Menuju konten utama

Energi Baru Terbarukan Berpotensi Gantikan Batu Bara

Batu bara punya dampak lingkungan yang tak masuk dalam nominal harga, sehingga lebih mahal dari investasi energi baru terbaharukan (EBT).

Energi Baru Terbarukan Berpotensi Gantikan Batu Bara
Aktivitas perusahaan penimbunan batu bara yang dilakukan secara terbuka di tepi Sungai Batanghari terlihat dari Muarojambi, Jambi, Kamis (18/10/2018). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.

tirto.id - Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Alin Halimatussadiah menampik soal harga murah energi fosil seperti batu bara.

Ia mengatakan, secara langsung batu bara memang murah secara finansial, tetapi belum tentu secara opportunity cost (biaya lainnya yang harus ditanggung meski tidak tampak).

“Memang biaya pembangkit sekian [murah]. Tapi liat ke belakang distribusi dan penambangannya. Berapa dampak sosial dan lingkungannya,” ucap Alin dalam diskusi bertajuk ‘Tinjauan Ekonomi Batu Bara vs Energi Terbarukan, Bagaimana Kebijakan Presiden Terpilih?, di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (7/2/2019).

Bila mengacu pada analisis itu, Alin memastikan anggapan umum yang mengatakan Energi Baru Terbarukan (EBT) lebih mahal dari batu bara tentu terpatahkan. Meski mengembangkan EBT modal awalnya besar dan mahal, hal itu tidak sebanding dengan risiko lingkungan yang bisa dihindari.

Terlebih lagi, dengan perkembangan teknologi, ia memprediksi EBT akan terus semakin murah. Bahkan, Indonesia, kata Alin, dapat mendulang manfaat berupa pertumbuhan ekonomi dari EBT.

Semakin ditunda implementasi EBT, menurut Alin, pemerintah juga akan semakin kehilangan kesempatan untuk mengambil manfaat ekonomis.

Ia juga menganggap kebijakan pemerintah yang kurang mendukung EBT, karena mahalnya biaya modal awal, tentu tak dapat dibenarkan. Termasuk klaim lembaga keuangan ada risiko dalam investasi bidang EBT.

“Jadi EBT itu lebih berprospek dibandingkan batu bara. Masukan semua biaya termasuk opporiunity cost, maka dasar untuk transisi energi jadi kuat,” ucap Alin.

Alin pun mendesak pemerintah agar memperbaiki regulasi yang masih menjadi penghalang dalam pengembangan EBT. Terutama dari sisi insentif yang saat ini masih lebih berpihak pada batu bara.

Belum lagi pengembangan EBT masih terhambat dominannya batu bara dalam bauran energi nasional. Saat ini terdapat 54,5 persen porsi batu bata sebagai bahan bakar dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027.

“Kalau kita tidak memulai, akan ketinggalan. Regulasi ini tanggung jawab pemeirntah,” ucap Alin.

Baca juga artikel terkait ENERGI TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali