Menuju konten utama

Legislative Review: Jalan Buntu Gagalkan UU Cipta Kerja?

Seperti perppu dan JR ke MK, upaya mengadang UU Cipta Kerja lewat legislative review juga tampaknya bakal menemui jalan buntu.

Legislative Review: Jalan Buntu Gagalkan UU Cipta Kerja?
Seorang demonstran yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) berunjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Kota Cilegon, Banten, Selasa (20/10/2020). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp.

tirto.id - Perlawanan berbagai elemen mulai dari buruh, petani, akademisi, hingga masyarakat biasa terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) terus bergulir. Desakan dilakukan baik di jalanan lewat aksi massa maupun lewat jalur hukum.

Awalnya masyarakat meminta DPR dan pemerintah membatalkan peraturan ini, salah satunya karena alasan formil, yaitu perancang peraturan ini minim menyerap aspirasi publik. Tapi toh tak digubris hingga peraturan ini disahkan pada 5 Oktober lalu lewat sidang paripurna--tapi terus mengalami revisi tanpa ujung sampai naskah ini ditulis.

Demonstrasi terus berlanjut. Pada 8 Oktober lalu, massa di beberapa kota menemui para pimpinan daerah meminta mereka mengirimkan surat permohonan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang membatalkan UU Ciptaker. Dua Gubernur yang bersedia memenuhi tuntutan massa yakni Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji Gubernur dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Desakan serupa disampaikan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) saat berdemonstrasi di Jakarta pada 16 Oktober.

Permintaan penerbitan perppu juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun ketika itu Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi mengatakan “Presiden bilang tidak bisa karena [UU Ciptaker] itu inisiatif dari pemerintah.”

Jokowi memang tak pernah menyinggung potensi mengeluarkan perppu meski desakan terus muncul. Ia menegaskan agar mereka yang menolak UU Ciptaker melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) saja.

“Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja ini, silahkan mengajukan uji materi atau judicial review (JR) ke MK,” kata Jokowi, empat hari setelah UU Ciptaker disahkan, 9 Oktober.

Beberapa pihak memang telah mengajukan JR meski peraturan ini belum diberi nomor. Per 12 Oktober lalu MK telah menerima dua berkas pendaftaran. Yang pertama mendaftar adalah DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa. Yang kedua dilayangkan oleh karyawan kontrak Dewa Putu Reza dan pekerja lepas Ayu Putri. Mereka mengatakan UU Cipta Kerja tidak memberikan kepastian pengangkatan sebagai pegawai tetap karena Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dihapus--berdasarkan dokumen yang mereka pegang.

Namun sejumlah akademisi pesimistis JR di MK akan dimenangkan. Alasan pertama, MK menolak JR UU KPK yang menurut dosen hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mekanisme pembuatannya serupa UU Ciptaker.

Selain itu juga masalah politis. Beberapa waktu lalu DPR dan pemerintah merampungkan revisi UU MK yang salah satu perubahannya adalah memperpanjang masa jabatan hakim hingga berumur 70 tahun. Zainal menyebut revisi UU MK ini “isinya cuma pil tidur” untuk para hakim MK.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti. Menurutnya revisi UU MK membuat MK semakin mesra dengan legislatif dan eksekutif.

Legislative Review

Ketika pemerintah menanggapi negatif perppu dan kans menang di MK pun tampak kecil, muncullah usul upaya hukum lain dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), salah satu yang meminta klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari UU Ciptakerja: legislative review.

Legislative review, mengutip Hukumonline, adalah “upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan.”

Permohonan ini disampaikan oleh Presiden KSPI Said Iqbal lewat surat terbuka tertanggal 19 Oktober kepada seluruh pimpinan fraksi baik yang mendukung atau menolak UU Ciptaker. Singkatnya Iqbal meminta agar DPR membuat UU baru tentang “pencabutan UU Ciptaker.” UU itu hanya memuat dua pasal, pertama berbunyi “UU Ciptaker dicabut dan dinyatakan tidak berlaku” dan kedua “UU (baru) ini berlaku pada tanggal diundangkan.”

Said berharap lebih kepada para oposisi seperti PKS dan Partai Demokrat. “Kalau memang mendukung buruh dan rakyat, ambil langkah politik. Mulai saja dengan tanda tangan semua anggota Fraksi PKS dan Demokrat mendukung surat yang diajukan oleh KSPI,” kata Said, Rabu (21/10/2020)

Dengan demikian, jika legislative review ini dilakukan, publik tak perlu lagi menunggu judicial review di MK.

“Bila legislative review ini tidak direspons oleh DPR termasuk Fraksi PKS dan Demokrat,” katanya, “KSPI sudah memutuskan akan melakukan aksi besar-besaran secara nasional akan dipusatkan di depan DPR.”

Kepada reporter Tirto, Kamis (22/10/2020), Sekretaris Fraksi PKS Ledia Hanifah mengatakan “sedang mempelajari” tuntutan KSPI ini. Ia juga mengatakan “FPKS telah menyatakan menolak UU Ciptaker” dan “saat ini sedang melakukan penyisiran terhadap perubahan naskah UU-nya.”

Sementara Hinca Panjaitan dari Fraksi Partai Demokrat menyatakan kepada reporter Tirto, Kamis, “legislatif review bagi Fraksi Demokrat adalah bagian alat perjuangan bersama rakyat termasuk para pekerja.” “Jika teman-teman ingin menyampaikannya, dengan senang hati kami terima dan dengarkan untuk kita kerjakan dan diskusikan bersama.”

Namun nampaknya upaya ini pun akan melalui jalan terjal, sebagaimana upaya-upaya hukum lain.

“Apakah itu mungkin dilakukan? Rasanya mustahil,” kata Dosen hukum tata negara di UGM Zainal Arifin Mochtar. Untuk melakukan ini butuh persetujuan dari semua fraksi, sementara mayoritas dari mereka merupakan pendukung setia UU Ciptaker dan pemerintah.

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino