tirto.id - Awal dekade ini Indonesia diawali dengan basah. Hujan terus mengguyur wilayah Jabodetabek sejak Selasa sore (31/12/2019) dengan intensitas lebat. Langit malam pergantian tahun yang biasanya semarak, kali ini minim kembang api. Hujan memang sempat berhenti jelang tengah malam. Namun, beberapa menit setelah pergantian tahun, hujan kembali turun dan terus mengguyur wilayah Jakarta dan sekitarnya hingga keesokan hari.
Sekitar pukul 8 pagi, saya melihat unggahan di media sosial beberapa kawan yang menginformasikan bahwa tempat tinggalnya mulai tergenang banjir. Lokasi mereka beragam. Ada yang di Depok, Tangerang, Bekasi, dan Jakarta.
Pukul 08.45, Kepala Pusat Data Informasi BNPB, Agus Wibowo menginformasikan kepada jurnalis setidaknya sudah ada 23 titik yang terendam banjir di Bekasi, dua titik di Bogor dan 17 titik di DKI Jakarta. Masih dalam informasi yang sama diketahui banjir mulai memasuki permukiman warga sejak pukul 02.45 dengan ketinggian beragam mulai 25 hingga 50 centimeter.
Dari data terakhir yang dihimpun BNPB per 4 Januari 2020, banjir kali ini merendam 308 kelurahan dengan ketinggian air maksimum mencapai enam meter. Sementara korban meninggal dunia mencapai 60 orang, dengan jumlah pengungsi sebanyak 92.621 jiwa yang tersebar di 189 titik pengungsian.
Banjir besar semacam ini bukanlah hal baru di Jakarta. Sebelum ini, setidaknya ada lima banjir besar dalam sejarah DKI Jakarta, yakni pada 2002, 2007, 2013 dan 2014. Jika melihat dari dampak yang ditimbulkan seperti korban meninggal dunia, sebaran titik banjir hingga jumlah pengungsi, maka dapat disebut tahun 2007 menjadi banjir terparah.
Saat itu korban meninggal di DKI Jakarta berjumlah 48 orang, sementara di tahun 2020 berjumlah 16 orang. Kemudian jumlah kelurahan terdampak pada 2007 mencapai 199 kelurahan, masih lebih banyak ketimbang tahun ini yang mencapai 157 kelurahan. Jumlah pengungsi pun pada tahun ini hanya 31.233 orang, sangat jauh dibandingkan pada 2007 yang menyentuh angka 522.569 jiwa.
Namun jika dilihat dari curah hujan, pada 2020 terjadi anomali. Dalam rentang 1996 hingga 2006, intensitas curah hujan paling tinggi terlihat pada tahun 2007 dengan 340 mm/hari. Pada 2008, intensitas curah hujan maksimal terlihat di angka 250 mm/hari dan 277 mm/hari di tahun 2015.
Sementara data yang dihimpun dari beberapa titik pengukuran didapat per 1 Januari 2020, intensitas curah hujan tercatat 377 mm/hari di Stasiun BMKG TNI AU Halim, 335 mm/hari di Stasiun BMKG Taman Mini, dan 259 mm/hari di Stasiun BMKG Jatiasih.
Anomali Banjir DKI
Menurut Ahli Geospasial, Bintang Rahmat Wananda, curah hujan yang tercatat di Halim melebihi rekor curah hujan harian kala ulang 1.000 tahun. Padahal jika merujuk kurva Gumbel, diprediksi curah hujan tertinggi maksimal hanya sampai 208 mm/hari.
Hal ini menurut Bintang, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah akibat perubahan iklim. Kedua, lantaran disebabkan adanya urban heat island atau perubahan iklim lokal.
“Perubahan iklim lokal terjadi akibat udara panas yang terperangkap dalam hutan beton suatu wilayah, dalam hal ini kota. Sehingga lama kelamaan akan membentuk pola cuaca tertentu yang berubah menjadi iklim lokal. Namun ini baru perkiraan saja. Perlu kajian lebih mendalam,” ujar Bintang saat ditemui reporter Tirto, Senin, 6 Januari 2020.
Pada banjir kali ini pula, terdapat beberapa titik banjir yang tidak terendam dalam banjir besar sebelumnya pada 2014, akan tetapi terendam genangan pada tahun ini.
Kami membaginya dalam tiga peta; peta sebaran banjir 2014 yang berwarna biru, peta sebaran banjir 2020 yang berwarna merah dan peta tumpang tindih (overlay) kedua tahun tersebut yang berwarna ungu yang berarti di daerah tersebut terendam banjir baik 2014 maupun 2019.
Namun, harus diketahui peta tersebut hanya merepresentasikan kelurahan terdampak, bukan titik banjir secara presisi. Hal ini lantaran dalam satu kelurahan ada RW yang terendam banjir ada yang tidak, begitu pun dalam satu RW, tidak semua RT ikut terendam.
Dari peta ketiga tersebut terlihat titik baru pada 2020 seperti Kelurahan Meruya, Joglo, Palmerah, Menteng, Karet Semanggi, Kuningan Timur, dan lain-lain. Kendati demikian, beberapa daerah tersebut ada juga yang pernah terendam banjir pada banjir-banjir sebelum 2014.
Bintang kemudian menjelaskan, untuk mengetahui penyebab banjir dalam suatu periode turunnya hujan, harus diidentifikasi apakah itu merupakan banjir kiriman atau banjir lokal.
Untuk mengetahuinya, kami mencoba merunut peristiwa banjir Jabodetabek khususnya DKI Jakarta pada 31 Desember 2019 malam hingga 1 Januari 2020 malam.
Pada pukul 02.45, sejumlah wilayah di Jakarta Timur dan Jakarta Barat sudah mulai tergenang. Sementara itu, wilayah di sepanjang 16 kilometer DAS Ciliwung yang sudah dinormalisasi seperti Kampung Pulo dan Bukit Duri terlihat masih relatif aman hingga pukul 13.00.
Berdasarkan data BNPB dan BPPD DKI Jakarta, pada pukul 05.00, pintu air Katulampa terpantau setinggi 40 centimeter atau siaga 4. Begitu pun pintu air Depok yang sudah setinggi 150 centimeter dan masih siaga 4. Di bawah, pintu air Manggarai sudah siaga 2 dengan ketinggian air 915 centimeter.
Pada waktu yang sama, air sudah mulai menggenangi beberapa titik di Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Barat dengan ketinggian air 60 centimeter. Air meninggi pada pukul 14.00, hingga mencapai 200 centimeter.
Sekitar pukul 15.00 hingga 16.30, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono melakukan pantauan udara, hasilnya wilayah normalisasi DAS Ciliwung terpantau aman. Hingga saat itu, air dari Katulampa masih belum sampai Jakarta.
Air dari Katulampa Bogor diperkirakan baru tiba di Jakarta pada pukul enam sore. Kemudian pada malam hari, jam tidak diketahui, Kampung Pulo, salah satu wilayah DAS Ciliwung yang dinormalisasi, tergenang.
Artinya, jika melihat dari kronologi tersebut, hingga pukul 6 sore, banjir yang ada di Jakarta merupakan banjir lokal akibat dari curah hujan.
Musabab Banjir
Dari analisis Bintang Wardana, tidak ada faktor tunggal penyebab banjir. Dalam konteks banjir Jabodetabek 2020, setidaknya ada beberapa faktor.
Pertama, minimnya resapan air di selatan Jakarta atau bagian hulu. Daerah hulu merupakan tempat efektif untuk menyerap air permukaan (surface run off) yang diakibatkan curah hujan yang tinggi. Hal ini lantaran muka air tanah masih sekitar ratusan meter dari permukaan sehingga penyerapan bisa maksimal.
Jika air yang mengalir di permukaan bisa diserap, maka air yang turun ke hilir dapat berkurang. “Permasalahannya saat ini semua run off dibuang ke sungai,” ujar Bintang.
Faktor kedua adalah drainase yang buruk di hilir. Secara geografis, Jakarta berada di bidang datar. Akan sulit jika hanya bergantung pada sistem kanal yang mengandalkan gravitasi.
Di sisi lain, Jakarta hampir tidak ada ruang terbuka biru (RTB) atau tempat parkir air sebelum dialirkan ke laut.
“Seharusnya tiap permukiman diwajibkan memiliki semacam kolam resistensi untuk menampung air dan itu dibikin sistemik melalui regulasi pemerintah,” kata Bintang.
Belum lagi fenomena penurunan tanah atau land subsidence yang tersebar di hampir semua wilayah DKI Jakarta yang tentu memperburuk banjir.
Terpisah, Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center Urban Studies menilai selama ini pengelolaan air permukaan (run off) dilimpahkan seluruhnya pada pemerintah. Padahal jika melibatkan masyarakat, run off tersebut bisa berkurang banyak.
“Misalnya saja dengan membuat sumur resapan di tiap rumah. Atau sesederhana menggunakan tandon,” kata Elisa.
Sementara untuk yang lebih makro seperti pada permukiman apartemen maupun bangunan tinggi lain, pemerintah dapat menggalakkan regulasi mengenai sumur resapan.
Sebenarnya, sudah ada regulasi yang mengatur melalui Pergub Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sumur Resapan dan Kepgub Nomor 279 Tahun 2018 tentang Tim Pengawasan Terpadu Penyediaan Sumur Resapan dan Instalasi Pengolahan Air Limbah Serta Pemanfaatan Air Tanah di Bangunan Gedung dan Perumahan. Namun, Elisa tidak melihat adanya sanksi tegas bagi pemilik gedung yang melanggar.
Pada April 2018, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang sempat menginspeksi 80 gedung di Jakarta terkait pematuhan sumur resapan dan pengelolaan air limbah.
“Bayangkan saja dari 80 gedung hanya satu yang memenuhi ketentuan, itu Hotel Pullman,” kata Elisa.
Namun, terkait sistem infiltrasi tersebut, Bintang Wardana tak sepenuhnya setuju. Lantaran menurutnya, sebagian tanah di Jakarta sifatnya sudah lempung sehingga tidak efektif dalam menyerap air.
“Kalau mau ya di Jakarta Selatan saja atau di hulu. Sisanya tidak cocok. Apalagi di kawasan utara. Itu harus pakai pompa,” kata Bintang.
Kendati demikian, pada banjir kemarin pompa yang ada tidak berjalan maksimal. Temuan Bintang, dari 450 pompa yang ada, hanya 50 yang beroperasi.
“Itupun telat. Baru dioperasikan pada 1 Januari 2020 pukul 12.00. Harusnya jauh lebih awal dari itu,” imbuh Bintang. Empat ratus pompa yang tidak berfungsi itu antara lain dikarenakan rusak hingga tidak ada bahan bakar.
Ruang Air Direbut
Jakarta sejatinya merupakan daerah rawa. Namun, seiring bertambahnya populasi manusia di ibukota dan perkembangan pembangunan, rawa-rawa tersebut kini berubah tampilan menjadi permukiman dan gedung-gedung tinggi.
Banjir di awal 2020 kemarin, mau tak mau tak bisa dilepaskan dengan Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Biru yang semakin hari semakin digerus oleh para pengembang.
Pemprov DKI menunjukkan sebuah peta bahwa saat ini 90 persen lahan di DKI Jakarta sudah dibeton. Pada 2004 hingga 2006, Agung Podomoro Grup secara agresif membangun 12 apartemen di kawasan barat, pusat, selatan dan utara Jakarta. Saat ini total apartemen di Jakarta mencapai sekitar 234 apartemen yang tentunya secara masif pula menyedot air tanah dan berperan mempercepat penurunan tanah (land subsidence).
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta setiap dekadenya semakin menguning. Jika melihat peta RTRW tahun 1980, DKI Jakarta masih cukup banyak lahan hijau. Namun pada peta RTRW 1999-2005, kawasan hijau makin berkurang dan berganti dengan kuning alias untuk permukiman. Pada peta RTRW 2010-2030 nyaris semua kawasan di Jakarta menjadi kuning.
Untuk itu, cara lain yang bisa dilakukan Pemprov DKI menurut Elisa adalah dengan mengembalikan sejumlah fungsi lahan yang saat ini peruntukkannya sebagai gedung. Misalnya saja Mega Mall Pluit yang Hak Guna Bangunan (HGB)nya akan habis pada 2025.
“Pemprov bisa mengembalikannya ke fungsi semula. Dulu itu namanya Taman Tirta Loka. Kalau mau ya hancurkan saja. Itupun jika belum diubah menjadi hak milik. Semoga tidak, ya. Pemprov bisa mengembalikan fungsi lahan pada gedung-gedung yang HGB-nya akan segera habis,” lanjut Elisa.
Baik Elisa maupun Bintang, enggan mengambinghitamkan perubahan iklim sebagai satu-satunya penyebab banjir kendati terdapat anomali curah hujan ekstrem hingga 377 mm/hari.
“Jika penanggulangan banjir sudah cukup baik, infiltrasi di hulu maksimal, drainase dan RTB mumpuni di hilir, pompa jalan dengan baik, risikonya bisa diminimalisir,” ucap Bintang.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Mawa Kresna