tirto.id - Jika Anda menyukai atau pernah menonton serial After Life, tentu familier dengan surat kabar Tambury Gazette yang menjadi bagian plot ceritanya. Tambury Gazette merupakan surat kabar lokal yang beredar secara gratis dan selalu mengangkat keunikan komunitasnya. Di kehidupan nyata pun, kerja surat kabar lokal pun tak jauh beda dari gambaran dalam serial itu.
Biasanya, selain mengangkat keunikan masyarakat, surat kabar lokal juga menjadi corong aspirasi politik dan sosial masyarakat.
Pada awal abad ke-19, warga Kota Manchester, Inggris, memiliki surat kabar Manchester Observer. Namun, surat kabar itu terpaksa berhenti terbit karena dianggap terlalu vokal dalam pemberitaan terkait peristiwa Pembantaian Peterloo pada 16 Agustus 1819. Kala itu, iklim sosial politik Inggris sedang menghangat oleh gerakan menuntut reformasi parlemen.
Dianggap terlalu radikal, Pemerintah Inggris pun membredel Manchester Observer. Pada 1821, sekira dua tahun usai pembredelan itu, seorang pengusaha konveksi bernama John Edward Taylor berinisiatif memulai penerbitan surat kabar lokal yang baru.
Taylor adalah seorang reformis moderat pada mulanya. Ketika Pembantaian Peterloo terjadi, dia juga tengah berada di sana dan menyaksikannya. Kejadian mengerikan itu meradikalisasi pandangan politik Taylor kemudian.
Seiring dengan gerakan reformasi sosial yang terus bergulir, Taylor sangat percaya bahwa publik membutuhkan pemberitaan yang seimbang, jujur, dan teliti. Dengan bantuan dari kawan pengusaha yang berhimpun dalam Little Circle dan modal £1.050, Taylor mendirikan The Manchester Guardian.
Selain itu, dalam mempersiapkan penerbitan korannya, Taylor juga dapat bantuan dari Jeremiah Garnett yang punya keahlian dalam bidang percetakan.
Edisi pertama The Manchester Guardian terbit pertama kali pada Sabtu, 5 Mei 1821. Kini, surat kabar itu telah bertansformasi menjadi The Guardian. Jadi, jika berpatokan pada tarikh pendirian itu, The Guardian telah eksis selama 200 tahun pada minggu lalu.
Garnett lalu diplot menjadi editor pertama The Manchester Guardian. Untuk menjalankan kerja redaksi dan penerbitan, mereka menyewa sebuah ruang kantor di Market Street, tepat di jantung kota Manchester.
Semula The Manchester Guardian terbit seminggu sekali dengan empat halaman per edisi. Oplah awalnya juga hanya 1000 eksemplar. Harganya tergolong mahal untuk ukuran pendatang baru, yaitu 7 pence—kira-kira senilai £2 dengan kurs hari ini. Hanya warga kelas ekonomi menengah ke atas-lah yang bisa mendapatkannya.
Tapi, bukan berarti seluruh keuntungan penjualannya masuk kantong manajemen. Pasalnya, The Manchester Guardian wajib menyetor 4 pence per eksemplar kepada pemerintah sebagai pelunasan Stamp Duty—pajak untuk dokumen-dokumen legal.
Ketika Stamp Duty dihapus pada 1855, barulah The Manchester Guardian bisa menurunkan harganya menjadi lebih terjangkau, sekira 2 pence saja.
Antara Jurnalisme dan Politik
“Surat kabar lokal adalah suara dari keprihatinan pembaca. Karena alasan inilah, surat kabar lokal mulai dianggap sebagai penyambung aspirasi yang halus bagi komunitas mereka,” tulis John Hill dalam bukunya The British Newspaper Industry (2016).
Edisi-edisi perdananya The Manchester Guardian menampilkan berita-berita advertorial, seperti penemuan anjing peliharaan yang hilang, pemasaran alat kesehatan, sampai promosi menu vegetarian. Semua itu muncul di halaman pertama sejak edisi perdana hingga 1952.
Meski begitu, The Manchester Guardian sudah sangat politis sejak awal. Sebuah artikel utama yang muncul pada 1823, misalnya, memperlihatkan perlawanan surat kabar ini terhadap pakta perdagangan budak 1807. Selain itu, redaksi juga mendorong berlakunya sistem perdagangan bebas.
Taylor sendiri punya komitmen yang jelas terhadap jurnalisme dan politik. Dalam naskah prospektus pendirian The Manchester Guardian, Taylor menulis, “Dalam sejarah negara kita, baru kali ini banyak pertanyaan yang lebih penting ketimbang apa yang diklaim sebagai perhatian publik. (Oleh karena itu) surat kabar ini akan menjadi media diskusi politik yang sangat terbuka dan disertai dengan detail fakta yang akurat”.
Meski begitu, The Manchester Guardian baru dikenal luas dalam skala nasional ketika Charles Prestwich Scott menjadi editornya. Scott bergabung dengan The Manchester Guardian pada 1871 dan diplot sebagai editor setahun kemudian. Dia memegang jabatan itu cukup lama, hingga 1929.
Selama jadi editor, Scoot membuat kebijakan-kebijakan yang menjadikan korannya sebagai salah satu media yang dihormati. Dia juga merekrut banyak jurnalis berpengaruh di Inggris untuk memperkuat redaksi.
Terkait peran Scott, Encyclopaedia Britannica menulis, “Dia menuntut kualitas tulisan yang cermat dan bersikeras agar korannya menyajikan berita dengan jujur dan adil. Dia pernah mengatakan, ‘Komentar itu gratis, tetapi fakta itu suci.’”
Di bawah kepemimpinannya, The Manchester Guardian menjadi makin liberal. Koran ini tak ragu menentang arus, salah satunya soal dukungannya atas Irish Home Rule pada 1886. Scott secara pribadi mendukung William Gladstone ketika terjadi perpecahan dalam Partai Liberal Inggris. Mereka juga melawan opini umum ketika terang-terangan menentang Perang Boer di Afrika Selatan.
Pada 1905, Scott membeli kepemilikan The Manchester Guardian.
Momen Satu Abad
Pemimpin redaksi Katharine Viner dalam esai peringatan 200 tahun The Guardian menyebut, medianya punya tujuan lebih besar daripada sekadar profit. Itu adalah pernyataan klise yang bisa juga diaku oleh surat kabar lain. Namun, The Guardian berani mendaku bahwa mereka telah memegang nilai itu sejak awal pendirian.
Dalam esainya, Viner kembali mengulang kata-kata C.P. Scott kala memperingati seabad The Manchester Guardian.
“Sebuah surat kabar selalu memiliki dua sisi. Di satu sisi, ia adalah bisnis, seperti yang lainnya. Tapi, ia lebih dari sekedar bisnis biasa karena ia adalah sebuah institusi yang mencerminkan dan mempengaruhi kehidupan seluruh komunitas. Oleh karena itu, ia punya kompas moral,” tutur Scott.
Apa yang diomongkan Scott itu pun sebenarnya sudah menjadi komitmen John Edward Taylor saat pertama kali mendirikan The Manchester Guardian. Ia didirikan sebagai reaksi atas Pembantaian Peterloo, untuk memberikan “pendidikan” politik kepada publik. Seiring dengan itu, bisnis pun berjalan dengan memanfaatkan peningkatan minat masyarakat atas isu-isu sosial dan politik.
Scott tidak main-main dengan pernyataannya. Lulusan Universitas Oxford itu membuktikan diri dengan mencurahkan begitu banyak tenaga dan waktu dalam karier profesionalnya untuk membangun surat kabar itu.
Lama kerja Scott bahkan melebihi setengah usianya karena ia jadi editor selama 57 tahun. Karier panjang Scott yang dikenal sebagai pendukung golongan liberal itu sukses membawa The Manchester Guardian menjadi salah satu surat kabar paling prestisius di dunia.
“Scott-lah yang membentuk media ini hingga seperti yang kita kenal hari ini. Scott menanamkan bahwa nilai-nilai The Guardian adalah kejujuran, integritas, keberanian, keadilan, rasa tanggung jawab kepada pembaca dan komunitas. Dia juga menekankan bahwa The Guardian harus dipimpin secara editorial dan jurnalis harus bebas dari komersialisasi atau intervensi politik,” tulis Viner.
Jika menilik sejarah koran ini, itu bukanlah isapan jempol belaka. Sebelum Scott menjadi editor, berkat tim editorial yang solid, The Manchester Guardian berhasil meningkatkan oplahnya secara bertahap. Dari semula 1.000 eksemplar lalu menjadi 3.000 eksemplar hingga kemudian mencapai 20.000 eksemplar pada 1850-an.
Ketika Scott bergabung, oplah koran ini mencapai angka 100.000 eksemplar pada 1940-an. Pada 1980-an, oplah koran ini bahkan menyentuh angka setengah juta eksemplar.
Bertahan di Tengah Badai
C.P. Scott wafat pada Januari 1932. Setelah itu, kendaliThe Manchester Guardian diteruskan oleh dua anaknya, John Russell Scott dan Edward Taylor Scott. Keduanyasudah terlibat aktif dalam bisnis koran itu sejak sang ayah memutuskan untuk menarik diri dari aktivitas editorial sekira 1929.
John mulanya didaulat sebagai manajer dan Edward sebagai editor. Demi menjaga kemandirian korannya, keduanya lalu membuat kesepakatan penting.
“Menyadari bahwa kemandirian korannya di masa depan akan terancam jika salah satu dari mereka meninggal, John dan Edward sepakat bahwa jika salah satu dari mereka meninggal, yang satu akan membeli saham yang lain,” tulis The Guardian.
Tapi, John tak lama pegang kemudi. Dia kehilangan semangat karena Edward meninggal beberapa bulan setelah sang ayah mangkat. Sesuai kesepakatan, John pun mengambilalih sepenuhnya The Manchester Guardian.
Masalahnya, John tak hanya dibebani The Manchester Guardian saja. Dia juga dituntut menjaga profit besarManchester Evening News yang dibeli keluarganya pada 1924. Dia tak bisa lepas tangan begitu saja karena dua surat kabar itu telah memiliki komunitas pembaca yang begitu luas dan mempekerjakan banyak karyawan.
John Scott akhirnya menempuh langkah kontroversial. Dia memutuskan untuk melepas kepemilikannya atas kedua surat kabar yang berada di bawah naungan Guardian Media Group itu. Langkah John itu sempat mengundang komentar dari Gavin Simonds, orang dekat John yang belakangan menjadi Lord Chancellor.
“Keputusan anda adalah keputusan yang sangat aneh dan tidak masuk akal dalam logika berpikir orang Inggris. Bagaimana mungkin Anda melepaskan diri anda dari hak milik,” kata Simonds seperti dilansir The Guardian.
Pada 1936, John secara resmi menyerahkan kepemilikannya kepada Scott Trust. Institusi itulah yang kemudian menjaga The Manchester Guardian tetap menjalankan prinsip dan tradisi jurnalismenya yang sudah berjalan lebih dari seratus tahun. Meski begitu, keluarga Scott tetap ikut aktif menjalankan perusahaannya hingga 1984.
Melepas hak kepemilikan bukan cuma satu-satunya kontroversi yang mengiringi perjalanan The Manchester Guardian. Pada 1944, A.P. Wadsworth dipercaya memimpin editorial koran itu. Namun, publik kemudian menganggap kepemimpinan Wadsworth justru membuat koran itu kehilangan karakter.
Banyak orang mengeluh kualitas penerbitan The Manchester Guardian menurun. Dari jumlah halaman yang sangat terbatas, kualitas cetak yang buruk, hingga kecurigaan adanya agenda berita yang aneh.
Pada 1959, The Manchester Guardian mengubah namanya menjadi The Guardian. Lalu, pada 1964, kantor redaksinya pindah ke London. Kemudian, koran ini mulai mengalami masalah finansial yang pelik. The Guardian sampai harus mengandalkan Manchester Evening News untuk dukungan keuangan.
Manajemen The Guardian sempat menjajaki kemungkinan merger dengan The Times untuk mengatasi masalah keuangan itu. Namun, langkah itu tidak menghasilkan apa-apa pada akhirnya.
Pada 1976, kantor The Guardian pindah sepenuhnya ke London. Kondisi bisnis pun mulai membaik dan perlahan mereka mulai kembali pada “tradisinya” sebagai koran kritis. Dalam iklim politik yang semakin terpolarisasi pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, The Guardian memposisikan diri sebagai corong suara kaum kiri yang teguh.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi