerjaan sampingan.

Sementara menurut data Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) di pernyataan pada media, per Oktober 2023, terdapat lebih dari 4 juta orang pengemudi ojek online di Indonesia.

Sayangnya, Tirto juga tidak menemukan data terbaru maupun data resmi pemerintah yang memotret seberapa banyak pekerja gig maupun mitra ojek online di Tanah Air. Nabiyla, sebagai pengamat hukum ketenagakerjaan, juga menyoroti alpanya data tersebut.

Gen Z Dalam Pusaran Kerja Ojol

Fenomena pergeseran pekerjaan ekonomi gig menjadi profesi penuh adalah dampak dari masalah ketenagakerjaan, terutama bagi kaum muda.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2024, tingkat pengangguran di kalangan muda mencapai 16,42 persen. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan Agustus 2023, namun relatif stabil jika dibandingkan dengan Februari 2023.

BPS mengkategorikan kaum muda atau usia muda bagi mereka yang berusia 15-24 tahun. Ini berarti, dari 100 orang penduduk berusia 15-24 tahun yang termasuk angkatan kerja, terdapat sekitar 16 orang yang menganggur.

Lebih lanjut, BPS juga mengukur proporsi penganggur umur muda terhadap total penganggur. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) terakhir, angkanya mencapai 50,29 persen.

“Angka ini menunjukkan bahwa pada Februari 2024, dari 100 orang penganggur terdapat sekitar 50 orang penganggur yang berumur antara 15 sampai 24 tahun. Dengan arti lain, sekitar setengah dari total penganggur merupakan penganggur umur muda,” begitu bunyi keterangan dari dokumen Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia edisi Februari 2024.

Mungkin masih ingat, pada Mei 2024, ramai diskusi soal data BPS yang merekam ada 9,9 juta penduduk usia 15-24 tahun yang tidak memiliki kegiatan produktif atau atau youth not in education, employment, and training (NEET). Jumlah tersebut setara dengan 22,25 persen dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional.

Sementara itu, BPS juga mencatat kalau pekerja sektor informal masih dominan di Indonesia.

Hasil Sakernas 2024 menunjukkan ada 84,13 juta orang yang bekerja di sektor informal. Jumlahnya setara dengan 59,17 persen penduduk yang bekerja. Proporsinya, jika dibandingkan pekerja sektor formal, juga cenderung stabil di atas 55 persen sejak tahun 2019.

Dengan kondisi tersebut, banyak kaum muda yang terjebak berkutat dengan pekerjaan gig economy seperti ojol yang kian populer di Indonesia. Di tengah tingginya angka pengangguran, pilihan untuk menjadi ojol menjadi alternatif yang masuk akal.

Hal ini terbukti dengan cerita Kris (27), seorang driver ojol yang sudah makan asam garam di jalanan sejak awal usia 20-an. Ia menggantungkan hidupnya di balik kemudi sepeda motornya.

“Dari 2018, udah jalan enam tahun (kerja penuh waktu jadi ojol). Kalau dari penghasilan, dulu awal-awal –sekitar tahun 2018-2019– saya akui itu sangat besar, bisa lebih dari Rp500 ribu sehari. Sampai dulu resign dari kerjaan buat fokus nge-Grab," ceritanya pada Tirto, Rabu (10/7/2023).

Saat itu, ia memutuskan "berkarier" di salah satu penyedia layanan ojol besar yang ada di Indonesia.

Namun, semuanya berubah ketika pandemi Covid-19 melanda pada tahun 2020, yang membatasi pergerakan dan mobilitas masyarakat. Penghasilan Kris pun ikut menurun drastis.

Seiring waktu, pandemi mulai mereda dan mobilitas masyarakat kembali normal. Namun, penghasilan Kris tidak semulus sebelumnya.

"Kesini-sini makin banyak persaingan kan, ada Gojek, Maxim, ShopeeFood, segala macam. Sudah mulai turun lagi sekarang (pendapatan). Sekarang mah, keluar pagi, sampai ketemu malam, Rp100 ribu juga belum dapat," ceritanya.

Kris juga menyebut, kerap berubahnya skema bonus yang diterapkan operator sebagai faktor lain yang membuat pendapatannya tidak sebesar dulu. Dia juga dibuat kebingungan dengan berbagai sistem baru dengan berbagai skemanya, yang menurut dia malah membuatnya kesulitan mendapat konsumen.

Kisah Kris tergambar dalam laporan IDEAS yang menunjukkan tren penurunan pendapatan ojol di Jabodetabek. Di Bekasi, Jawa Barat misalnya, estimasi rata-rata pendapatan bulanan ojol pada 2018 - 2019 mencapai Rp7,2 juta, hampir dua kali lipat Upah Minimum Kota (UMK) pada periode tersebut.

Angka itu lalu merosot signifikan saat pandemi Covid-19 tahun 2020 - 2021, di mana rerata pendapatan ojol di Bekasi hanya menyentuh Rp2,49 juta.

Meski selama 2022 - 2023 reratanya membaik, tapi capaiannya tak secermelang saat masa kejayaan ojol tahun 2019-an. Pada rentang 2022 - 2023 itu, rata-rata upah ojol di Bekasi berada di level Rp4,03 juta, di bawah rerata UMK.

Nabiyla dari UGM turut menggarisbawahi tren penurunan penghasilan ini dan menyebutnya dengan periode berakhirnya masa "honeymoon" ekonomi gig di sektor transportasi. Kata Nabiyla, hal ini bisa menjadi justifikasi bahwa perlindungan upah penting.

"Kenapa kita perlu perlindungan hukum, kita perlu UMR, biar semuanya nggak dikontrol oleh pasar. Karena ketika semuanya dikontrol oleh pasar, yang terjadi sekarang pasarnya udah mulai jenuh. Kalau misalnya di banyak negara lain kan bahkan orang udah mulai berpindah," katanya.

Sepenuturan Kris, sebelum menjadikan ojek online sebagai pekerjaan utama, dia sempat bekerja di pabrik di Cikarang. Bermodal ijazah paket C, dia sempat bekerja menjadi cleaning service selama kurang lebih setahun.

“Waktu itu tahun 2017-2018, (gaji saya) Rp3,7 juta, sesuai UMR,” ujarnya.

Awalnya, dia juga menjadikan ojol sebagai pekerjaan sampingan. Mengingat setiap harinya harus menempuh perjalanan dari rumah di daerah Bekasi Utara ke Cikarang, Kris inisiatif mendaftar menjadi ojol, untuk mendapat pemasukan tambahan saat pergi dan pulang kerja. “Lumayan buat bensin kan, jadi gaji utuh,” ujarnya.

Sampai suatu ketika, di hari liburnya, dia mencoba "narik" ojol seharian. Dari dua hari itu dia mendapat Rp1,7 juta. Hitung-hitungannya dia bisa mendapat jauh lebih banyak dibanding bekerja di pabrik. Belum lagi jam kerja yang cenderung lebih santai dan fleksibel.

Akhirnya, tahun 2018, dia memutuskan menjadi pengemudi ojek online secara penuh waktu. Hasilnya pun terbilang lebih dari cukup. Uang yang dikumpulkan dari ojol, membuatnya bisa membeli sepeda motor baru, menikah, sampai untuk persalinan dua anaknya.

Namun, segala cerita manis itu harus berakhir. Diawali dengan benturan hebat akibat pandemi, dia harus menjual sepeda motornya. Sekarang pun ojol yang dia lakukan bermodalkan sepeda motor listrik milik operator yang sistemnya adalah bayar sewa harian.

Dari pendapatannya hari itu, Rp98.600, Kris harus menyisihkan sekitar Rp75 ribu untuk membayar sewa sepeda motor listrik. Mengingat malam makin larut dan baterai gawai yang menipis, Kris pasrah kalau hanya bisa membawa pulang belasan ribu rupiah.

Meski tidak menyesal menjadi driver ojol penuh waktu, dia mengatakan kalau saat ini ada tawaran untuk bekerja lagi di pabrik, dia sangat tertarik. Pemasukan yang lebih pasti serta adanya berbagai jaminan kesejahteraan yang jelas menjadi daya tarik tersendiri untuknya. Pun, waktu kerjanya juga tidak sepanjang dia menarik ojol belakangan ini.

Tetapi minimnya kemampuan khusus yang dimiliki, membuat Kris merasa sudah semakin sulit untuk dia bisa masuk ke pasar tenaga kerja formal.

Hal ini bisa menjadi gambaran rentannya para pekerja ekonomi gig. Menukil paparan Tim Peneliti The SMERU Research Institute pada Juni 2023, jebakan keterampilan (skill trap) menjadi salah satu sumber kerentanan pekerja ekonomi gig.

Selain itu, ada juga kerentanan pekerja ekonomi gig terhadap ketidakpastian dan guncangan ekonomi, serta stres dan waktu kerja yang terlalu panjang. Terakhir, paparan itu juga menyebut, pekerja ekonomi gig rentan terhadap kejahatan siber dan pencurian data pribadi. Dua sumber kerentanan pertama agaknya sejalan dengan kondisi yang dialami Kris.

Ojol Tidak Memenuhi Kriteria Kerja Layak?

Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), dalam laporan bertajuk "Ilustri Sejahtera Ojek Daring Metropolitan" yang terbit Agustus 2023 lalu, menyoroti kerentanan keterampilan pengemudi ojol.

"Rendahnya keahlian dan kapasitas mencari pekerjaan alternatif membuat ojek daring rentan terpapar guncangan di dunia kerja, seperti menjadi pengangguran dan setengah menganggur, sehingga rela menjalani pekerjaan dengan upah rendah, yang membuat mereka terus berada dalam kemiskinan," begitu salah satu poin yang menjadi sorotan dari IDEAS.

Survei IDEAS terhadap 225 pengemudi ojol di Jabodetabek juga menunjukkan bahwa usia mitra ojol terbanyak berada di kelompok usia 31-40 tahun (38,2 persen) dan 21-30 tahun (36,4 persen).

Mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir SMA/K (66,7 persen) dan ada pula 12,9 persen dengan pendidikan terakhir S1.

Melihat latar tingkat pendidikan tersebut, IDEAS menyebut hal ini bisa menjadi penyebab rendahnya kapasitas mencari pekerjaan alternatif bagi driver ojol.

“Menjadi mitra ojek daring adalah pilihan ekonomi kaum miskin kota yang tak bisa dihindari untuk bertahan hidup, bukan sebuah jenjang karir atau alternatif menunggu untuk pekerjaan di sektor formal dengan penghasilan tetap yang lebih tinggi,” tulis mereka dalam laporan tersebut.

Lebih lanjut, IDEAS juga mencoba menakar pekerjaan pengemudi ojol sebagai pekerjaan layak (decent work). Mereka menggunakan lima kriteria; pendapatan yang layak, lingkungan kerja yang aman, perjanjian kerja yang adil, pengelolaan kerja yang partisipatif dan keterwakilan yang memadai. Berdasar lima kriteria tersebut, driver ojol disebut tidak memenuhi kriteria kerja yang layak.

Dari kajian IDEAS, disebut pengemudi ojol saat ini, cenderung mendapat penghasilan di bawah upah minimum kota.

Rata-rata pendapatan kotor harian pengemudi ojol Rp168 ribu. Jika dikalikan 24 hari kerja, jumlahnya Rp3,9 juta per bulan. Nilai ini lebih kecil dari UMR di Jabodetabek yang berkisar antara 4,44 juta - 4,99 juta.

Pengemudi ojol harus bekerja lebih dari 10 jam untuk mendapat nilai upah tersebut. Di Kota Tangerang, rata-rata waktu kerja harian pengemudi ojol mencapai 11,8 jam.

Mitra ojek online mendapat tekanan untuk tidak pernah menolak order demi mendapat tingkat performa yang tinggi. Di sisi lain, jumlah pengemudi ojek online terus bertambah, membuat persaingan semakin kuat. Kondisi ini kerap memaksa pengemudi ojol untuk bekerja tanpa hari libur untuk mengejar target pemasukan.

Hal ini belum diperkeruh lagi dengan nilai bagi hasil dengan operator yang mencapai 20 persen. Menurut catatan IDEAS ini tidak sesuai dengan Kepmenhub No. 667/2022 yang menetapkan biaya sewa aplikasi dari bisnis ride hailing maksimum 15 persen.

IDEAS juga menyoroti hubungan operator dan mitra pengemudi ojol yang cenderung satu arah. Sebesar 76,9 persen responden mengaku tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan pihak aplikator. Selama menjadi mitra ojek daring, seluruh interaksi dengan pihak aplikator sepenuhnya hanya melalui aplikasi digital yang cenderung bersifat satu arah.

Mitra ojol juga dinilai rentan eksploitasi kerja karena minimnya keterwakilan mereka untuk berhadapan dengan operator. Hal ini berakar dari keengganan operator terhadap keberadaan serikat pekerja ojek online.

Terlepas dari segala polemik dan kerentanan yang ditimbulkan, keberadaan pekerjaan ekonomi gig telah menyerap tenaga kerja dan menekan angka pengangguran. Mereka juga membuka peluang baru untuk mendapatkan penghasilan.

Menurut Head of Product Communications Gojek Rosel Lavina, skema yang ditawarkan perusahaannya mendukung terciptanya peluang penghasilan dan fleksibilitas waktu bagi mitra driver mereka.

"Selain itu, jutaan mitra juga tetap berpenghasilan ketika masa-masa yang sulit seperti pada masa pandemi lalu," ujarnya lewat keterangan tertulis kepada Tirto, Jumat (12/7/2024).

Dia juga memaparkan temuan dari Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) yang menunjukkan kontribusi Gojek untuk menekan tingkat pengangguran.

Salah satu temuan riset tersebut menyebut antara tahun 2015-2023, Gojek bersama-sama ekosistem GoTo menurunkan angka pengangguran sampai 8,25 persen per tahun di Indonesia. Secara khusus di daerah luar Pulau Jawa bahkan pengurangan angka pengangguran sampai 21 persen.

Terkait kesejahteraan dan perlindungan mitra, Rosel menjelaskan kalau sejak tahun 2016 hal tersebut juga sudah menjadi fokus perusahaan. Implementasinya lewat program Gojek Swadaya yang bertujuan meringankan beban operasional mitra juga keluarga mereka.

Program tersebut hadir dalam bentuk layanan, mulai dari pulsa murah, subsidi belanja, bensin perawatan kendaraan sampai dengan beasiswa untuk anak mitra driver. Gojek juga mengaku memberikan asuransi kecelakaan kerja yang ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan juga menyediakan opsi perlindungan jangka panjang seperti perlindungan kecelakaan, kesehatan, dan aset mitra (gawai, kendaraan, dan atribut).

Perlu Perbaikan Pasar Kerja dan Upskilling Pekerja

Meski memberi dampak terhadap jumlah pengangguran dan terus meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan mitra, menurut dosen hukum UGM, Nabiyla, ekonomi gig tetap tidak bisa menjadi solusi akhir dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Sebab, ekonomi gig bukanlah pasar kerja yang berkelanjutan.

Nabiyla bilang, sudah banyak negara yang mengakui bahwa orang-orang yang masuk ke pusaran ekonomi gig seharusnya menjadikan pekerjaan itu sebagai pengisi kekosongan dalam rangka mencari pekerjaan yang berkualitas.

Meski ekonomi gig menawarkan solusi, tapi sektor itu tak seharusnya dipandang sebagai solusi akhir. Sebab, menurut Nabiyla, solusi akhir adalah pekerjaan berkualitas, yang tidak ditawarkan oleh ekonomi gig.

“Dan pekerjaan yang berkualitas, mau tidak mau, terutama dalam konteks Indonesia saat ini yang peraturan ketenaga kerjaannya fokus ke sektor-sektor formal, pekerjaan yang berkualitas adalah pekerjaan di sektor formal,” katanya.

Lebih jauh, Nabiyla menyampaikan, kalau aturan ketenagakerjaan diubah lebih akomodatif terhadap sektor informal, maka bisa jadi jawabannya berbeda, karena artinya sektor informal pun telah dipayungi hukum.

Begitu pula ketika mengamini ekonomi gig sebagai in between jobs, maka seharusnya ada pekerjaan yang bisa pemerintah siapkan selanjutnya, supaya orang tidak terus-menerus terjebak dalam ekonomi gig.

“Jadi masalahnya sekarang kita punya nggak pekerjaan yang bisa kita tawarkan kepada para pengemudi ojol, ini tadi, yang ketika mereka merasa bahwa, ‘oke ternyata sudah terlalu suram ya di sini, oh ternyata pendapatan saya udah terlalu rendah ya di sini, maka saya ingin bekerja di tempat lain’, kita punya nggak? Memberikan pilihan itu nggak ke mereka?” ujar Nabiyla.

Nabiyla menyampaikan dua solusi struktural yang bisa dilakukan pemerintah dan swasta, pertama soal perbaikan pasar kerja. Artinya, menciptakan lapangan kerja berkualitas atau penuh waktu dan berada dalam hubungan kerja formal, serta keamanan pekerjaan yang mumpuni, menjadi penting.

Hal lainnya yang juga mesti disorot adalah soal peningkatan keahlian dari pekerjanya ekonomi gig itu sendiri. Dalam artian, bagaimana para pekerja tetap punya akses terhadap pelatihan-pelatihan yang meningkatkan skill mereka. Dengan demikian, tidak hanya pelatihan yang terkait dengan pekerjaan mereka saat ini.

“Yang seharusnya mereka dapatkan juga kan pelatihan yang juga bermanfaat kalau mereka berhenti dari pekerjaan ini, kan,” katanya.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto & Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto & Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty