Menuju konten utama

Ganggu Keselarasan Pasar Tenaga Kerja, Perlukah Upah Minimum?

Upah minimum baik diterapkan saat permintaan pasar tenaga kerja bersifat inelastis, didukung prospek ekonomi positif dan masa pengangguran singkat.

Ganggu Keselarasan Pasar Tenaga Kerja, Perlukah Upah Minimum?
Sejumlah massa aksi melakukan Aksi mendesak kepada pemerintah agar mencabut Omnibus Law UU Ciptaker di Patung Kuda Monas, Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2023). (Tirto.id/Riyan Setiawan)

tirto.id - Upah minimum muncul di Amerika Serikat setelah cucuran keringat sudah dianggap lazim dan penderitaan buruh kian memprihatinkan. Semula, undang-undang hanya memperhatikan wanita dan anak-anak. Sedangkan lelaki dewasa tidak punya perlindungan sampai Fair Labor Standards Act (FLSA) disahkan pada 1938.

Evolusi upah minimum Amerika Serikat berawal dari Massachusetts pada 1912 kemudian diikuti oleh negara-negara bagian lainnya. Namun menurut Willis J. Nordlund dalam The Quest for a Living Wage: The History of the Federal Minimum Wage Program (1997), program kontemporer upah minimum pertama berakar di Selandia Baru dan Australia.

Pendahulu dari semua ini adalah proklamasi upah maksimum sejak abad ke-13 di Inggris. Ia berkembang sebagai tanggapan atas ketidakmanusian atas “berkeringat”, merujuk pekerjaan dengan upah yang sangat rendah sehingga buruh tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan diterima secara sosial.

Di Indonesia, ketentuan tentang upah minimum menjadi pendatang baru pada 1970-an. Tapi menurut Devanto Shasta Pratomo dalam penelitian berjudul Kebijakan Upah Minimum untuk Perekonomian yang Berkeadilan: Tinjauan UUD 1945 (2011), implementasinya tidak begitu efektif pada awal-awal pelaksanaan.

Dalam periode tersebut, upah minimum yang ditetapkan justru jauh berada di bawah tingkat keseimbangan, sehingga mengisyaratkan bahwa ia belum mengikat bagi sebagian besar pekerja. Kala itu, upah minimum di Indonesia relatif tidak dipaksakan. Ia hanya digunakan sebagai tujuan yang bersifat simbolis. Formalitas belaka.

Pemerintah Indonesia mulai memberi perhatian lebih terhadap pelaksanaan kebijakan upah minimum pada akhir 1980-an. Hal ini disebabkan adanya tekanan dari dunia internasional sehubungan maraknya isu-isu pelanggaran ketenagakerjaan yang terjadi di negara kita pada masa itu.

Tahun-tahun berganti. Upah minimum kini tidak lagi sebatas isu krusial, namun juga seksi, terutama pascareformasi. Ia menentukan nasib perut banyak orang, jadi santapan lezat politikus jelang tahun-tahun politik seperti sekarang. Terlepas dari itu, bicara upah tak akan lengkap tanpa menyinggung pergerakan serikat buruh di Indonesia.

Teranyar, Partai Buruh dan sejumlah serikat pekerja menggelar demonstrasi di Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2023). Selain meminta Undang-undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Kesehatan dicabut, mereka juga menuntut upah minimum naik 15% pada 2024. Aspirasi ini direspons normatif oleh pemerintah, dianggap mustahil bagi sebagian pengusaha.

Melihat perkembangan ekonomi teranyar, demonstran menilai kenaikan upah 15% sudah layak diterapkan pada tahun depan. Jika tidak, seminimal-minimalnya mereka minta meningkat 10%. Tuntutan buruh kali ini tak ubahnya bagai balasan terhadap Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023.

Melalui peraturan itu, pemerintah membolehkan pelaku industri padat karya tertentu, seperti tekstil dan furnitur, yang berorientasi ekspor memangkas upah buruhnya sebesar 25%. Sebagaimana dijelaskan Pasal 7 Ayat (1) bahwa perusahaan yang terdampak perubahan ekonomi global diizinkan membayar gaji pekerja 75% dari biasa.

Kini, para demonstran merasa ekonomi domestik sudah membaik. Sehingga memungkinkan terjadi rebound dalam kenaikan upah demi menyusul ketertinggalan. Klaim buruh selaras dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat perekonomian RI tumbuh 5,17% secara year on year (yoy) pada Triwulan II/2023.

Permintaan buruh juga tak lepas dari predikat upper-middle income country yang kembali disandang Indonesia sejak pertengahan 2023. World Bank menyematkan status itu kepada negara-negara yang mampu membukukan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita dengan rentang mulai USD4.466 hingga USD13.845 per tahun.

Indonesia tergolong di dalam setelah PNB per kapita tahun lalu tercatat USD4.783 versi BPS. Jika diasumsikan dengan kurs Rp15.191 per USD, maka nilai itu setara dengan Rp72,6 juta per tahun. Artinya, penghasilan rata-rata penduduk negara kita mencapai Rp6 juta per bulan. Upah seperti inilah yang ingin dikantongi para buruh.

Alasan lainnya adalah standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Berdasarkan hasil survei yang digelar buruh di 25 kota industri, tingkat KHL mengalami kenaikan 12-15%. Dari survei itu, diketahui terdapat 60 item yang melonjak. Tertinggi dialami kebutuhan sewa rumah, ongkos transportasi, dan pendidikan anak.

Upah Minimum di ASEAN

Upah minimum di negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) relatif meningkat secara bertahap guna mengimbangi kenaikan biaya hidup. Namun semasa pandemi, banyak yang memilih tidak menaikkannya atau naik tapi tidak signifikan. Sejauh ini, upah minimum di ASEAN termasuk yang terendah di Asia.

Di Indonesia sendiri, formula penetapan upah minimum merujuk pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja 18 Tahun 2022. Rumusnya UM (t+1) = UM (t) + (Penyesuaian Nilai UM x UM (t)). Yang dimaksud UM (t+1) adalah upah minimum yang akan ditetapkan, sedangkan UM (t) adalah upah minimum teranyar.

Cara menghitungnya, upah minimum tahun berjalan ditambah hasil penyesuaian upah minimum, yakni penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan variabel alfa. Tahun lalu, Pemerintah RI menetapkan upah naik maksimal 10% untuk 2023, lebih rendah dari tuntutan buruh setinggi 25%.

Dengan kenaikan 10%, upah minimum yang ditetapkan Indonesia pada 2023 berada dalam rentang Rp1,9 juta hingga Rp4,9 juta per bulan. Yang terendah ada di Jawa Tengah, nilainya hanya terpaut sedikit dari Jawa Barat dan Yogyakarta. Seperti sebelum-sebelumnya, upah minimum yang tertinggi adalah DKI Jakarta.

Berdasarkan data Trading Economics, upah minimum Kamboja senilai USD200 per bulan, Malaysia MYR1.500 per bulan, Filipina PHP610 per hari, Thailand THB353 per hari, Vietnam VND4.680.000 per bulan dan Myanmar MMK4.800 per hari.

Kemudian untuk Laos, bertepatan pada hari buruh Mei 2023, pemerintah menaikkan upah minimum ke level LAK1.300.000 per bulan. Sedangkan Brunei Darussalam dan Singapura tidak memiliki ketentuan wajib upah minimum.

Tapi menurut kabar terakhir, Brunei akan segera menerapkannya tahun ini. Berdasarkan laporan The Scoop, tahap pertama mencakup sektor perbankan, keuangan serta teknologi informasi dan komunikasi. Pekerja full-time di bidang-bidang berhak atas gaji minimal USD500 per bulan dan pekerja part-time setidaknya USD2,62 per jam. Bagi pelanggar bisa dihukum satu tahun penjara dan denda USD3.000.

Lalu di Negeri Singa, merujuk reportase Take Profit, upah rata-rata berada di level SGD7.021 per bulan. Tingkat maksimum upah untuk karyawan adalah SGD6.159 per bulan dan minimum SGD1.302 per bulan. Dengan demikian, upah Singapura merupakan yang tertinggi di ASEAN.

Pro-Kontra yang Tak Kunjung Padam

Dalam penelitian berjudul Study on the Effectiveness of Minimum Wage and the Necessity of Abolishment by Countries (2021), Hongchao Fei menyimpulkan bahwa menghindari kehilangan lapangan kerja adalah mustahil ketika pada saat yang sama upah minimum diberlakukan. Hal itu terbukti dari kurva pada diagram permintaan tenaga kerja yang miring ke bawah.

Akan tetapi, pemberlakuan upah minimum tidak selalu menurunkan efisiensi perekonomian. Ada banyak teori yang mendukung gagasan bahwa sebenarnya ia dapat meningkatkan efisiensi. Dampaknya terhadap pemerataan sosial juga sangat kompleks, tergantung kualitas dan efektivitas kebijakan dalam mengurangi ketimpangan.

Infografik Perdebatan Soal Upah Minimum

Infografik Perdebatan Soal Upah Minimum. tirto.id/Mojo

Untuk menentukan nilai upah minimum dengan hanya mengevaluasi perubahan efisiensi dan pemerataan saja tidak cukup, sebab kenyataannya jauh lebih rumit dari itu. Karena permintaan terbukti berkurang, memaksakan upah minimum akan selalu menyebabkan tingkat pengangguran bertambah.

Studi tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan upah minimum baik untuk diterapkan dengan kondisi dimana prospek pertumbuhan ekonomi positif dan masa pengangguran singkat. Selain itu tingkat permintaan di pasar tenaga kerja juga inelastis atau dengan kata lain ketika ada kenaikan upah tidak akan berpengaruh signifikan pada jumlah tenaga kerja.

Tingkat permintaan tenaga kerja inelastis umumnya berlaku pada sektor atau industri yang biaya proses produksinya lebih efisien dengan menggunakan buruh dibandingkan memanfaatkan mesin atau automatisasi.

Alhasil, jika prospek pertumbuhan ekonomi suram, masa pengangguran lama dan pasar tenaga kerja memiliki tingkat permintaan elastis, maka kebajikan upah minimum sebaiknya dikaji ulang.

Lebih lanjut, dalam opini berjudul Does a Minimum Wage Help Workers? An Overly Generous Wage May Prompt Employers to Cut Jobs (2019) dua ekonom senior International Monetary Fund (IMF) Piyaporn Sodsriwiboon dan Gabriel Srour membeberkan berbagai kemungkinan yang bisa disebabkan oleh penetapan upah minimum.

Saat ini, hampir setiap negara memiliki upah minimum dengan ketentuan yang bervariasi. Di Prancis misalnya, ia diterapkan secara universal. Sedangkan di Selandia Baru, nilai upah mengacu sektor dan jenis pekerjaan. Umumnya, upah minimum ditetapkan pemerintah, direvisi berkala dengan melibatkan organisasi pengusaha dan buruh.

Upah minimum dibenarkan atas dasar moral, sosial, dan ekonomi. Tujuan utamanya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pekerja di lapisan terbawah, sekaligus mengurangi ketimpangan serta mempromosikan inklusivitas sosial. Namun di sisi lain, ia justru dianggap kontraproduktif karena berpotensi mengganggu pasar tenaga kerja itu sendiri.

Dampak potensial terhadap ketenagakerjaan merupakan inti dari perdebatan tentang kebijakan upah minimum. Di pasar yang kompetitif, beberapa perusahaan cenderung tidak bersedia membayar jika upah minimum naik di atas tingkat pasaran. Pada akhirnya mereka lebih memilih untuk memberhentikan para pekerja.

Selama beberapa dekade terakhir, belum ada penelitian yang berhasil mengakhiri perdebatan panjang ini. Sebagian di antara mereka membuktikan upah minimum bisa memberi manfaat yang signifikan bagi pekerja, tapi sebagian lagi justru sebaliknya. Mereka menyimpulkan bahwa kebijakan itu berbahaya.

Secara umum, menurut Piyaporn Sodsriwiboon dan Gabriel Srour, penelitian terbaru nyaris tidak menemukan adanya perubahan lapangan kerja yang disebabkan oleh kenaikan upah minimum. Meski demikian, kelompok rentan – seperti pekerja berketerampilan rendah dan pekerja muda – mungkin akan dirugikan.

Pada tingkat sedang, upah minimum hanya bagian kecil dari total biaya operasional perusahaan, sehingga mereka tetap mampu menyerap kenaikan tersebut memakai cara lain tanpa memotong gaji. Misalnya dengan menaikkan harga dan produktivitas atau bersedia menerima keuntungan lebih rendah.

Motivasi berikutnya adalah mengurangi ketimpangan pendapatan, memperbaiki nasib buruh yang berada di bawah distribusi upah. Kajian empiris menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum cenderung mempersempit perbedaan gaji, tetapi hanya bagian dari upaya yang lebih luas menuju pengentasan kemiskinan.

Upah minimum yang ditetapkan terlalu tinggi dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan secara signifikan. Saat mereka yang berpenghasilan rendah bakal kehilangan kerja, ketimpangan pun akan melebar. Di sisi lain, kenaikan juga dapat meningkatkan struktur upah secara keseluruhan, sehingga kesenjangan tetap tidak bakal berubah.

Jika diasumsikan bahwa upah minimum yang rendah akan menguntungkan sedangkan yang tinggi bakal berbahaya, lalu berapa tingkat optimalnya? Beberapa penelitian menempatkan tingkat ideal sekitar 25-50% dari upah rata-rata. Kebijakan upah minimum harus dikalibrasi untuk menjaga agar kenaikannya sejalan dengan peningkatan produktivitas.

Baca juga artikel terkait UPAH BURUH atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas