Menuju konten utama

Gempa dan Tsunami yang Selalu Mengintai Pangandaran

Menurut catatan sejarah, juga penelitian para ahli, pantai selatan Jawa memang rentan gempa bumi dan tsunami.

Gempa dan Tsunami yang Selalu Mengintai Pangandaran
Pusat gempa (15/12/17) pukul 23:47 WIB. Foto/USGS

tirto.id - Pangandaran lagi-lagi dihantam gempa bumi. Pangandaran sedari dulu adalah daerah rawan tsunami – dan Pangandaran masih akan terus begitu.

Menurut LIPI, Pantai selatan Pulau Jawa rawan bencana tsunami karena berada di zona rawan gempa bumi akibat tumbukan antara lempeng samudra Indo-Australia dengan lempeng benua Eurasia. Interaksi kedua lempeng pernah terjadi pada masa lalu dan masih akan terjadi di masa datang. Gempa bumi dan tsunami di pantai selatan Pulau Jawa dapat kembali terjadi setiap saat.

Sejarah gempa yang disertai tsunami di pantai selatan Pulau Jawa hanya bisa ditarik mundur sampai tahun 1840, karena LIPI tidak memiliki catatan yang lebih awal dari itu.

Gempa bumi disertai tsunami pada 1840 dan 1859 melanda pantai dari sekitar Yogyakarta hingga sekitar Trenggalek. Pada 20 Oktober 1859 terjadi gempa di Pacitan. Kekuatan gempa diperkirakan di atas 7 Skala Richter.

Pada 10 Juni 1867 terjadi gempa di Yogyakarta. Gempa yang diperkirakan berkekuatan 8 Skala Richter tersebut menewaskan lebih dari 500 orang.

Gempa yang terjadi pada 11 September 1921 memiliki pusat gempa yang letaknya berdekatan dengan pusat gempa Pangandaran 2006. Gempa bumi dan tsunami 1921 juga melanda daerah yang sama dengan daerah landaan tsunami Pangandaran 2006 – dari Tasikmalaya hingga Yogyakarta.

Pada 1994, gempa bumi dan tsunami melanda Banyuwangi dan daerah sekitarnya.

Menurut LIPI, sejarah kegempaan yang menimbulkan tsunami di Selatan Jawa tidak terekam secara alami. karena di pesisir selatan Jawa tidak ditemukan koloni terumbu karang. Informasi yang minim mengenai kegempaan dan tsunami yang terjadi di sekitar pantai selatan Jawa membuat potensi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini tidak dapat diprediksi dengan baik.

1921: Gempa dan Tsunami Pertama

Dua gempa bumi besar pernah mengguncang daerah Pangandaran pada 28 Maret 1875 dan 11 September 1921 (Kenji Satake, Solid Earth, hal. 252).

Bedanya terletak pada menyebabkan tsunami atau tidak. Pada gempa Pangandaran tahun 1875, memang dilaporkan menyebabkan sejumlah kerusakan. Akan tetapi kala itu gempa bumi tidak menyebabkan tsunami.

Hal berbeda terjadi pada 1921. Gempa pada 11 September 1921 (7,5 Skala Richter), sementara itu, menyebabkan tsunami. Panjang garis pantai daerah yang terlanda gempa mencapai 275 km. Tsunami pada 1921 melanda daerah yang sama dengan tsunami pada 2006. Gempa dan tsunami pada 1921 tidak meninggalkan catatan dalam cerita rakyat.

Setelah 1921, gempa yang menyebabkan tsunami di pantai selatan Pulau Jawa baru kembali terjadi pada 2 Juni 1994, gempa bumi Jawa Timur. Gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter tersebut menewaskan lebih dari 250 orang.

Baca juga:

2006: Tsunami 21 Meter

Senin, 17 Juli 2006 pukul 15.19 WIB, gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter terjadi di titik 9,41 Lintang Selatan, 107,19 Bujur Timur – sekitar 150 km ke arah selatan dari Pameungpeuk. Kedalaman pusat gempa kurang dari 30 kilometer. Posisi pusat gempa menunjukkan gempa kemungkinan terjadi akibat pergeseran kerak bumi yang terjadi di prisma akresi dengan mekanisme pergerakan vertikal.

Gempa tersebut menyebabkan tsunami yang melanda beberapa daerah di selatan Pulau Jawa – di antaranya Cilauteureun, Kabupaten Garut, Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Pangandaran, Kabupaten Ciamis, pantai selatan Cianjur, dan Sukabumi. Di Jawa Tengah, daerah yang terkena dampak termasuk Pantai Cilacap dan Kebumen. Di Yogyakarta, pantai selatan Kabupaten Bantul juga terkena dampak. Daerah yang paling parah terkena gempa dan tsunami adalah Pantai Pangandaran, Ciamis (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah).

Gempa dengan kekuatan 6,8 Skala Richter normalnya tidak menyebabkan tsunami dengan ketinggian lebih dari 5 meter. Nyatanya, menurut Abdul Muhari Ph.D., pakar tsunami dan Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group, ketinggian rayapan tsunami Pangandaran 2006 mencapai hingga 21 meter. Tinggi 21 meter jelas bukan main-main.

infografik revisi sejarah gempa tsunami jawa

Tidak heran jika jumlah korban pun signifikan. Jumlah korban jiwa saat itu mencapai 668 orang; 65 orang dinyatakan hilang. Jumlah korban luka mencapai 9.299 orang.

Ahmad Muhari menjelaskan perbedaan tsunami Pangandaran 2006 yang berbeda dengan tsunami Aceh 2004. Tsunami Pangandaran, menurut Muhari, tidak didahului oleh gempa kuat yang bisa menjadi pertanda potensi tsunami. Rata-rata 40 persen masyarakat Cilacap, Sukaresik, Wonoharjo, dan Pangandaran tidak merasakan adanya gempa sebelum tsunami datang. Selain itu, sementara pada Aceh 2004 tsunami didahului oleh air surut, pada Pangandaran 2006 tsunami datang bertepatan dengan air surut.

2017: Gempa Ganda

Jumat (15/12) lalu, terjadi dua gempa yang hanya berselang satu detik dari satu sama lain. Gempa pertama terjadi pada pukul 23:47:57 WIB di 43 km barat daya Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kekuatannya 7,3 Skala Richter. Kedalamannya 105 kilometer.

Gempa kedua terjadi pada pukul 23:47:58 WIB dengan kekuatan 6,9 Skala Richter. Titik pusat gempa terjadi di 11 barat daya Kabupaten Tasikmalaya, pada kedalaman 107 kilometer.

Hanya gempa bumi yang terjadi di bawah permukaan laut dengan pusat gempa berada pada kedalaman kurang dari 30 km dan dengan kekuatan 6,5 pada skala Richter atau lebih yang dapat memicu terjadinya tsunami. BMKG, walau demikian, sempat mengeluarkan peringatan dini tsunami untuk Garut (Jawa Barat), Kebumen dan Cilacap (Jawa Tengah), serta Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta).

Di Pangandaran, karena peringatan dini itu, banyak warga mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. Potensi tsunami Pangandaran sendiri sebenarnya lebih kecil dibanding Pantai Parangtritis. Pada Sabtu (16/12) pukul 02:30 WIB, BMKG resmi mencabut peringatan dini tsunami.

Syukurlah, kali ini, setidaknya tidak terjadi tsunami lagi.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Taufiq Nur Shiddiq

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Taufiq Nur Shiddiq
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Zen RS