Menuju konten utama
Dampak Demo Mahasiswa

Emak-emak #ReformasiDikorupsi Kritik Brutalitas Aparat Tangani Demo

Aksi Solidaritas Emak-emak memprotes kematian aktivis Akbar Alamsyah dan memprotes sekitar 30 mahasiswa yang masih ditahan Polda Metro Jaya.

Emak-emak #ReformasiDikorupsi Kritik Brutalitas Aparat Tangani Demo
Solidaritas Emak-emak lakukan upacara tabur bunga di depan Polda Metro Jaya Kenang Mendiang Akbar Alamsyah, Minggu (13/10/2019). tirto.id/Riyan Setiawan.

tirto.id - Solidaritas Emak-emak mengecam brutalitas kepolisian saat aksi #ReformasiDikorupsi. Salah satu di antaranya ialah, Kokom Komalawati. Ia menggugat lewat puisi.

"Sepatu itu menginjak-injak kepalamu.

Pentungan itu memukul badanmu.

Peluru itu menembus kepalamu.

Tangan-tangan aparat itu menyiksamu.

Di baju mereka ada tetesan darahmu."

"Anakku sayang, sakitmu adalah sakit ibu. Lukamu adalah luka ibu. Sakit dan lukaku adalah duka bangsamu," teriak Kokom Komalawati saat membacakan puisi di depan Polda Metro Jaya (PMJ), Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2019).

Tak hanya terdiri dari ibu-ibu, pemuda dan mahasiswa pun juga ikut berpartisipasi dalam aksi ini.

Mereka melakukan upacara tabur bunga di depan PMJ untuk mengenang mendiang korban aksi di DPR, Akbar Alamsyah yang meninggal dunia Kamis lalu, akibat tindakan kekerasan.

Akbar, salah satu dari sejumlah korban yang hilang saat aksi di depan Gedung DPR pada 25 September kemarin dan baru ditemukan selang tiga hari. Akbar ditemukan dengan tempurung kepala yang sudah pecah dan dalam kondisi koma.

Tak hanya Akbar, mereka juga melakukan upacara untuk mengenang sejumlah korban aksi demonstrasi di DPR yang ditangkap, dikriminalisasi, hingga meninggal dunia untuk menolak RUU bermasalah pada 24, 25, dan 30 September lalu.

"Kekejaman rezim telah merenggut nyawa anak-anak pemberani pejuang bangsa. Mereka adalah anak-anak kita, mereka adalah penyambung lidah kita yang sedang menyuarakan kebenaran," kata dia saat di depan Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2019).

Saat upacara tabur bunga, ada belasan massa aksi yang memegang karton berisikan beberapa tuntutan. Lalu massa aksi itu secara bergantian melontarkan aspirasi mereka melalui orasi dan membacakan puisi.

Tak hanya itu, Solidaritas Emak-emak juga secara bergantian melakukan teatrikal dengan menabur bunga di atas seragam SMA yang bercorak merah menyerupai darah. Seragam itu dihamparkan di trotoar jalan menuju pintu masuk PMJ.

Di sebelah seragam SMA itu, bertuliskan sejumlah nama yang telah gugur saat aksi unjuk rasa menolak RUU bermasalah di DPR:

"Telah Gugur Pejuang Demokrasi"

1. Halu Oleo Immawan Randi

2. Muhammad Yusuf Kardawi

3. Bagus Putra Mahendra

4. Maulana Suryadi

5. Akbar Alamsyah

"Doa Ibu menyertaimu".

Aksi tabur bunga pun diiringi dengan lagu Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki dan diikuti oleh demonstran lainnya. Tampak beberapa massa aksi pun menitikkan air mata saat menyanyi bersama.

Pengendara yang melintas di sekitar PMJ pun juga mampir sejenak menyaksikan upacara tabur bunga. Usai melakukan tabur bunga, Kokom pun berteriak "Hentikan kekerasan," kata dia.

"Bebaskan anak kami," balas sejumlah demonstran.

Saat berunjuk rasa, Kokom menjelaskan ada 18 siswa yang terancam dicabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan dua siswa lainnya dipaksa untuk mengundurkan diri (DO) dari sekolah.

Lalu mereka juga diintimidasi dengan pemaksaan menandatangani surat perjanjian bahwa tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama yakni mengikuti demonstrasi.

Dari data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), kata Kokom, 30 mahasiswa saat ini masih ditahan oleh Polda Metro Jaya.

Selain itu, ia juga menyayangkan seruan oleh pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) yang mengancam akan mencopot rektor universitas yang mengizinkan mahasiswanya terlibat aksi demonstrasi.

"Kondisi ini bukan kondisi yang baik. lni adalah ancaman dari rezim terhadap rakyat, mahasiswa dan pelajar yang dengan gerakan perjuangannya telah membangkitkan kesadaran massa rakyat secara luas," tuturnya.

Sebagai perempuan yang kehilangan anak-anaknya saat aksi di DPR tempo hari, Kokom memprotes tindakan negara melalui aparatnya yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak-anak.

"Apabila kondisi seperti ini dibiarkan, mungkin saat ini bukan kita dan anak-anak kita yang menjadi korban. Namun, bisa jadi esok lusa, kita, keluarga kita, anak kita dan keluarga terdekat kita yang akan menjadi korbannya," tegas Kokom saat berorasi.

Pada akhir unjuk rasa di depan PMJ sekitar pukul 12.15 WIB, Solidaritas Emak-emak menyatakan beberapa tuntutan. Mereka menuntut untuk membebaskan sejumlah mahasiswa dan pelajar yang masih ditahan oleh pihak kepolisian.

Kemudian menuntut Polda Metro Jaya untuk membuka akses secara transparan data-data tentang mahasiswa dan pelajar yang masih ditahan.

"Berikan kemudahan akses bagi orang tua dan keluarga untuk mengetahui keadaan anak-anaknya dan berikan jaminan bagi mahasiswa dan pelajar untuk mendapatkan pendampingan hukum," tuturnya.

Selain itu, Solidaritas Emak-emak juga menuntut agar Menristekdikti, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), dan lembaga pemerintah lainnya untuk menghentikan segala pelarangan mahasiswa maupun pelajar untuk menyuarakan pendapatnya dan pengancaman drop out (DO).

Lebih lanjut, Kokom juga menegaskan kepada aparat kepolisian untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap aksi mahasiswa, pelajar dan seluruh rakyat yang menyuarakan hak-hak demokratisnya.

"Hentikan kriminalisasi terhadap pejuang demokrasi," pungkasnya.

Polisi Klaim Hanya Dua Mahasiswa Ditahan

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono menanggapi sejumlah massa aksi yang mengatasnamakan Solidaritas Emak-emak yang menyebut 30 demonstran masih ditahan di PMJ.

Argo mengatakan, di dalam PMJ hanya tersisa dua mahasiswa saja yang ditahan.

"Ada dua mahasiswa yang ditahan," ujarnya kepada wartawan, Minggu (13/10/2019).

Ia menuturkan, kedua massa aksi itu ditahan lantaran melakukan perusakan fasilitas publik dan kedapatan membawa senjata tajam.

Sementara, kata Argo, Akbar ditemukan tergeletak di trotoar kawasan Slipi sekitar pukul 01.30 WIB (26/9/2019) dini hari. Argo mengklaim anggotanya mendapati Akbar sudah dalam keadaan terluka.

"Sudah ada luka. Ada saksi juga yang melihat dengan baju dan kaos yang ada di sana. Kita mau memeriksa saksi juga," ujarnya di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (11/10/2019).

Di sisi lain, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra mengatakan pihaknya telah mendapatkan keterangan dari saksi mata bahwa saat Akbar berupaya menghindari kerusuhan. Akbar melompati pagar di depan Gedung DPR sehingga mengakibatkan ia terluka parah.

"Saat itu kami sudah temukan saksi bahwa yang bersangkutan [Akbar] jatuh pada saat melompati pagar tersebut," ujarnya saat di Hotel Amaroossa Hotel Cosmo Jakarta, Selasa (8/10/2019).

Polisi mengklaim yang mengakibatkan Akbar masuk Rumah Sakit hingga koma beberapa hari karena melompat pagar. Bukan karena kekerasan dari aparat kepolisian yang saat itu tengah bentrok dengan demonstran.

"Jadi sementara dugaannya bahwa yang bersangkutan [Akbar] luka bukan akibat kekerasan, karena adanya insiden itu [lompat dari pagar DPR]," klaim dia.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menegaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan mencabut hak Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk para pelajar yang terbukti melakukan tindak kriminal saat ikut demonstrasi di sekitar Gedung DPR.

"Saya tak pernah menggariskan pencabutan KJP. Yang harus adalah pembinaan lebih jauh, orang tua dipanggil, anak dipanggil, diajak diskusi. Jadi mereka didik lebih jauh. Bukan hanya diberhentikan," ujarnya saat di Kantor Wali Kota Jakarta Barat, Rabu (2/10/2019).

Anies mengatakan jika pelajar yang mengikuti unjuk rasa di sekitar DPR tersebut terbukti melakukan tindakan kriminal seharusnya mengikuti proses hukum yang berlaku. Namun, kata Anies, pemerintah bertanggung jawab menjalankan tugasnya untuk mendidik setiap orang.

"Karena itu di Jakarta, saya sudah garisbawahi, kalau ada anak yang dianggap bermasalah tidak boleh dikeluarkan dari sekolah. Kalau dia di DO [Drop out] dari sekolah, siapa yang mendidik? Dipindah sekolah boleh, tapi bukan diberhentikan haknya atas pendidikan," pungkasnya. Riyan Setiawan

Baca juga artikel terkait DEMO MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri