Menuju konten utama

DPR Ngotot Pasal Penghinaan Terhadap Presiden Harus Ada

Presiden Jokowi tak keberatan apabila pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dihilangkan. Namun, Komisi III DPR tetap keukeuh pasal itu tetap harus ada.

DPR Ngotot Pasal Penghinaan Terhadap Presiden Harus Ada
Massa mahasiswa berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (23/9/2019) malam. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.

tirto.id - Presiden Jokowi tak keberatan apabila pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dihilangkan. Namun, Komisi III DPR justru menganggap pasal itu tetap harus ada.

Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik menjelaskan pasal penghinaan harus tetap ada lantaran presiden juga manusia yang kadang tidak menerima jika dirinya dihina-hina. Untuk itu, DPR dan pemerintah sepakat penghinaan presiden menjadi delik aduan.

"Sebagai rakyat biasa ketika dirinya merasa terhina, siapapun presidennya dia berhak dong mengadukan. Masa dia [presiden] enggak berhak mengadukan," ujar Erma di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019).

Menurut Erma, dengan pasal penghinaan presiden itu, siapapun presiden baik secara pribadi atau pihak yang diberikan kuasa bisa mengadukan ke kepolisian jika presiden tidak menerima dengan hinaan yang dialamatkan kepada dirinya.

Rencana membuat penghinaan presiden menjadi delik aduan ini juga untuk mencegah kasus-kasus seperti Majalah Tempo yang dilaporkan oleh pendukung Jokowi. Alhasil, orang-orang yang dekat dengan Jokowi atau pendukung Jokowi tidak bisa seenaknya melapor ke kepolisian bila presiden dihina.

"Enggak boleh kayak sekarang ini. Ada yang terhina dengan cover majalah, lalu ada pendukung-pendukungnya. Oh saya dukung presiden saya laporkan ke sana ke sini, itu enggak boleh. Kalau itu yang terjadi itu [namanya] persekusi," ujar Erma.

Oleh karena itu, Erma menampik bahwa disepakatinya penundaan pengesahan RKUHP semata-mata karena kepentingan Jokowi. Politikus Partai Demokrat itu menambahkan bahwa Jokowi tidak selamanya menjadi presiden.

"Kita ini bikin KUHP bukan untuk Pak Jokowi. Kita bikin KUHP ini untuk negara Republik Indonesia bukan untuk Pak Jokowi, bukan untuk anggota DPR, tapi untuk negara ini," tegasnya.

Sebelumnya, Jokowi dan DPR menggelar rapat pada Senin (23/9/2019) di Istana Merdeka, Jakarta. Rapat tersebut membahas sejumlah penundaan pengesahan RUU, salah satunya RKUHP.

"Tadi siang saya bertemu dengan Ketua DPR, serta ketua fraksi dan ketua komisi, yang intinya tadi saya minta agar pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP, kemudian keempat RUU Pemasyarakatan itu ditunda pengesahannya," kata Jokowi.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo memastikan bahwa DPR akan kembali membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di sisa waktu kerja DPR periode 2014-2019.

Bamsoet mengatakan DPR melalui Panja RKUHP akan fokus membahas 14 isu yang menurut Jokowi masih perlu pendalaman lebih lanjut. 14 isu itu di antaranya soal pasal perzinahan, pasal penghinaan presiden, serta pasal santet.

"Lalu pasal penghinaan presiden, presiden sebenarnya dia gak ada masalah. Presiden gak keberatan pasal itu dihilangkan karena menurut beliau dia sudah lama juga diuwek-uwek. Intinya pasal-pasal itu akan kami perdalam lagi," ucap Bamsoet.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Ringkang Gumiwang