Menuju konten utama
29 Agustus 1985

Dunia Fantasi: Ambisi Sukarno untuk Menghibur Warga Jakarta

Warna ceria.
Wahana gembira di
jenuhnya kota.

Dunia Fantasi: Ambisi Sukarno untuk Menghibur Warga Jakarta
Ilustrasi Dunia Fantasi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Bagi Shahnaz Paramita (32), pekerja di salah satu bank swasta di Jakarta Barat, Dunia Fantasi (Dufan) lekat dengan hidupnya. Saat masih belia, ia dan ayahnya kerap berkunjung ke sana untuk merayakan hasil rapor yang memuaskan. Katanya, “Dufan jadi motivasiku untuk dapat nilai bagus.”

Ritual tersebut ia teruskan kala sudah berkeluarga. Bersama putri semata wayangnya, Nora, yang menggemaskan dengan setelan baju layaknya putri Disney, Shahnaz bisa dipastikan dua kali berkunjung ke Dufan dalam kurun waktu satu bulan.

“Anak saya excited banget tiap mau ke sini. Saking excited-nya, malam sebelum kami ke sini, dia enggak bisa tidur. Dia terus bilang, ‘Bunda, Bunda, besok adek mau naik kora-kora,’” ujarnya kepada Tirto sembari tertawa lepas.

Perasaan senang itu pula yang menghampiri sekujur tubuh saya, persis tatkala saya menginjakkan kaki di Dufan setelah menerabas kemacetan akhir pekan di jalanan ibu kota. Saya, sama seperti Nora, juga kelewat bungah melihat bentangan tanah luas yang berisikan pelbagai wahana permainan.

Mata saya memperhatikan sudut-sudut Dufan yang dipenuhi rombongan keluarga, tawa riang anak kecil, sampai remaja-remaja Jakarta yang sedang memadu kasih, dengan seksama. Segala keriaan itu terekam dengan baik, sama baiknya ketika saya membayangkan bagaimana keriaan serupa terjadi di Six Flags Magic Mountain maupun Knot’s Berry Farm—dua-duanya taman rekreasi di Los Angeles—yang jadi sumber kebahagiaan kala musim panas serta libur panjang tiba.

Seketika, dorongan untuk kembali mengisi ruang masa kanak-kanak tak bisa lagi ditahan.

Sukarno Merencanakan, Ciputra Melaksanakan

Dufan bermula dari ambisi Sukarno untuk membangun tempat wisata berskala besar selepas ia berkunjung ke Disneyland di AS pada 1956. Sukarno lantas memilih Ancol sebagai lokasi pembangunan. Bagi publik Jakarta, Ancol kerap disebut tempat “jin buang anak,” karena lokasi ini dipenuhi rawa-rawa.

Sukarno kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai Panitia Pembangunan Proyek Ancol dan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1960 guna menyulap Ancol jadi tempat wisata. Sukarno pun menunjuk Gubernur DKI saat itu, Soemarmo Sosroatmodjo, selaku pelaksana pembangunan Ancol, demikian terang Sugianto Sastrosoemarto dan Budiono dalam Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol (2010).

“Marno, sebagai pemimpin, kamu harus mampu berpikir tentang apa yang bisa kamu perbuat untuk rakyatmu lima puluh tahun yang akan datang [...] Bukan untuk satu atau dua tahun ke depan, tapi lima puluh, atau seratus tahun ke depan. Bagaimana kamu bisa memberikan tempat yang bisa membahagiakan rakyat Jakarta agar penduduknya menikmati hawa segar laut, bisa melihat cerianya anak-anak bermain di pantai, ditingkahi debur ombak, dan tiupan angin yang semilir,” terang Sukarno kepada Soemarno seperti dicatat Historia.

Proyek Ancol pada akhirnya dipegang kontraktor asal Perancis bernama Compagnic Industriale de Travaux (Citra) karena sebagian besar kontraktor dalam negeri tidak memenuhi kualifikasi teknis pembiayaan maupun pengerjaan. Sebagai pemegang kendali proyek, masih mengutip Historia, Citra hanya mengerjakan pembangunan tahap pertama yang meliputi penimbunan rawa-rawa, empang, dan hutan belukar. Pembangunan tahap pertama selesai pada Februari 1966.

Sempat tertahan akibat situasi politik yang memanas pada 1965, pembangunan Ancol kembali diteruskan di bawah komando Gubernur DKI yang baru, Ali Sadikin. Kontraktornya juga berbeda. Kali ini, Ali Sadikin menunjuk PD Pembangunan Jaya yang dikepalai Ciputra.

Salah satu rencana yang disodorkan Ciputra ialah mendirikan tempat rekreasi serupa Disneyland di Ancol. Pemerintah setuju dan segera mengirimkan seluruh tim arsitek dan teknisi Ancol ke AS guna mempelajari segala hal yang berhubungan dengan Disneyland untuk nantinya dituangkan dalam wujud baru bernama Dunia Fantasi.

Batu pertama pembangunan Dufan diletakkan pada 17 September 1982 oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, R. Soeprapto. Proses pembangunan di atas lahan seluas 9,5 hektar tersebut dibiayai sepenuhnya oleh pinjaman dari Bank BNI 1946. Setelah tiga tahun bersolek, pada 29 Agustus 1985, tepat hari ini 33 tahun silam, Dufan resmi dibuka untuk umum.

Mari Bersenang-Senang!

“Aduh, gue kacau banget tadi di atas. Berasa sport jantung. Tapi, gue pengen naik lagi!”

Arini (18), pelajar, mengucapkan kalimat itu dengan wajah setengah tak percaya usai menjalani misi menaiki sebuah wahana bernama Bianglala. Tangannya masih bergetar dan mulutnya terus merapal kata-kata yang mengekspresikan ketakjuban. Sejurus berselang, ia benar-benar mewujudkan keinginannya: menunggangi Bianglala untuk kali kedua.

Tekad kuat Arini tak pelak membuat saya termotivasi untuk turun di gelanggang yang sama. Berbekal keberanian dan sedikit doa, saya ikut dalam antrean yang mengular.

Giliran saya pun tiba. Saya duduk bersama seorang pria yang dari tampilannya kira-kira berusia mendekati tiga puluh. Wajahnya tegang dan ia tak pandai menyembunyikannya. Kami sempat bertatap dan saling melempar senyum yang agak dipaksakan karena muncul di saat yang tak tepat.

Setelah semuanya dirasa siap, pemandu segera berteriak memberikan tanda mesin dapat dihidupkan. Saya mulai ketakutan. Tangan dan kaki perlahan lemas. Mata tiba-tiba sayu. Keringat bercucuran membasahi muka yang sudah mirip kanebo—kaku. Dalam hati, saya terus mencoba meyakinkan diri bahwa segala yang ada di Bianglala adalah fana belaka. Tujuannya: agar saya dapat menenangkan diri.

Infografik Mozaik Dufan

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika Bianglala mulai bergerak seperti bandul, ke atas dan ke bawah, saya berteriak sekencang mungkin. Tak ada satupun ayat suci atau lafaz kebesaran Tuhan keluar dari mulut saya. Yang ada cuma umpatan tanpa henti.

Sekitar 15 menit saya tertahan di Bianglala dan selama itulah saya merasakan pengalaman yang lebih menegangkan daripada dikejar tenggat pekerjaan.

Saya keluar dari panggung Bianglala setinggi 33 meter dengan gaya arsitektur bernuansa Thailand itu dengan langkah gontai. Tak ada lagi motivasi yang tersisa untuk menikmati wahana rekreasi lainnya. Padahal, masih ada lebih dari 20 wahana yang tersebar di delapan kawasan yang dinamai Jakarta, Balada Kera, Amerika, Eropa, Indonesia, Hikayat, Yunani, dan Asia.

Beberapa wahana seperti Turangga-Rangga (komidi putar yang dilengkapi 40 replika kuda serta dihiasi ribuan lampu yang berkelap-kelip), Rajawali (gondola yang bergerak memutar dan naik-turun hingga ketinggian 23 meter dengan kecepatan tinggi), dan Halilintar (kereta layang putar yang melaju begitu kencang) sebenarnya sudah saya catat dan wajib saya naiki.

Namun, apa daya, fisik dan mental saya sudah terkuras habis oleh Bianglala. Saya tak bisa menipu diri sendiri.

Di waktu yang tersisa, saya hanya bisa duduk terpaku sembari melihat kerumunan orang-orang yang bersiap memeluk kebahagiaan dalam Dufan. Melupakan sejenak rutinitas kejam ibu kota atau menyingkirkan sebentar realitas politik yang menyebalkan.

Saya tersenyum kembali. Mengulangi kesenangan masa kecil memang tak sepenuhnya salah.

Baca juga artikel terkait HIBURAN atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ivan Aulia Ahsan