tirto.id - Semakin dekatnya musim pemilihan umum di berbagai negara di dunia mendorong Facebook membenahi kredibilitasnya yang terpuruk akibat skandal intervensi Rusia pada pemilu presiden AS 2016. Media sosial itu kini tengah berusaha mengedepankan transparansi terkait iklan-iklan politik yang berseliweran dalam platform-nya.
Katie Harbath, pejabat Facebook yang mengurusi hubungan dengan pemerintahan, dan Steve Satterfield, Direktur Kebijakan Publik Facebook, menuliskan dalam blog resmi Facebook bahwa perusahaan media sosial itu tengah mencoba untuk menerapkan kebijakan keterbukaan yang lebih komprehensif sejak bulan Mei 2018, di mana mereka akan meminta pengiklan konten politik untuk membeberkan informasi mengenai siapa yang mendanai iklan mereka.
Tak hanya itu, orang juga dapat melihat siapa di balik iklan tersebut, berapa banyak uang yang digunakan untuk membayar iklan, seberapa luas iklan dilihat, serta siapa saja yang telah terpapar.
Dalam pengumuman resminya, Facebook baru mengumumkan telah menerapkan sistem pelabelan dan pengarsipan iklan politik baru tersebut di tiga negara: Brazil, Inggris Raya, serta Amerika Serikat.
Brazil baru saja menjalani pemilihan umum Presiden pada Oktober lalu, sementara AS akan menghadapi pemilu paruh waktu pada Selasa, 6 November. Pemilu paruh waktu di AS akan memilih anggota parlemen negara bagian, gubernur, serta anggota Kongres.
Kendati demikian, Communication Lead Facebook Indonesia Putri Dewanti mengatakan bahwa fitur yang disebut dengan view ads untuk iklan politik itu saat ini sudah berlaku secara global. “Statement resmi memang tidak ada,” jelas Putri kepada Tirto, Senin(5/11).
Sayangnya, Putri tidak merinci bagaimana sistem anyar Facebook itu diterapkan di Indonesia kendati pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia akan diselenggarakan pada April 2019. Ia menambahkan, akan ada pengumuman resmi pada Desember 2018 mengenai program Facebook terkait pemilu di Indonesia.
Facebook sendiri mengklaim bahwa mayoritas dari iklan yang beredar di dalam ekosistem media sosial mereka, termasuk Instagram dan Messenger, dijalankan oleh organisasi yang sah. Namun, mereka tidak menampik bahwa terdapat beberapa pihak yang memanfaatkan “produk” mereka dengan cara dan tujuan yang tidak baik.
Mereka mengatakan tetap mempertahankan kebijakan untuk memuat iklan-iklan politik itu karena sejumlah pertimbangan. Pertama, agar dapat memberikan kesempatan yang sama bagi kandidat yang tidak mampu melakukan belanja iklan besar untuk dapat menyebarluaskan pesan politik mereka.
Kedua, Facebook mengatakan bahwa iklan politik yang berpijak pada suatu isu juga bisa membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah-masalah yang perlu dihadapi bersama.
Dalam penerapannya, Facebook mendefinisikan konten politik sebagai konten yang melibatkan baik iklan elektoral maupun iklan yang berdasarkan isu-isu tertentu yang secara tidak langsung berhubungan dengan seorang kandidat.
Untuk menentukan daftar isu-isu awal apa yang masuk dalam aturan kebijakan pengawasan Facebook, perusahaan itu bekerja sama dengan organisasi non-partisan Comparative Agendas Project (CAP). Dari sana, Facebook membuat daftar berisi 20 isu yang akan dimonitor.
“Kami kemudian menulis kebijakan yang berlaku untuk setiap iklan yang mengambil posisi pada salah satu isu-isu tersebut —misalnya aborsi, [kontrol] senjata, imigrasi atau kebijakan luar negeri—dengan tujuan antara lain mempengaruhi debat publik, mempromosikan suara politik tertentu atau memilih seorang kandidat,” jelas Facebook.
Sebagai contoh, untuk isu pendidikan yang masuk ke dalam 20 daftar isu awal tersebut, Facebook menyatakan bahwa kebijakan mereka hanya berlaku pada iklan mengenai pendidikan yang memiliki tujuan politik tertentu, seperti reformasi edukasi atau kebijakan pinjaman biaya pendidikan siswa. Kebijakan Facebook tidak berlaku, misalnya, untuk iklan tentang universitas atau beasiswa.
“Untuk menegakkan kebijakan itu, kami akan memeriksa gambar dan teks dalam iklan dan siapa saja yang jadi sasarannya” tulis Facebook, sembari mengklaim bahwa mereka memiliki teknologi untuk mengidentifikasi iklan-iklan Pemilu dan mencegah iklan tersebut tayang jika sang pengiklan belum mendapat otorisasi mereka.
Facebook juga bekerjasama dengan YouGov untuk mengidentifikasi perubahan-perubahan terkait isu yang ada seiring dengan perdebatan di masyarakat dan akan menyesuaikan kebijakan mereka berdasarkan perubahan-perubahan tersebut.
“Kami percaya [akan kebijakan kami untuk] memberikan suara pada kampanye yang sah—sembari juga membantu memastikan bahwa orang dapat mengetahui siapa yang mencoba mempengaruhi suara mereka dan mengapa,” terang Facebook. “Bagi kami, ini langkah penting menuju tujuan itu.”
Langkah yang diambil oleh Facebook berbeda dengan Google. Seperti dilaporkan oleh Antara, pada September lalu Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memastikan bahwa Google akan menutup platform-nya untuk semua iklan politik terkait akan terselenggaranya pemilu presiden dan legislatif pada 2019.
“Google sudah menetapkan tidak akan menerima iklan politik,” kata Rudiantara setelah bertemu dengan Karim Temsamani, President Google Asia Pacific. “Jadi kalau kita pasang ads, [kemudian] meminta Google usia dan lokasi [target audiensnya] di mana, itu selama konten politik, Google tidak menerima.”
Belum Berjalan Baik
Sayangnya, hingga saat ini kebijakan baru Facebook terkait iklan politik tersebut belum berjalan mulus. Sejumlah media di AS seperti Vice dan Business Insider, misalnya, berhasil mengelabui Facebook dan mendaftarkan iklan politik dengan identitas palsu.
Vice menemukan bahwa orang dengan mudah dapat mengelabui fitur Facebook bertajuk “Dibiayai oleh” ("Paid for by") untuk mengetahui siapa di balik pembiayaan iklan politik di Facebook dan Instagram.
Vice mencoba membeli iklan atas nama 100 senator AS. Fakta bahwa Facebook ternyata meloloskannya adalah indikasi bahwa semua orang dapat membeli sebuah iklan yang teridentifikasi “Dibiayai oleh” politisi AS.
Lebih lanjut, semua iklan tersebut diizinkan untuk dibagikan pada laman grup-grup politik palsu seperti “Cookies for Political Transparency” dan “Ninja Turtles PAC”.
Lima hari sebelumnya, Vice juga memasukkan iklan atas nama tokoh politik terkemuka seperti Wakil Presiden AS Mike Pence, dan Ketua Komite Nasional Demokrat Tom Perez. Facebook dengan cepat menyetujui permintaan ini. Yang lebih mencengangkan, Vice juga mencoba mengirimkan iklan atas nama “Islamic State” atau ISIS dan lagi-lagi disetujui Facebook.
Secara terpisah, Business Insider bahkan berhasil memuat dua iklan palsu yang terdaftar sebagai “Dibiayai oleh” Cambridge Analytica. Padahal Cambridge Analytica yang terlibat jual beli data pengguna Facebook untuk pemilu AS telah dilarang beredar di media sosial tersebut.
Untuk memasang iklan tersebut, Business Insider membuat sebuah laman Facebook palsu sebuah LSM bernama Insider Research Group. Setelah berjalan beberapa hari, Facebook baru mengkonfirmasi bahwa iklan tersebut telah melanggar sejumlah ketentuan. Namun, Facebook tidak menjelaskan mengapa iklan tersebut bisa lolos.
Sejak awal Facebook sesungguhnya sadar akan kelemahan dari sistem yang mereka bangun. Dalam keterangan awalnya mereka memang mengklaim tidak akan selalu tepat sasaran dalam melaksanakan sistem baru ini.
“Kami tidak selalu melakukannya dengan benar. Kami tahu kemungkinan besar kami akan meloloskan beberapa iklan yang salah dan dalam kasus lain kami bisa salah mengenali beberapa iklan terkait isu tertentu. Kami akan terus membenahi proses [peninjauan] dan meningkatkannya sambil jalan,” jelas Facebook.
Dilansir dari Cnet, Direktur Manajemen Produk Facebook Rob Leathern mengklaim kesalahan yang dibuat oleh Facebook cukup jarang terjadi. Namun, ia menolak untuk menyebutkan seberapa besar tingkat kesalahan tersebut.
Editor: Windu Jusuf