Menuju konten utama

Eksepsi Kasus BLBI: Terdakwa Syafruddin Nilai Dakwaan Salah Sasaran

Lewat tim kuasa hukum yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra, Syafruddin berpandangan dakwaan padanya salah sasaran.

Eksepsi Kasus BLBI: Terdakwa Syafruddin Nilai Dakwaan Salah Sasaran
Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung didampingi kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra bersiap meninggalkan ruangan seusai menandatangani berkas pelimpahan tahap dua di gedung KPK, Rabu (18/4/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Terdakwa tindak pidana korupsi penerbitan surat keterangan lunas BLBI Syafruddin Arsyad Tumenggung membacakan eksepsi atas dakwaan KPK. Lewat tim kuasa hukum yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra, Syafruddin berpandangan dakwaan salah sasaran.

Mereka menilai, Syafruddin belum menjabat sebagai Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sehingga tidak sesuai dengan dakwaan KPK.

"Terdakwa baru menjabat sebagai Ketua BPPN sejak tanggal 22 April 2002, sehingga pada saat terdakwa menjabat sebagai Ketua BPPN, MSAA [Master Settlement And Acqisition Agreement] sudah tidak bisa dilakukan perubahan kembali," kata tim penasihat hukum Syafruddin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).

Tim penasihat hukum menerangkan, permasalahan BLBI berawal saat pemberian bantuan kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Namun, pemberian uang mengarah kepada BDNI, bukan kepada Sjamsul Nursalim selaku individu.

Kemudian, permasalahan utang tersebut pun diselesaikan di luar pengadilan dengan menggunakan sistem MSAA. Dalam MSAA, Sjamsul sepakat menyelesaikan utang secara perdata kepada pemerintah.

Ia pun mempunyai kewajiban membayar kepada pemerintah c.q. BPPN sebesar Rp28.408.000 juta. Permasalahan utang Sjamsul pun dianggap selesai berdasarkan dokumen Release and Discharge untuk Sjamsul. Dokumen tersebut telah ditandatangani antara BPPN, Menteri Keuangan RI dan Sjamsul Nursalim pada 25 Mei 1999.

Meskipun berusaha mengubah MSAA lewat 3 pemimpin BPPN, yakni Kwil Kian Gie, Rizal Ramli, dan Dorojatun Kuntjoro-Jakti, pemerintah tidak bisa mengubah ketentuan MSAA. Sebab, para debitro MSAA dilindungi UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Tap MPR No. X Tanggal 9 Nopember 2001.

"Bahwa dari rangkaian upaya perubahan MSAA sampai dengan masa kepastian hukum MSAA pada bulan Maret 2002, Terdakwa belum menjabat sebagai Ketua BPPN," kata tim penasihat hukum.

Kemudian, mereka menilai Jaksa KPK mengabaikan Laporan BPK No. 02/31 Mei 2002. Dalam laporan tersebut, BPK berpendapat bahwa PKPS PT BDNI telah closing pada 25 Mei 1999, mengingat pemegang saham PT BDNI dan BPPN telah sepakat bahwa syarat utama closing yaitu pembayaran suatu jumlah uang setara Rp1 triliun. Laporan BPK ini bersifat final dan mengikat.

Dalam laporan tersebut, tercatat Surat Pernyataan yang dibuat antara BPPN dan pemegang Saham, in casu Sjamsul Nursalim, pada tanggal 25 Mei 1999, di hadapan Marryana Suryana, Notaris di Jakarta.

Dalam surat tersebut, BPPN menyatakan bahwa transaksi-transaksi yang tertera dalam Perjanjian Induk (MSAA) telah dilaksanakan.

Mengenai verifikasi dan klarifikasi terhadap set off group deposit dan pembayaran pesangon karyawan PT BDNI serta masalah balik nama saham, semata-mata merupakan masalah administratif yang seharusnya tidak menghambat closing MSAA PT BDNI tanggal 25 Mei 1999 dan implementasinya. Oleh sebab itu, tim penasihat hukum menduga Syafruddin dikorbankan dalam kasus BLBI.

"Penuntut umum hanya memaksakan dalil berdasarkan dokumen-dokumen untuk merekonstruksikan Surat Dakwaan Penuntut Umum. Seharusnya yang dicari adalah kebenaran hakiki dengan mengupas dokumen-dokumen sesuai faktanya," kata tim penasihat hukum.

Jaksa KPK mendakwa Syafruddin menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang BDNI kepada petani tambak.

Ia didakwa menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S. Nursalim.

Syafruddin didakwa menerbitkan surat keterangan lunas untuk piutang Sjamsul Nursalim. Syafruddin menerbitkan surat keterangan lunas padahal Sjamsul belum membayar lunas kewajiban kepada pemerintah.

Akibat tindakan tersebut, Syafruddin dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4,58 T yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dipna Videlia Putsanra