tirto.id - Kehadiran Google Pixel dan Pixel XL sebagai pengganti seri Nexus untuk seri ponsel dan tablet kian menunjukkan semangat Google untuk benar-benar serius menjadi vendor perangkat keras. Langkah yang diambil Google ini bertolak belakang dengan BlackBerry yang sebelumnya mengumumkan divisi desain dan perangkat keras dihentikan dan beralih ke sistem lisensi serta model rebranding untuk ponsel mereka.
Google Pixel bisa jadi hanya satu dari belasan produk yang akan diluncurkan Google dengan tajuk “Made by Google.” Pada peluncuran Selasa lalu, selain ponsel Google Pixel 5 inci dan 5,5 inci, Google juga memperkenalkan Google Home dan Chromecast Ultra untuk perangkat pendukung rumah pintar. Juga Google WiFi untuk solusi jaringan nirkabel yang lebih mudah, serta Daydream View yang notabene penyempurnaan dari Google Cardboard.
Istilah "Made by Google" cukup familiar tentunya karena jargon tersebut juga dipakai oleh Apple untuk lini produknya seperti iPhone dan iPad. Sama seperti Google, Apple juga tidak benar-benar memproduksi sendiri iPhone atau iPad—ada pabrikan seperti Foxconn untuk itu—tapi setidaknya untuk perkara desain, spesifikasi hingga kontrol kualitas, Apple menentukan semuanya. Hal semacam inilah yang menjadi fokus baru dari Google.
Lama sebelum Google Pixel, seri ponsel dan tablet Nexus yang ada di pasaran merupakan hasil kerjasama Google dengan manufaktur pemilik merek seperti HTC, LG, Samsung, Huawei, dan Asus. Meski beberapa seri Nexus menuai kesuksesan, tak jarang pula yang nasibnya tak jelas di pasaran. Salah satu penyebabnya: seri Nexus yang dijual—di beberapa negara— hanya dapat dijual oleh vendor yang bersangkutan, bukan oleh Google.
Akibatnya, Google tak memegang kendali atas pemasaran Nexus. Contohnya di Indonesia. Nexus terakhir yang diluncurkan adalah Nexus 6P keluaran Huawei. Setahun sebelumnya, Nexus 6 diproduksi oleh Motorola yang hingga kini masih menjadi anak tiri Lenovo.
Bagaimana melihat keseriusan Google? Kabar terakhir bisa dilihat dari berita bergabungnya David Foster dari Amazon, seperti diwartakan The Information. Menurut laman profil LinkedIn pribadinya, Foster yang menjadi Vice President Hardware Engineering di Amazon selama lima tahun merupakan sosok di balik kesuksesan seri tablet pembaca buku elektronik Kindle. Sebelumnya, Foster juga pernah lama membantu Microsoft sebagai General Manager untuk divisi perangkat keras, serta pernah mengenyam pengalaman kerja yang tak sebentar di Apple.
Di perusahaan yang berkutat dengan teknologi informasi, divisi Hardware Engineering merupakan divisi yang cukup disegani, khususnya di perusahaan seperti Apple. Gaji pegawai untuk seorang staf Hardware Engineering di Apple—menurut situs Glassdoor di laman Apple Hardware Engineer Salaries—bisa mencapai sekitar Rp150 juta ($12.000) per bulan atau mencapai Rp1,8 miliar per tahunnya. Dan untuk perusahaan yang sangat menaruh perhatian besar pada hardware, angka tersebut merupakan investasi murah.
Google dan Hardware
Sebagai perusahaan dotcom, wajar jika Google fasih betul urusan software. Ini bisa dilihat dari jumlah software engineer-nya. Sebagai perbandingan, seperti terpacak pada laman Linkedin-nya, Microsoft memiliki lebih dari 35.000 karyawan yang berprofesi sebagai software engineer, Google 28.000, dan Apple hanya di kisaran 10.000.
Sebagai perusahaan yang memproduksi sistem operasi, sangat wajar bagi Microsoft memiliki jumlah software engineer tinggi, namun Google? Meski identik dengan Android, sistem operasi tersebut sebenarnya berbasis open source sehingga angka itu bisa dikategorikan cukup fantastis.
Kembali ke soal hardware, sebenarnya wajar jika Google mulai mengarah ke pengembangan peranti keras sebagai tabungan masa depan. Induk perusahaan Google, Alphabet, bahkan memiliki divisi yang kuat di bidang hardware yakni “X” untuk self-driving car dan drone serta “Nest” untuk smart home. Maka wajar sekarang Google sebagai pemilik Android dan Chrome mulai fokus ke hardware. Caranya adalah merekrut orang-orang seperti Foster tadi.
Langkah Google mengganti seri Nexus dengan Google Pixel ini sebenarnya sudah bisa dilihat sejak Google meluncurkan tablet Pixel C tahun silam. Tablet yang jelas-jelas mengusung Android sebagai sistem operasi—dan bukan Chrome OS yang umum dipakai oleh laptop keluaran Google—seakan memberi isyarat bahwa nama Pixel akan menggantikan Nexus.
Sekarang, mari kita lihat perbandingan jumlah hardware engineer di Google, Microsoft dan Apple. Masing-masing berjumlah 800, 900 dan 1500. Dari angka tersebut jelas terlihat mengapa iPhone, iPad, dan Mac bisa menguasai pasar.
Google dan Marketing
Soal pemasaran, Google memang jagonya. Bicara iklan, khususnya di dunia maya, nama Google dan Google Ads dan AdWords masih menjadi jawara. Tapi lain urusannya ketika Google harus memasarkan produknya sendiri. Menilik kembali sejarah Nexus, Google sempat terpaksa memberikan subsidi besar untuk seri Nexus 4 dan Nexus 5 agar harga jualnya bisa ditekan dan bisa laku di pasaran.
Langkah itu pun tidak serta merta berhasil. Di negara yang didukung oleh Google Store (toko online yang menjual perangkat keras Google), ponsel-ponsel ini memang laku keras. Tapi di negara-negara di mana tak ada ekosistem pemasaran macam itu—misalnya di Indonesia—praktis Google hanya bisa mengandalkan itikad baik dari vendor pembuat, dalam hal ini LG sebagai produsen seri Nexus 4 dan Nexus 5.
Di Indonesia, kedua seri ponsel tersebut bukannya tak laku, namun subsidi yang diberikan oleh Google seperti tidak banyak berpengaruh. LG Nexus 4 16GB yang saat itu dijual di Amerika Utara pada angka USD349, dijual di Indonesia pada angka Rp5.5 juta saat peluncurannya. Masih relatif mahal. Peluncuran Nexus 4 itu juga hampir bersamaan dengan peluncuran LG seri Optimus G yang harganya hanya sedikit lebih tinggi.
Perkara membunuh kawan sendiri inilah yang membuat seri Nexus kurang bergaung. Di satu sisi, para vendor senang karena bisa dipercaya oleh Google sebagai vendor untuk seri Nexus. Tapi di sisi lain mereka seperti ogah-ogahan jika diminta menjual dengan harga murah.
Langkah menghadirkan David Foster juga perlu diapresiasi. Tak jarang perusahaan merekrut orang penting di divisi tertentu untuk meningkatkan kepercayaan publik dan juga para penanam saham. Dengan rekam jejak David Foster yang panjang, dia sangat diharapkan bisa membawa Google ke era baru yang tak melulu bergantung pada hardware kreasi para vendor rekanan.
Tapi satu hal yang harus dicermati, karir David Foster di Amazon maupun Microsoft tidaklah secemerlang yang Anda bayangkan. Di Amazon, Foster memang berjasa untuk tablet Kindle yang laris. Tapi jangan lupakan Fire Phone yang penjualannya jeblok. Sementara di Microsoft, Foster juga bertanggung jawab atas pemutar MP3 Zune HD yang kalah saing dengan iPod. Namun, Foster juga punya msa cemerlang. Pada 1998-2005, Foster merupakan Senior Director di Apple yang turut berjasa mengembangkan Apple G4, G5, dan juga iPod.
Bagaimana Google akan memanfaatkan Foster dan apakah bisa Google memecahkan simpul permasalahan distribusi di negara-negara lain? Mari kita lihat tahun depan.
Penulis: Andry Togarma Hermawan
Editor: Maulida Sri Handayani