Menuju konten utama
Liga Champions

Evolusi Taktik Liverpool & Janji Klopp Hadirkan Laga Seru di Final

Jelang bersua Tottenham, Liverpool telah belajar dari kekalahan di final Liga Champions musim lalu, bahkan menyerap sebagian pendekatan Zidane di Real Madrid.

Evolusi Taktik Liverpool & Janji Klopp Hadirkan Laga Seru di Final
Pemain Liverpool Roberto Firmino, kiri, merayakan gol dengan rekan satu timnya Liverpool Fabinho, atas, dan Liverpool Mohamed Salah, kanan, di Anfield di Liverpool, Inggris. Foto AP / Rui Vieira

tirto.id - Setahun berlalu sejak Liverpool kalah 3-1 dari Real Madrid pada final Liga Champions 2017/2018 di Kiev, Ukraina. Namun, Jurgen Klopp tidak bisa melupakan momen memilukan itu.

"Saya selalu ingat momen ketika kami dalam perjalanan pulang dari Kiev. Semua pemain menunduk, sangat frustrasi, begitu kecewa dengan situasi yang ada. Mereka benar-benar seperti ingin marah kepada segala hal di sekitarnya, banyak emosi bercampur aduk," tuturnya.

"Tapi sejak awal rencana Liverpool satu: kami akan kembali. Kami akan kembali [ke final] dengan lebih tangguh," imbuh juru taktik asal Jerman tersebut.

Klopp menepati janjinya. Ahad (2/6/2019) dini hari besok, Liverpool akan menghadapi Tottenham Hotspur dalam final Liga Champions di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid. Dan seperti janji Klopp pula, musim ini The Reds berangkat ke partai puncak dengan tim yang lebih tangguh.

Dalam konferensi Kamis (29/6/2019) lalu, Klopp bahkan melabeli skuat Liverpool saat ini sebagai tim terbaik yang pernah dia bawa ke final sebuah kompetisi bergengsi. Atas semua itu, lagi-lagi Klopp mengatakan dirinya berutang pada kekalahan di Kiev musim lalu.

"Kekalahan itu sangat berpengaruh terhadap kami, itu adalah titik awal," ungkapnya.

Klopp Mengembangkan Pendekatan Zidane

Sebagai sebuah daftar nama, skuat Liverpool musim ini memang tak beda jauh dibanding tahun sebelumnya. Selain kehadiran penjaga gawang Alisson dan nama-nama di lini tengah macam Fabinho, Naby Keita, hingga Xherdan Shaqiri, praktis skuat Liverpool identik dibanding final terakhir di Kiev.

Namun, sebagai sebuah struktur permainan, mengatakan Liverpool musim ini tidak beda jauh ketimbang musim lalu adalah kesalahan besar.

Kendati tetap berpatokan dengan 4-3-3, saat menyerang Klopp mengandalkan skema 2-3-5. Dua fullback The Reds, Trent-Alexander Arnold dan Andrew Robertson akan naik sangat tinggi untuk membantu tugas trisula Salah-Firmino-Mane. Pada titik inilah, Squawka dan Statman Dave menyebut Klopp mengadopsi gaya bermain yang diterapkan Zidane di Real Madrid musim lalu.

"Setelah kekalahan dari Real Madrid di final Liga Champions, Klopp mengadaptasi sebagian dari sistem Zidane," ujar Dave.

Sejak hengkangnya Philippe Coutinho ke Barcelona paruh musim lalu, Klopp memang sudah rutin mengandalkan skema 2-3-5 ketika menyerang. Namun, saat itu strategi Klopp masih belum menggambarkan distribusi bola yang efektif. Koordinasi dua fullback The Reds, Trent-Alexander Arnold serta Andrew Robertson dengan trisula Salah-Firmino-Mane masih sering kacau. Skema crossing dan cutback pun kerap terbuang percuma.

Kemudian, Klopp melihat pola baku pelatih Zinedine Zidane di Real Madrid musim lalu. Setiap dua fullback Madrid--Marcelo dan Carvajal--merancang umpan silang, Zidane selalu menginstruksikan trisula Ronaldo-Benzema-Bale untuk membentuk posisi segitiga terbalik. Ronaldo dan Bale acap berada di kotak 16, sementara Benzema berjaga-jaga menanti bola pantul di antara dua penyerang tersebut.

Pola tersebut diadatpasi Klopp. Musim ini, saat menyerang, trisula Liverpool kerap membentuk posisi segitiga terbalik. Firmino, pelan tapi pasti mulai punya pakem konsisten berada di belakang Salah dan Mane.

Pendekatan-pendekatan baru Klopp terbukti manjur untuk meningkatkan efektivitas fullback-nya, termasuk jika dilihat secara statistik. Musim lalu, hitung-hitungan Squawka menyebut cuma 10 persen dari gol Liverpool di EPL berasal dari assist seorang fullback. Musim ini, angka tersebut meningkat pesat jadi 26 persen.

Klopp bahkan menyempurnakan pendekatan Zidane ke level yang lebih tinggi. Laga leg kedua semifinal Liga Champions antara Liverpool vs Barcelona tiga pekan lalu adalah bukti sahihnya.

Tidak cuma menginstruksikan trisulanya membentuk segitiga terbalik, Klopp juga bisa mengandalkan salah satu dari trisula tersebut untuk bermain umpan satu-dua dengan fullback-nya. Taktik ini memancing satu bek lawan (Barcelona) untuk ikut bergerak melebar dan penjagaan di kotak penalti pun renggang.

Kerenggangan itu dimanfaatkan Klopp dengan menginstruksikan dua gelandangnya--Henderson dan Wijnaldum--untuk ikut merangsak ke kotak penalti dan mengancam gawang lawan. Hasilnya mengesankan. Giorginio Wijnaldum, pemain yang sebelumnya tidak disangka-sangka bisa jadi pembeda, terbukti bikin dua gol ke gawang Barcelona. Tidak cuma itu, fullback kanan Liverpool, Trent-Alexander Arnold juga bikin dua assist di pertandingan yang sama.

"Dua gol Wijnaldum ke gawang Barcelona membuktikan betapa berbahayanya potensi umpan silang dari dua fullback Liverpool," imbuh Dave.

Metode tambahan inilah yang membedakan Liverpool dan Real Madrid. Di Madrid, Zidane tidak menginstruksikan Luka Modric ataupun Toni Kroos bergerak seagresif Henderson atau Wijnaldum.

Celah Spurs yang Bisa Dimanfaatkan Liverpool

Meski telah membentuk sistem yang menjanjikan, Klopp dan Liverpool tidak lantas punya garansi bakal menggondol gelar Liga Champions musim ini. Tottenham, lawan yang akan mereka hadapi bukanlah klub sembarangan. Spurs melaju ke final setelah menundukkan tim-tim unggulan macam Manchester City dan Ajax Amsterdam.

Musim ini, Liverpool sebenarnya punya kenangan manis setiap bertemu Tottenham. Dua kali jumpa di EPL, The Reds selalu menang. Namun, dalam pertemuan terakhir di Anfield, kemenangan 1-2 Liverpool cuma ditentukan 'gol jatuh dari langit' yang terjadi akibat bunuh diri bek Spurs, Tobby Alderweireld.

Pengamat sepakbola The Times, Tom Clarke punya kesimpulan menarik dari pertemuan Liverpool dan Tottenham sejauh ini. Menurut Clarke, Tottenham punya kelemahan besar yang bisa dimanfaatkan Liverpool, yakni buruknya koordinasi antara fullback dan bek tengah mereka.

Saat membangun serangan, dua fullback Spurs, Kieran Trippier dan Danny Rose kerap bergerak tanpa melihat posisi bek tengahnya, begitu pula para gelandang macam Eric Dier, Moussa Dembele, serta Harry Winks. Akibatnya, dua bek tengah Spurs, Jan Vertonghen dan Toby Alderweireld kerap terisolasi ketika Liverpool membalas dengan serangan balik cepat.

"Momen seperti itu terus saja terjadi sepanjang pertandingan," jelas Clarke.

Liverpool bisa memanfaatkan situasi ini dengan kesigapannya. Andai para gelandang The Reds mampu mengumpan ke depan dengan cepat setiap kali mendapat bola, bukan tidak mungkin pertahanan Spurs hancur lebur. Soalnya, dalam posisi terisolasi, dua bek Spurs jelas bakal kesulitan ketika harus berhadapan dengan tiga penyerang Liverpool (dalam skema 4-3-3) sekaligus.

Dengan pemain-pemain yang punya umpan cepat sekaligus akurat macam James Milner atau Jordan Henderson, potensi untuk memanfaatkan celah itu terbuka lebar. Masalahnya, dengan kelemahan tersebut, Tottenham jelas tidak akan tinggal diam.

Pelatih Spurs, Mauricio Pocchetino dikenal dengan kelihaiannya beradaptasi di dalam pertandingan. Musim ini dia bahkan punya banyak formasi alternatif andalan, mulai dari 4-2-3-1, 3-4-2-1, 3-5-2, sampai formasi paling standar di EPL: 4-2-3-1.

Klopp tidak bicara banyak untuk menanggapi kejeniusan Pochettino. Namun satu hal yang bisa dia janjikan: final besok akan menjadi pertandingan yang seru.

"Kami tahu Tottenham adalah klub yang tangguh, Tottenham juga tahu kami adalah klub tangguh. Pertandingan besok pasti akan berjalan sengit," pungkas Jurgen Klopp.

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mufti Sholih