tirto.id - Jumat, 12 Agustus silam, Sandiaga Uno berkunjung ke Balai Kota DKI Jakarta untuk menjumpai Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Setelah urusan mereka rampung, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia sekaligus bakal calon gubernur Jakarta itu bicara kepada wartawan: “Intinya, dari 25 menit, saya bicara cuma satu menit. Pak Gubernur bicara 24 menit." Pelbagai media di Indonesia melaporkan pernyataan Sandiaga, mulai dari Tempo hingga Bangka Pos, koran dari kampung halaman Ahok.
Mereka tentu bicara politik dalam pertemuan tersebut. Salah satunya, Ahok dilaporkan mengeluh tentang eksploitasi isu SARA yang menurutnya kerap jadi andalan partai Sandiaga, Gerindra, sebagai taktik politik.
Partai berlambang burung kuning itu bereaksi keras. Selang sehari, Habiburokhman, politikus Gerindra yang hingga kini belum menepati janjinya terjun dari puncak Monas, mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Metro Jaya. Ia mengaku hendak berkonsultasi dengan kepolisian sembari mempertimbangkan untuk melaporkan Ahok dengan tuduhan fitnah atas partai tempatnya bernaung.
Tapi biarlah Habiburokhman mengurusi urusannya sendiri. Orang yang sanggup tetapi tidak menepati janji adalah pembohong. Dan pembohong, sebagaimana William Tell dalam dongeng A Boy Who Cried Wolf karya Aesop, sudah semestinya tidak direken. Biar ia dimakan serigala saja. Mari kembali ke pernyataan Sandiaga tentang pengalamannya berbincang selama 25 menit dengan Ahok, orang yang pernah mengaku sebagai pejabat paling berpengaruh nomor tiga di republik ini, setelah presiden dan wakil presiden.
Daya tahan Ahok dalam hal bicara bukanlah kabar baru. Sejumlah video rapat pemerintah daerah DKI Jakarta yang terpacak di Youtube telah menunjukkan hal itu dengan sebaik-baiknya. Ahok senang mengoceh dan, secara objektif, ia memang pembicara yang terampil. Ia pandai memilih kata, juga mengatur tempo dan intonasi. Tak jarang pula Ahok memanfaatkan humor dengan baik. Meski kepantasannya bisa juga diperdebatkan, dominasi sang gubernur dalam rapat-rapat itu tak melanggar aturan. Rapat memang tempat bicara dan menyabung pendapat secara terbuka. Sedikit gagasan semestinyalah turun jadi sedikit bacot.
Namun, bagaimana dengan pertemuan pribadi, satu lawan satu, sebagaimana terjadi antara Ahok dan Sandiaga? Apa perlunya Ahok menembakkan mitraliur kata-kata kepada si tamu, toh penonton tak ada dan mereka tidak sedang menentukan kebijakan publik?
Ahok barangkali punya tujuan. Ketika memprotes cara kerja Partai Gerindra, misalnya, boleh jadi ia sungguh-sungguh berharap akan didengarkan dan sasarannya bertobat. Andai demikian, seturut pendapat sejumlah pakar komunikasi dan ilmuwan psikologi, Ahok telah salah langkah.
Dina Begum, seorang penerjemah dan pentranskrip profesional, menyatakan dalam tulisannya di situs Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) bahwa rata-rata orang Indonesia mengucapkan 5 ribu hingga 6 ribu kata per jam jika mereka bicara terus-menerus dalam kecepatan normal.
Artinya, dalam tempo 24 menit, Ahok telah melontarkan 2 ribu hingga 2,4 ribu kata kepada Sandiaga. Itu setara jumlah kata dalam makalah setebal 6-8 halaman. Setiap orang yang pernah membacakan tulisan sepanjang itu secara utuh di muka kelas tentu ingat bagaimana kegiatan itu membikin napas mereka putus-putus dan bibir mereka berbusa.
Usaha besar itu, sayangnya, tidak bakal diimbangi oleh penerimaan. Dalam buku 100 ThingsEveryPresenter Needsto Know About People (2012), Susan Weinschenk Ph.D. menerangkan bahwa pembicara yang terampil sekalipun hanya akan diperhatikan audiens selama 7 sampai 10 menit.
Batas yang sedikit lebih jauh dipancangkan oleh lembaga penyelenggara muktamar tingkat dunia TED Conferences. Menurut mereka, 18 menit adalah set waktu maksimum sekaligus yang terbaik. Di atas panggung TED, tidak seorang narasumber pun, tak peduli ia bernama Bill Gates, Harun Yahya, Bono, atau Paul McCartney, boleh bicara melebihi 18 menit.
Menurut Chris Anderson, salah seorang kurator TED: “18 menit itu cukup lama untuk bicara serius dan cukup singkat buat menjaga perhatian orang. Dengan memaksa para pembicara yang lazimnya mengoceh selama 45 menit untuk bicara 18 menit saja, kami membuat mereka berpikir sungguh-sungguh tentang apa yang hendak mereka katakan. Apa yang mereka anggap penting buat disampaikan? Akibat dari aturan kami adalah kejernihan. Ia menghasilkan disiplin.”
Jadi, kemungkinan besar, Sandiaga Uno yang dilaporkan meladeni wartawan sambil tersenyum sekeluarnya dari Balai Kota itu sesungguhnya sedang puyeng. Untunglah ia segera membagikan pengalamannya kepada khalayak. Bila tidak, 24 menit dengung sang gubernur mungkin cuma akan jadi bola-bola memori hitam yang terabaikan dalam benak Sandiaga, sebagaimana ditunjukkan film animasi Inside Out.
Menurut Rob Lazebnik dalam esainya di Wall Street Journal, percakapan semestinya terdiri dari memberi dan menerima secara seimbang. Masing-masing pihak bicara selama setengah dari waktu yang tersedia. Artinya, tiap pihak mesti diam + mendengarkan secara bergiliran. Diam, ujar Lazebnik, ialah alat negosiasi yang sulit digunakan, namun berdaya besar.
Sejalan dengan Lazebnik, Peter Bregman menulis di Harvard Business Review: “Diam adalah sumber kekuasaan yang sering disepelekan orang. Padahal, dengan diam, kita dapat mendengar bukan saja yang terkatakan, tetapi juga yang tidak. Diam membuat kita lebih mudah merengkuh kebenaran.”
Dengan demikian, merepet panjang lebar seperti dilakukan Ahok adalah langkah politik yang tidak sangkil dan mangkus. Yang keluar sebagai pemenang dari pertemuan itu justru Sandiaga. Lewat laku diam dan mendengarkan, ia menguasai Ahok. Salah satu bentuk kuasa itu ialah aduannya kepada masyarakat. Pernyataan “main-main” yang ia sampaikan di sela-sela aduan itu, “saya datang sekalian untuk melihat kantor baru di tahun 2017 nanti”, adalah serangan yang jauh lebih baik ketimbang 24 menit Ahok yang tanpa penonton.
Sandiaga tentu paham bahwa peristiwa 24 menit itu dapat pula dibaca orang sebagai pantulan kepribadian Ahok, petahana populer yang bakal menjadi pesaing beratnya dalam pemihan kepala daerah Jakarta mendatang. Bahwa Ahok gemar bicara, sekali lagi, memang bukan informasi baru. Namun, dengan sentuhan kecil, ia dapat diolah menjadi bahan kampanye yang kuat.
Pakar psikologi sosial Gemma Cribb menyatakan bahwa orang-orang yang mempunyai kecenderungan terbesar untuk banyak omong ialah, antara lain: (i) pengidap salah satu kelainan tipe Asperger, (ii) orang-orang yang dilanda kecemasan berlebih, dan (iii) golongan narsisis yang berkeyakinan bahwa hal-hal yang mereka katakan selalu amat penting dan menghibur.
Apakah Ahok termasuk dalam salah satu golongan tersebut? Jika bukan atau belum dapat dipastikan, apakah kelak akan ada yang menunjukkan bukti-bukti, atau sekadar menuding, bahwa Ahok mengidap Autisme, bersyaraf tegang, atau seorang narsisis? Jawabnya boleh jadi bergantung pada iklim dan arah angin politik Jakarta.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti