tirto.id - Ditemukan kesalahan pada satu pasal Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja saat belum genap sehari menjadi dokumen resmi negara. Itu adalah pasal 6 yang berbunyi: “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a.”
Masalahnya tak ada pasal 5 ayat (1) huruf a. Hanya ada pasal 5, yang berbunyi: “Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.”
Kesalahan pasal tersebut ramai dibicarakan di jagat maya sejak kemarin pagi. Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyebutnya sebagai bukti pemerintah “amatiran” menyusun undang-undang.
“Dari draf yang terus berubah hingga kesalahan setelah ditandatangani,” katanya. “Kami curiga ini Presiden tidak membaca apa yang dia tandatangani. Kalaupun dia membaca apakah dia memahami? Kami tak yakin.”
Dari penelusuran Tirto, pasal 5 lengkap dengan dua ayat turunannya hanya terdapat dalam draf UU Cipta Kerja versi 905 halaman, beredar sejak 5 Oktober setelah pengesahan di rapat paripurna. Dalam empat versi draf lain yang beredar pada 9, 12 dan 22 Oktober, bunyi pasal 6 konsisten dengan versi akhir yang ditandatangani oleh Jokowi. Artinya, draf dari DPR yang dikirim ke Kementerian Sekretariat Negara hingga draf final yang dibagikan Setneg tetap memuat pasal 6 yang ‘salah ketik’.
Pemerintah menyebut, ini hanya perkara “kekeliruan teknis”. Kesalahan itu luput dari amatan tim bentukan Kementerian Sekretariat Negara dan Badan Legislasi DPR setelah nyaris sebulan. “Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Namun menurutnya, kesalahan tersebut “bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.” Oleh karena itu akan diperbaiki di kesekretariatan.
Ia lantas mengatakan “kekeliruan teknis” ini akan menjadi masukan agar pemerintah “terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan” dan supaya “tidak terulang lagi.”
Alasan yang sama mereka pakai saat menjelaskan keberadaan pasal 170 yang pada Februari lalu ramai dibicarakan. Pasal itu bicara tentang kewenangan eksekutif mengubah undang-undang tanpa harus konsultasi dengan legislatif dan bisa dilakukan di luar mekanisme peraturan pengganti undang-undang. Pasal itu kini sudah dihapus.
Ditarik lebih jauh, pernah pula ada kasus serupa dalam konteks revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tepatnya klausul yang mengatur soal usia komisioner.
Tak Bisa Asal Ubah
Skandal keberadaan beberapa pasal yang rancu ini terjadi berkali-kali. Menurut para ahli, tak bisa diperbaiki seenaknya.
“Harus diperbaiki dan perbaikan itu harus mengikuti tahap layaknya pembentukan UU. Mengajukan revisi,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti.
Sebuah peraturan, setelah diundangkan, maka mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian jelas tertera dalam Pasal 87 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hal serupa diungkapkan pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti. “Terhadap kesalahan di Pasal 6 (hlm. 6) dan Pasal 175 (hlm. 757) itu, tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani,” kata Bivitri saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (3/11/2020).
Jika pemerintah kemudian menganggap kekeliruan itu hanya semata kekeliruan administrasi, maka itu sama saja mengerdilkan makna proses legislasi.
Ditarik lebih jauh, perjalanan UU Cipta Kerja sudah menuai kontroversi sejak kali pertama diumumkan oleh Jokowi. Salah ketik hanya satu gejala, selain persoalan-persoalan lain seperti minimnya transparansi dan subtansinya sendiri yang bermasalah, dari mulai merugikan buruh, mempercepat kerusakan lingkungan, hingga mempermudah impor yang merugikan para pelaku industri dalam negeri.
Bersamaan dengan itu masyarakat melawan dengan berdemonstrasi. Mereka juga menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Editor: Rio Apinino