Menuju konten utama

Keruntuhan Investree cs & Lemahnya Perlindungan Investor

Fintech P2P lending menawarkan bunga tinggi hingga 20 persen, namun risiko gagal bayar menjadi sepenuhnya tanggungan investor.

Keruntuhan Investree cs & Lemahnya Perlindungan Investor
Header INSIDER Wanprestasi Fintech. tirto.id/Ecun

tirto.id - Sampai awal tahun 2024, kasus gagal bayar di perusahaan fintech Peer to Peer (P2P) lending, PT Investree Radika Jaya (Investree), PT Tani Fund Madani Indonesia (TaniFund), dan PT LinkAja Modalin Nusantara (iGrow) tak kunjung selesai. Kisruh di bisnis pinjaman online atau pinjol ini semakin memperburuk citra industri, karena perlindungan terhadap investor dinilai lemah.

Ukuran tingkat wanprestasi atau keterlambatan penyelesaian kewajiban yang tertera sesuai regulasi adalah TWP90 atau diatas 90 hari terhitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran utang.

Dalam kasus tersebut, rata-rata lender telah mengalami keterlambatan bayar lebih dari 90 hari, bahkan sampai 700 hari atau dua tahun. Selain itu dalam kasus Investree, iGrow dan TaniFund nilai TWP90 sudah di atas 10 persen. Padahal ambang batas TWP90 dari OJK maksimum 5 persen. Terlebih lagi ternyata, masih banyak kasus serupa.

Dilansir dari laman resmi OJK pada Desember 2023, jumlah perusahaan penyedia layanan P2P lending atau pinjol yang berizin resmi dan tercatat di OJK sebanyak 101 perusahaan. Dari 101 perusahaan pinjol resmi tersebut, sekitar 20 persen bermasalah gagal bayar. Apa penyebabnya? Karena kondisi perekonomian atau faktor lainnya.

Melansir OJK, perusahaan P2P lending adalah penyelenggara layanan jasa keuangan yang mempertemukan pemberi dengan penerima pinjaman (borrower) untuk melakukan perjanjian pinjam-meminjam melalui sistem elektronik atau marketplace, seperti Investree.

Namun dalam hal ini, Investree menyatakan tidak mengelola dana investor, melainkan hanya menyalurkannya. Pasalnya, perusahaan fintech pinjol ini menyakinkan bahwa dana investor bakal aman sekaligus investasinya menguntungkan.

Keuntungan atraktif berupa suku bunga hingga 20 persen per tahun. Angka tersebut tentu menggiurkan, karena jauh melampaui suku bunga deposito di perbankan yang dikisaran 5-7 persen per tahun. Suku bunga tabungan jauh lebih kecil lagi, yaitu kisaran 0,5-2 persen.

Hal menarik lainnya, investor juga bisa mengelola portofolionya secara mandiri, sehingga dia bisa memilih sendiri produk-produk Investree yang dirasa punya tingkat pengembalian investasi (return) yang tinggi.

Selain itu, Investree juga menjanjikan manfaat tambahan berupa jaminan asuransi sebagai mitigasi risiko jika terjadi gagal bayar. Investree akan membayarkan premi asuransi secara berkala dengan potensi pengembalian dana antara 75-90 persen dari pokok pinjaman, tidak termasuk bunga dan denda keterlambatan.

Namun, fakta berbicara lain. Saat tertimpa kasus gagal bayar sejak awal tahun 2023, para lender curhat di media sosial bahwa asuransinya tidak cair. Investree selalu mengelak dengan berbagai dalih.

Parahnya lagi, Investree dalam laman resminya menginfokan bahwa risiko gagal bayar sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari lender. Pernyataan disclaimer dari Investree tersebut memunculkan tanda tanya. Jika asuransi itu benar ada, tentu uang investor tidak hilang semuanya karena 75-90 persen diganti oleh perusahaan asuransi.

Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Triyono, yang dikutip Antara, mengingatkan investor untuk memahami syarat dan ketentuan pada bisnis P2P lending sebelum berinvestasi agar tidak kecewa. Sebab investasi itu tidak selalu untung, tapi ada kalanya juga buntung alias merugi karena beragam masalah.

Investree melaporkan ada lima perusahaan besar yang gagal bayar. Mereka bergerak di sektor tekstil dan garmen, transportasi dan logistik, minyak dan gas, penyediaan komputer dan sektor konstruksi. Rekam jejak borrower tersebut sebelumnya baik. Usahanya bermasalah, sehingga tidak bisa membayar pinjaman disebabkan bisnisnya di saat pandemi Covid-19 lesu.

Selain bisnis sedang lesu, penyaluran kredit dinilai banyak yang mengabaikan prinsip kehati-hatian, sehingga marak kasus gagal bayar.

Kapan Pinjol Hadir

Perusahaan P2P lending diperkirakan hadir resmi di Indonesia sejak tahun 2016 yang dibuktikan dengan munculnya aturan terkait bisnis pinjol di tahun tersebut. Ada juga yang menyebutkan KoinWorks yang berdiri di tahun 2015 sebagai perusahaan pinjol pertama di Indonesia.

Kehadiran perusahaan pinjol di Indonesia terhitung terlambat. Sebab secara global, perusahaan pinjol modern pertama di dunia, yakni Zopa telah berdiri sejak tahun 2005 di Inggris. Setahun kemudian atau tahun 2006, perusahaan pinjol Prosper dan LendingClub juga berdiri di Amerika Serikat.

Di sisi lain, walau terlambat hadir, dari sisi penyebaran P2P Lending, Tiongkok atau China mampu menjadi pasar pinjol terbesar di dunia. China baru masuk ke bisnis pinjol di tahun 2012. Setelah booming di tahun 2017. Namun pada 2018, bisnis pinjol di China turun drastis hampir 40 persen, karena peraturan baru pemerintah yang membatasi sektor tersebut berkembang pesat.

Perusahaan Konsultan Bisnis, McKinsey, dalam blognya yang berjudul,”What today’s shake-out in China’s peer to peer lending market means for fintech” menuliskan bahwa Pemerintah Tiongkok membatasi bisnis pinjol, karena banyak perusahaan pada pertengahan tahun 2018 gagal bayar. Ada sedikitnya 300 platform pinjol yang gulung tikar, namun 1.800 lainnya masih beroperasi.

Di Hangzhou, China, korban pinjol memenuhi dua stadion utama di kota tersebut untuk melakukan pengaduan. Harga saham Yirendai, perusahaan pinjol pertama yang go public di Bursa New York dan Paipaidai juga anjlok sebesar 70 persen.

Gulung tikarnya banyak perusahaan pinjol di China saat itu terjadi karena beberapa platform P2P ditemukan membuat informasi fiktif tentang peminjam untuk membentuk kumpulan aset. Kemudian, menyalurkan dana yang terkumpul untuk mendukung kebutuhan bisnis sendiri.

Lalu, banyak platform yang memberikan kredit tanpa memiliki alat atau proses penilaian risiko yang tepat. Banyak juga yang beroperasi sebagai ‘bank bayangan’, yang menawarkan suku bunga tinggi kepada investor individu dan meminjamkan dengan suku bunga lebih tinggi lagi kepada perusahaan. Semua ini dikemas sebagai produk pengelolaan kekayaan dan dijual secara online.

Pola-pola fraud untuk mendongkrak aset inilah yang juga ditemukan pada kasus Investree, iGrow dan TaniFund.

Pinjol Tetap Prospektif

Meski banyak masalah, bisnis pinjol sebenarnya menjanjikan. Kehadiran bisnis pinjol ini semakin marak seiring meluasnya penggunaan internet di Tanah Air.

Pinjol menjadi alternatif sumber pendanaan baru, yang selama ini dikuasai perbankan. Mereka menawarkan akses pembiayaan yang mudah bagi individu atau UMKM yang kesulitan mendapat pendanaan dari bank.

Seiring perkembangan tersebut, perusahaan pinjol juga mengajak investor individu untuk berinvestasi di pinjol. Bak gayung bersambut, masyarakat ramai-ramai menempatkan dananya untuk meraup cuan dari bisnis pinjol.

Menurut rilis Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), per Juli 2023 kebutuhan pinjaman atau kredit di Indonesia mencapai Rp 2.650 triliun. Dari jumlah tersebut, lembaga keuangan konvensional hanya mampu menyalurkan kredit di kisaran Rp1.000 triliun. Artinya, masih ada kekurangan kredit (gap) mencapai Rp1.650 triliun, yang menjadi potensi pasar dari perusahaan pinjol.

Estimasi kebutuhan kredit tinggi mengingat saat ini 132 juta individu dan 46,6 juta UMKM yang belum punya akses kredit. Bahkan berdasarkan riset AFPI, kebutuhan kredit UMKM pada 2026 diproyeksikan mencapai Rp4.300 triliun.

Dari jumlah tersebut, kemampuan perbankan menyalurkan kredit hanya Rp1.900 triliun, sehingga akan terjadi gap kredit sebesar Rp2.400 triliun.

Infografik INSIDER Wanprestasi Fintech

Infografik INSIDER Wanprestasi Fintech. tirto.id/Ecun

Tak heran jika jumlah perusahaan pinjol diperkirakan akan terus bertumbuh. Kehadiran teknologi finansial mempermudah penyaluran kredit ke perseorangan maupun dunia usaha. Pemberi pinjaman bisa lebih cepat dalam menyeleksi calon penerima kredit karena semua dilakukan secara daring.

Terlebih, sistem ini juga dinilai cocok dengan karakter Generasi Milenial dan Gen Z yang menyukai kecepatan dan kepraktisan dalam layanan.

Risiko Investasi Pinjol

Meski tampak mudah, cepat, dan praktis, bisnis pinjol berisiko besar karena beberapa hal. Pertama, seleksi penerima pinjaman hanya dilakukan secara daring atau tidak ada wawancara tatap muka langsung sebagaimana lazimnya di perbankan konvensional.

Akibatnya, penerapan prinsip 5C (character, capacity, capital, collateral and condition) yang biasa dilakukan oleh analis kredit perbankan untuk menganalisa kelayakan calon penerima kredit tidak bisa dipenuhi semuanya.

Kedua, pinjol tidak mensyaratkan adanya agunan (collateral), kecuali untuk jenis pinjaman pendanaan proyek. Artinya, kredit berisiko tinggi. Dalam praktek menjaring nasabah juga terkesan ‘asal-asalan’ atau kurang selektif demi target penetrasi kredit.

Ketiga, literasi keuangan masyarakat atau sederhananya pemahaman tentang keuangan, risiko, dan manajemen keuangannya masih rendah. Mereka cenderung mudah berutang, namun kurang memperhitungkan kemampuannya dalam mengembalikannya. Kalau berinvestasi sering hanya ikut-ikutan dan abai terhadap risiko.

Melihat risiko bisnisnya tersebut, lender atau investor sebaiknya cermat dan mau mempelajari sistem bisnis pinjol terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berinvestasi. Lazimnya di dunia investasi, semakin tinggi risiko bisnisnya, maka potensi keuntungannya juga semakin besar (high risk high return).

Jangan sampai lender keliru memutuskan, sehingga yang terjadi risiko tinggi tapi keuntungan kecil. Risikonya jika terjadi gagal bayar kehilangan keseluruhan investasi, namun potensi keuntungannya hanya 18-20 persen.

Edukasi terkait bisnis pinjol ini perlu ditingkatkan diiringi dengan kehadiran regulasi yang ketat dan memadai. Hal ini diperlukan untuk mencegah praktek-praktek bisnis yang tidak etis, penipuan, dan penyelewengan (fraud) keuangan lainnya.

Tidak hanya itu, langkah mitigasi risiko dengan prinsip kehatia-hatian (prudent) harus dipegang teguh perusahaan fintech. Dalam hal ini P2P lending penting menerapkan transparansi dalam berbisnis.

Perusahaan harus memberikan penjelasan yang detil dan transparan terkait biaya, syarat dan ketentuan pinjaman agar lender maupun borrower bisa memperhitungkan risikonya.

Suku bunga yang ditawarkan pun semestinya dalam tingkat yang wajar dan tidak membebani peminjam. Pasalnya, suku bunga yang terlampau besar berakibat potensi gagal bayar yang lebih tinggi.

Per 1 Januari 2024, OJK menerbitkan aturan baru terkait suku bunga layanan fintech P2P lending. Suku bunga diturunkan dari 0,4 persen per hari atau 12 persen per bulan menjadi 0,3% per hari atau maksimum 9 persen per bulan. Keringanan suku bunga tersebut diharapkan memudahkan borrower untuk mengembalikan pinjamannya.

Kehadiran pinjol dibenci sekaligus dirindukan. Perusahaan ini diharapkan bisa membantu memberikan solusi pendanaan bagi individu dan perusahaan yang sulit punya akses ke perbankan karena berbagai alasan.

Regulator maupun pelaku industri terkait diharapkan konsisten melakukan edukasi kepada masyarakat. Harapannya, lender dan borrower yang teredukasi akan mengerti dengan risiko bisnisnya, sehingga meminimalkan potensi konflik.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Insider
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas