tirto.id - Layar dibuka dengan text disclaimer yang menyatakan bahwa segala jenis transaksi finansial dalam film adalah fiktif belaka. Lain itu, seluruh transaksi tersebut tidak boleh diyakini sebagai jaminan perubahan nasib dalam waktu singkat.
Pembukaan film Gampang Cuan itu langsung menarik atensi saya. Pembukaan film umumnya diawali dengan penekanan bahwa cerita, karakter, dan latarnya adalah fiksi. Namun, kali ini, text disclaimer tersebut secara spesifik menyasar elemen sentral dalam film yang akan diputar.
Kita boleh menerka, itu adalah upaya para sineas untuk memperingatkan penontonnya bahwa semesta film yang akan dimasukinya bakal menampilkan sesuatu yang bertolak belakang dari judul dan posternya.
Benar saja, apa-apa yang dituturkan film ini sepanjang hampir 2 jam memang sama sekali bertolak belakang dengan posternya yang tampak cemerlang. Ekspektasi memang bisa dibolak-balik, tapi untungnya film ini tidak mengecewakan.
Sebagai sebuah karya komedi, film ini memulai narasinya dengan sekuens-sekuens yang menyiratkan sindiran atas fenomena urbanisasi. Hal itu diwakili oleh trio kakak beradik dari Sukabumi yang hendak mengadu peruntungan di Jakarta.
Mereka adalah Sultan/Utan (Vino G. Bastian), Bilqis/Ikis (Anya Geraldine), dan Aji si anak bontot (Alzi Markers). Di ceritakan bahwa ayah mereka telah lama wafat sehingga mereka mesti turut membantu ibundanya (Meriam Bellina) memenuhi kebutuhan hidup.
Aspirasi hidup Utan dan Ikis sebenarnya amat sederhana: punya uang banyak demi mewujudkan mimpi-mimpi personalnya. Namun, keinginan untuk mendapatkan uang secara cepat justru membuat hidup mereka jadi lebih rumit.
Sementara itu, Aji hanya ingin lanjut kuliah. Namun, dia juga mesti realistis lantaran pendidikan tinggi—terlebih swasta—di kota metropolitan tentu tidak murah.
Situasi berubah genting tatkala Pak Is (Iang Darmawan), kepala desa mereka, memberitahu sebuah kabar buruk. Utan dan Ikis lantas harus berpacu dengan waktu guna mengumpulkan sejumlah besar uang demi keperluan darurat itu.
Plot Gampang Cuan selanjutnya pada dasarnya memotret perjuangan Utan dan Ikis tersebut. Mereka mencoba berbagai cara serta menempuh beragam jalur. Di sepanjang petualangan itu, mereka bertemu banyak orang dari kalangan crazy rich.
Terlepas dari kekayaannya yang luar biasa, individu-invididu super kaya itu sebenarnya tak ubahnya warga biasa. Mereka juga terdiri dari berbagai macam kepribadian: ada yang percaya takhayul, ada yang punya masalah disfungsi seksual, ada yang gemar selingkuh, dan ada pula yang memiliki kebiasaan nyeleneh.
Maka target mocking-nya pun bergeser pada para karakter crazy rich itu. Melalui sudut pandang trio kakak beradik Utan-Ikis-Aji, kita diajak menyaksikan betapa rapuhnya ilusi kekuasaan kelompok ekonomi papan atas.
Gelap-Terang Dunia Saham
Cara meraih keuntungan utama yang terpampang dalam film ini adalah trading saham. Mengutip pernyataan sang crazy rich millennial, Evan (Dhimas Danang), main saham pada hakikatnya beda tipis dengan judi. Pembedanya terletak pada proses analisa data yang berbasis logika.
Karenanya, para trader mesti mempersiapkan diri sebelum main saham, baik dari segi modal maupun ilmunya. Namun, Utan dan Ikis yang sembrono sama sekali mengabaikan hal-hal itu.
Mereka mengeksplorasi cara cepat guna menentukan emiten mana yang nilai sahamnya berpotensi meroket. Selain sembrono, Utan dan Ikis juga menerapkan metode-metode yang seringkali melanggar hukum. Kelak, tindakan itu membawa konsekuensi cukup berat bagi mereka.
Di sisi lain, penonton juga ditunjukkan bahwa metode yang sepintas lalu tampak logis pun bisa saja sebenarnya mentah. Para trader lama maupun para pemain besar diperlihatkan bergantian memohon “petuah sakti” pada seorang investor legendaris. Artinya, metode mereka juga “tak logis-logis amat”, seperti halnya bertanya pada dukun.
Evan, misalnya, ditampilkan sebagai karakter yang oksimoron. Dia tampak sudah lama terjun dalam dunia saham. Dia berulang kali menegaskan pentingnya mempelajari aspek-aspek teknikal dan meminta Utan dan Ikis mempelajari fluktuasi data saham secara berkala. Namun, dia sendiri ternyata kerap membuat keputusan trading dengan bersandar pada asumsi dan firasat.
Di titik inilah, peringatan dalam disclaimer di awal film jadi relevan. Bahwa siapa pun mesti melek literasi finansial dan paham ilmu serta aturan main dalam jual-beli saham maupun produk-produk investasi lainnya.
Tanpa ilmu yang mumpuni, orang malah bisa terjebak permainan pasar saham yang sulit diprediksi. Lain itu, fluktuasi harga saham terkadang bisa dipengaruhi situasi eksternal. Tanpa persiapan, kita serupa main tebak-tebakan, bahkan tak ubahnya judi.
Itu juga mengingatkan kita bahwa orang berpengalaman pun bisa terpeleset, apalagi yang sembrono dan tak membekali diri dengan ilmu. Menilik fakta itu, penonton akan menyadari bahwa konsep cuan dalam dunia saham bisa saja semu.
Narasi Gampang Cuan juga tak melulu pesimistis. Penonton juga disuguhi sisi lain saham yang lebih ideal, yakni investasi. Ia berbeda dari trading yang berdimensi waktu pendek dan cepat. Investasi adalah soal mempersiapkan masa depan, tabungan hari tua, pemasukan pasif.
Namun, narasi optimistis macam itu pun lalu dibenturkan dengan realitas yang getir. Orang yang mencetuskan semua tujuan mulia itu ternyata tidak menjaga integritas personalnya dengan baik. Sampai pada titik ini, gaya komedi Gampang Cuan tampak depresif sebab ia membongkar segala kedok tanpa ampun.
Arah narasinya secara telak mempertanyakan ihwal keberlanjutan sumber pemasukan kaum oligarki. Walaupun hanya menggunakan sebuah moda berupa trading saham, sindirannya menembak ke segala arah.
Entah industri ekstraktif atau bisnis teknologi informasi, entah pengembang properti atau penumpuk obligasi, entah penambang kripto atau taipan media, semuanya sama-sama delusional.
Yang tak kalah menarik, skenario film turut menyindir tren gaya hidup Gen Z yang ingin segala sesuatu dapat terealisasi secara instan. Ada perbedaan yang signifikan antara “praktis” dan “instan”. Para Gen Z tampaknya gagal memahami substansi di antara keduanya.
Peragaan konseptual Utan tentang saham, reksa dana, obligasi, hingga deposito melalui medium patung ayam-ayaman di middle-credit scene tak pelak mengokohkan kesan satir. Kini mocking-nya paripurna.
Juga Bicara Integritas
Segala sesuatu yang bersifat semu biasanya menumbalkan prinsip di dunia nyata. Namun, trio kakak beradik itu sebenarnya tidak serta-merta menghamba prinsip cuan cepat.
Meskipun sebagian besar metode Ikis dan Utan melanggar aturan, mereka tampak menjaga betul harga dirinya masing-masing. Contohnya terlihat saat Ikis dengan lantang menolak meng-upgrade pelayanannya di spa menjadi pijat plus-plus atau membiarkan dirinya dicium Evan di hadapan teman-teman si pria.
Karakter Nabila (Anya Zen) sesungguhnya ditampilkan dalam kapasitas minor sebagai antitesa terhadap keteguhan prinsip Ikis. Mereka sempat menggeluti satu profesi dengan pendekatan yang kontras satu sama lain.
Perhatikan pula sikap tegas Utan ketika Evan meminta adiknya sebagai imbalan atas pinjaman modal bermain saham. Di lain kesempatan, Aji tak ketinggalan untuk berupaya membongkar kebohongan kakak-kakaknya setelah ibunda mereka menyusul ke Jakarta.
Pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan akhirnya memaksa Utan berkorban demi keluarganya. Pengelolaan atas hasil trading yang melimpah dia percayakan kepada Ikis, khususnya untuk mengangkat harkat keluarganya kembali dari keterpurukan.
Saya agak menyayangkan keputusan kreatif sutradara pada bagian epilog. Ikis yang telah menerima mandat sebagai kepala keluarga baru lantas mengembalikan amanah itu entah karena alasan apa.
Pengorbanan Utan akan jauh lebih menyentuh bila Ikis mampu mengemban tanggung jawab barunya. Lagi pula, sedari babak pertama, kepribadian Ikis sudah digambarkan selaku putri semata wayang yang cukup tangguh baik secara fisik, mental, maupun intelektual.
Keputusan itu sesungguhnya aneh karena seakan kembali pada balutan norma konservatif yang kurang nyaman menyaksikan seorang perempuan menjadi kepala keluarga. Terlepas dari gangguan minor tersebut, pernyataan pembuat film kuat adanya.
Keluarga miskin dari kampung mungkin tak punya apa-apa selain harga diri yang menempel secara inheren. Dari situ, Gampang Cuan menutup ritme komediknya dengan konklusi dramatik yang akan lama membekas: bahwa tak semua orang bisa dibeli dengan cuan oleh crazy rich.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi