tirto.id - Lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) telah menjadi pertimbangan yang diakui secara global dalam pengambilan keputusan sebuah investasi. Para investor umumnya lebih melirik saham perusahaan-perusahaan yang telah menunjukkan upayanya untuk meningkatkan kinerja pada ketiga bidang tersebut.
Kriteria ESG, sejatinya mempertimbangkan seberapa baik perusahaan publik menjaga lingkungan dan masyarakat di tempat mereka bekerja. Serta bagaimana perusahaan itu bisa memastikan manajemen dan tata kelola perusahaan memenuhi standar yang tinggi.
“Pada intinya, investasi ESG adalah tentang memengaruhi perubahan positif dalam masyarakat dengan menjadi investor yang lebih baik,” ujar Kepala Strategi Investasi The Haverford Trust Company, Hank Smith, dilansir dari Forbes.
Belakangan investasi ESG memang naik pamor, konsep ini telah berevolusi dari sekadar pasar khusus (niche market) menjadi investasi arus utama (mainstream). Hal ini terlihat dari peningkatan signifikan pada topik seputar terutama setelah Pandemi Covid-19.
Berdasarkan analisa Google Trends yang dilakukan oleh CFA Institute pencarian mengenai topik ESG menujukkan kenaikkan yang sangat signifikan di tahun 2020. Padahal pencarian dengan topik tersebut sebelumnya menunjukkan pergerakan di angka yang stabil.
Kriteria investasi ESG awalnya fokus bertindak sebagai alat saring negatif untuk mengeliminasi industri tertentu sesuai permintaan klien (investor) dengan mandat yang sangat spesifik. Namun berjalannya waktu, ESG menarik perhatian para pengalokasi modal karena berhasil memberikan dampak bagi stakeholders tanpa mengorbankan kinerja.
Pendekatan ini juga memungkinkan para investor mengidentifikasi potensi keuntungan yang lebih tinggi. Di sisi lain perusahaan menyadari jika mampu menjalankan inisiatif ESG dengan baik, mereka dapat mengungguli kompetitor dan memberi nilai lebih bagi pemegang saham.
Alhasil, terlihat peningkatan pesat pada minat investor atas perusahaan yang mengupayakan ESG. Hal ini terlihat dari tren positif jumlah investor institusional yang menandatangani prinsip investasi yang bertanggung jawab atau The Principles for Responsible Invetsment (PRI).
Untuk informasi, PRI terdiri dari 6 prinsip yang memastikan investor untuk mempromosikan dengan menetapkan standar ESG dalam investasinya.
Merujuk laporan CFA Institute berjudul Future of Sustainability in Investment Managementsetidaknya pada periode 2009-2019 investor yang menyepakati PRI naik 16 persen secara rerata tahunan. Kemudian, pada semester pertama 2020, jumlahnya naik 28 persen. Walhasil, jumlah aset yang dikelola dengan mengusung prinsip ini telah melebihi 100 triliun dolar AS.
Sejalan dengan analisa CFA Institute, PwC memprediksi tren positif dari jumlah aset dikelola yang mengusung prinsip ESG, dengan rerata tingkat pertumbuhan tahunan 12,9 persen hingga tahun 2026. Jadi pada 2026, PwC memproyeksi seperlima (21,5 persen) aset yang dikelola investor akan menerapkan ESG.
Lebih lanjut, analisa PwC menunjukkan Asia Pasifik mencatatkan pertumbuhan paling signifikan atas pengeloaan aset di bawah ESG, di mana nilainya akan mencapai 3,3 triliun dolar AS pada 2026 atau naik lebih dari 3 kali lipat dibandingkan 2021. Untuk Indonesia, PwC menyebut pertumbuhan aset ESG utamanya disebabkan oleh tekanan dari investor asing.
Negara-Negara yang Wajib Lapor ESG
Tingginya potensi peningkatan pengelolaan aset dibawah prinsip ESG mendorong banyak negara mengadopsi peraturan yang mewajibkan laporan secara berkala. Pelaporan ESG adalah pengungkapan publik suatu organisasi atas data lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaannya.
Tujuan dari laporan ESG adalah untuk memastikan transparansi dalam kegiatan-kegiatan organisasi yang menerapkan ESG dan mengukur kinerja keberlanjutannya sehingga para pemangku kepentingan, seperti investor, konsumen, dan LSM, dapat mengambil keputusan investasinya yang lebih tepat.
Di Inggris misalnya, pada April 2022 memberlakukan dua undang-undang pengungkapan ESG yang bersifat wajib. Beleid yang dimaksud mencakup peraturan laporan strategis perusahaan dan peraturan kemitraan perseroan terbatas, di mana keduanya berisi pengungkapan laporan keuangan terkait iklim.
Sementara di Malaysia, pelaporan ESG juga telah diwajibkan bagi semua perusahaan publik sejak 2016. Ini menjadikan Negeri Jiran salah satu negara pertama yang memperkenalkan persyaratan pengungkapan semacam ini.
Meskipun begitu, hingga kini belum ada kerangka pelaporan ESG standar yang ditetapkan pemerintah. Akan tetapi, setidaknya terdapat beberapa informasi yang harus diikutsertakan dalam laporan tersebut.
Berbeda dengan China, di mana tidak ada undang-undang khusus atas pelaporan ESG. Namun, mulai 1 Juni 2022, dikeluarkan sebuah pedoman bagi perusahaan untuk melaporkan metrik ESG.
ESG di Indonesia
Jika berkaca pada laporan BEI per November 2023, sebanyak 44 persen emiten dengan risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (environtment, social, and governance/ESG) rendah mengalami apresiasi harga saham yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan dengan risiko ESG sedang dan tinggi.
Kemudian, dari sisi pertumbuhan pendapatan, terlihat pertumbuhan emiten dengan risiko ESG rendah dan menengah memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dengan distribusi yang lebih adil antara pertumbuhan pendapatan dan penurunan pendapatan. Sementara penurunan pendapatan rata-rata lebih terlihat pada perusahaan dengan risiko ESG yang tinggi.
Namun, di satu sisi, pemerintah Indonesia hingga saat ini belum menetapkan kebijakan agar perusahaan melaporkan ESG-nya seperti Inggris dan Malaysia. Meskipun sebagian besar perusahaan ataupun emiten di dalam negeri sebenarnya sudah menyadari pentingnya ESG.
Atas dasar itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengakomodasi minat investor terhadap emiten yang memperhatikan ESG dalam operasionalnya dengan membuat indeks ESG. BEI secara resmi juga memperkenalkan ESG Star Listed Companies yang saat ini terdiri dari delapan emiten.
Delapan emiten tersebut diantaranya adalah PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).
Di luar itu dari perhatian atas ESG, perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEI juga tengah bersiap untuk meningkatkan upaya mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesetaraan gender. Ini sebagai bagian dari kesepakatan yang akan turut membuat mereka lebih menarik di mata investor yang berfokus pada aset berkelanjutan.
"Satu hal penting yang kami peroleh dari gambaran tersebut bahwa peralihan ke praktik bisnis berkelanjutan belum tentu berdampak negatif langsung terhadap kinerja keuangan," kata Direktur Utama BEI, Iman Rachman.
Meskipun ada kemajuan dalam perkembangan ESG di Tanah Air, kita tidak boleh lengah karena tantangan tetap ada. Termasuk kesenjangan dalam kesadaran dan implementasi antara perusahaan besar dan kecil serta akses terbatas terhadap data dan informasi terkait ESG.
Keberjalanan ESG, sejatinya memang tidak mudah karena memerlukan ilmu dan di Indonesia sendiri pemahaman ESG masih belum optimal. Karena berdasarkan survey IBCSD pada 2021 Indeks ESG Indonesia berada pada peringkat ke 36 dari 47 pasar modal di dunia.
Rendahnya peringkat pasar modal Indonesia disebabkan karena masih banyaknya perusahaan yang belum sadar dan memahami manfaat dari ESG. Survey IBCSD mencatat bahwa 40 persen perusahaan di Tanah Air masih belum sadar terhadap pentingnya penerapan ESG.
Namun, dengan semakin meningkatnya kesadaran dan dukungan dari berbagai pihak, kita berharap perkembangan ESG di Indonesia akan terus tumbuh secara positif.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas