Menuju konten utama

Apa Itu Politik Gentong Babi yang Ada di Film Dirty Vote?

Pengertian apa itu politik gentong babi atau pork barrel politics menurut ahli yang muncul dalam film dokumenter Dirty Vote.

Apa Itu Politik Gentong Babi yang Ada di Film Dirty Vote?
Film Dirty Vote. Instagram/dirtyvote

tirto.id - Dirty Vote merupakan film dokumenter politik yang menyoroti tindak kecurangan dan pelanggaran etik jelang Pemilu 2024. Salah satu hal yang dibahas dalam film tersebut adalah politik gentong babi yang dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Politik gentong babi Jokowi disebut oleh salah satu pemeran yang tampil di Dirty Vote, yaitu Bivitri Susanti. Dosen Hukum Tata Negara itu mengklaim bahwa strategi politik gentong babi Jokowi berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial (bansos) jelang Pemilu 2024.

Bivitri menyoroti adanya peningkatan anggaran dan penyaluran bansos yang signifikan jelang Pemilu 2024 oleh pemerintah pusat. Penyaluran bansos itu semakin mencurigakan lantaran tidak melibatkan data terpadu dari Kementerian Sosial.

"Ini meroket menjelang pemilu dan kita bisa melihat bagaimana kemudian bansos ini dipergunakan secara berlebih-lebihan dan melebihi apa yang dilakukan (Pemerintah RI) pada saat Pandemi COVID-19," kata kata Bivitri dalam film Dirty Vote yang diunggah di Youtube, Minggu (11/2/2024).

Ia juga menyoroti soal kenaikan gaji dan pensiunan aparatur negara melebihi kenaikan gaji buruh juga dilakukan Presiden RI jelang Pemilu 2024.

Menurut Bivitri, tindakan presiden saat ini dikenal dengan konsep politik gentong babi. Ia menjelaskan bahwa politik gentong babi ala Jokowi adalah dengan menggelontorkan uang negara ke daerah-daerah pilihan agar ia dipilih kembali.

"Tapi tentu saja kali ini Jokowi tidak sedang meminta orang untuk memilih dirinya melainkan penerusnya," lanjut dia.

Pengertian Politik Gentong Babi

Politik gentong babi atau pork barrel politics merupakan salah satu bentuk strategi politik yang dinilai tidak etis. Menurut Annie Duke dalam Quit (2022), pengertian politik gentong babi adalah tindakan menggunakan anggaran publik sedemikian rupa untuk mendapatkan keuntungan politik.

Istilah ini mulai dikenal di Amerika Serikat setelah Perang Saudara, sekitar tahun 1860-an. Istilah ini muncul dalam buku cerita karya Edward Everett Hale berjudul The Children of the Public (1863).

Melalui cerita tersebut, Hale menjelaskan istilah gentong babi untuk menggambarkan bagaimana pemerintah memanfaatkan pengeluaran publik untuk kepentingan politiknya. Metafora "gentong babi" sendiri dipakai bukannya tanpa alasan.

Masyarakat Amerika dulunya menggunakan gentong berisi garam untuk menyimpan daging babi supaya awet. Gentong babi sendiri melambangkan sebuah tempat untuk kekayaan, aset, atau proyek bernilai yang dipegang penguasa.

Aset tersebut bisa dengan mudah diuangkan atau ditukar dengan hal lain sebagai imbalan yang menguntungkan pemegang gentong. Imbalan yang menguntungkan itu bisa didefinisikan sebagai suara pemilih atau sumbangan kampanye.

Menurut Aspinal dan Sukmajati dalam Politik uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014 (2015), politik gentong babi termasuk salah satu bentuk politik uang. Namun, politik gentong babi punya perbedaan mendasar dari politik uang lainnya.

Politik gentong babi merupakan strategi para kandidiat untuk memenangkan suara yang dilakukan secara publik. Ini berbeda dengan politik uang lainnya yang cenderung dilakukan secara privat, seperti pembelian suara, hibah, dan pemberian janji pada individu atau kelompok.

Bentuk praktik politik gentong babi ada beragam jenisnya. Ini bisa berupa pembagian uang dan bantuan sosial, penambahan anggaran untuk proyek di suatu daerah, dan sebagainya.

Herdiansyah Hamzah dalam Politik Tanpa Korupsi (2021), inti dari pemberian tersebut bertujuan untuk memperoleh imbalan atau balas jasa berupa dukungan politik kelompoknya.

Meskipun jelas bukan perilaku etis, praktik mengalokasikan anggaran oleh penguasa untuk kepentingan politik sering diterapkan di berbagai negara. Praktik ini sering menimbulkan kontroversi, karena banyak mendapat penolakan, namun jarang dianggap ilegal.

Baca juga artikel terkait DIRTY VOTE atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Politik
Kontributor: Yonada Nancy
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Iswara N Raditya