tirto.id - DPRD DKI Jakarta turut bertanggung jawab dalam polemik Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja (RAPBD) DKI 2018. Pasalnya, keputusan menentukan besaran RAPBD — saat ini masih berupa Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) — tidak hanya berada di tangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tapi juga mesti melalui persetujuan DPRD.
“[DPRD] Harus bertanggung jawab, sama seperti Gubernur dan Wakil Gubernur. Dua lembaga itu punya porsi tanggung jawab yang sama,” kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada Tirto, Senin (28/11).
Lucius mengatakan DPRD merupakan lembaga yang berfungsi mengontrol pemerintah. Dalam konteks RAPBD, mereka berperan menentukan diterima atau tidak usulan anggaran gubernur dan wakil gubernur. Sehingga sikap kritis anggota Badan Anggaran DPRD yang dipimpin Prasetio Edi Marsudi (PDIP) bersama empat orang wakilnya Mohammad Taufik (Gerindra), Tri Wisaksana (PKS), Lulung Abraham Lunggana (PPP), dan Ferrial Sofyan (Demokrat) menjadi penting agar RAPBD efisien juga sesuai kebutuhan masyarakat.
“Harusnya DPRD yang paling pertama mengoreksi anggaran yang diusulkan pemerintah yang dinilai tidak rasional,” ujarnya.
“DPRD juga mestinya punya visi dan misi soal anggaran sehingga proses pembahasan tidak dihabiskan dengan menyalahkan pemerintah saja.”
Ia mengatakan kekompakan DPRD membiarkan mata anggaran yang memicu perhatian publik patut menjadi perhatian. Karena menurut Lucius anggaran yang melebihi standar kewajaran mestinya menjadi perhatian anggota dewan.
"Kesepakatan yang nampak begitu mulus antar fraksi-fraksi di DPRD dalam hal pembahasan anggaran ini hampir melupakan panasnya jagat pertarungan Pilkada yang belum lama terlewat. Uang akhirnya memang bisa mempersatukan kepentingan politik setajam apapun perbedaannya," kata Lucius
Menurut Lucius saling tuding tentang siapa otak di balik besaran RAPBD bisa dihindari jika DPRD menjalankan fungsi pengawasannya sejak awal. Namun alih-alih kritis, DPRD justru memanfaatkan kewenangan membahas RAPBD sebagai celah mencari keuntungan sendiri. Sampai di sini mereka tampak bisa seiya sekata tak seperti saat Pilkada Jakarta
“Saya kira modus itu sangat jelas jika melihat bagaimana DPRD coba melempar tanggung jawab hanya kepada pemerintah. Padahal DPRD yang sama ketika Ahok memimpin pernah diduga melakukan mark-up terhadap anggaran proyek yang diusulkan pemerintah,” ujar Lucius.
Lucius juga mengkritik komentar Sandiaga yang terkesan menyalahkan Djarot Saiful Hidayat atas besaran RAPBD. Ia menegaskan ini bukan soal siapa yang membuat, melainkan Sandiaga memang perlu untuk lebih ketat menyisir anggaran. RAPBD sejatinya cerminan respons pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat dan visi misi mereka dalam menjalankan roda pemerintahan berkuasa. Sehingga, kata Lucius, gubernur dan wakil gubernur memang sudah semestinya menjadi pihak yang paling memahami berbagai besaran anggaran di dalam RAPBD.
Baca juga:
- Anggaran Kehadiran Rapat DPRD DKI Mencapai Rp16,18 Miliar
- Haji Lulung Membela Lonjakan Anggaran RAPBD DKI untuk DPRD
“Tidak bisa serta merta baik DPRD maupun eksekutif memasukkan program dan proyek di luar nota kesepahaman (KUA-PPAS),” kata Yenni.
Yenni berharap Pemprov dan DPRD tidak saling tuding soal besaran RAPD 2018. Sebab hal itu justru berpotensi membuka ruang terjadinya transaksi politik anggaran antarkedua belah pihak.
“Jangan kemudian alasan-alasan klasik yang muncul di antara eksekutif maupun legislatif dapat dijadikan ruang barter/transaksional dalam penyusunan dan pembahasan anggaran,” ujarnya.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar