tirto.id - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengusulkan adanya perubahan tarif bea meterai menjadi satu tarif senilai Rp10 ribu. Tarif ini mengalami kenaikan dari bea meterai yang saat ini berlaku yaitu Rp3.000 dan Rp6.000.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, usulan perubahan dan penyederhanaan tarif bea meterai ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, tarif bea meterai belum mengalami kenaikan sejak tiga dekade tepatnya pada tahun 2000.
Sri Mulyani menyebut, kenaikan bea meterai ini adalah untuk mengimbangi pendapatan masyarakat yang terus meningkat. Dalam kurun waktu 17 tahun, PDB per kapita Indonesia telah meningkat hampir delapan kali lipat, sedangkan penerimaan bea meterai sejak 2001 sampai 2017 hanya meningkat 3,6 kali. Berdasarkan data PDB 2001, penerimaan meterai Rp1,4 triliun dan tahun 2017 senilai Rp5,08 triliun.
"Korelasi antara peningkatan pendapatan atau kapasitas pemungutan pajak dengan pendapatan per kapita adalah berjalan seiring. Hal ini menunjukkan masih ada potensi peningkatan penerimaan bea meterai yang dirasa bisa dilakukan tanpa memberatkan masyarakat," ungkap Sri Mulyani di hadapan Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu.
Dengan kenaikan harga bea meterai menjadi satu harga, Kemenkeu menghitung terdapat potensi penerimaan sampai dengan Rp3 triliun. Potensi penerimaan ini dihitung oleh Direktorat Jenderal Pajak dari jumlah meterai yang digunakan saat ini.
Bea meterai yang disediakan dan digunakan pada 2019 untuk ketegori Rp3.000 adalah sebanyak 79,9 meterai. Sedangkan yang bernilai Rp6.000 sebanyak 803,2 juta meterai. Apabila harga meterai tersebut dikonversikan menjadi satu nilai yaitu Rp10.000 saja, maka penerimaan akan naik menjadi Rp8,83 triliun dari saat ini Rp5,06 triliun.
"Ada potensi tambahan Rp3,8 triliun dari meterai tempel saja," imbuh Sri Mulyani.
Sebagai catatan, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 (PDF) menetapkan tarif bea meterai senilai Rp3.000 untuk dokumen yang mencantumkan penerimaan uang di atas Rp250.000 sampai dengan Rp1 juta. Sedangkan pengenaan bea meterai senilai Rp6.000 ditujukan bagi dokumen yang mencantumkan penerimaan uang maksimal di atas Rp1 juta.
Seiring dengan kenaikan harga bea meterai, pemerintah juga menaikkan threshold atau batas nilai dokumen yang dikenakan bea meterai dari sebelumnya Rp250.000 dan Rp1 juta menjadi Rp5 juta. Ini artinya, untuk dokumen dengan nilai transaksi di bawah Rp5 juta, tidak dikenakan bea meterai.
Meterai Digital
Dalam RUU Bea Meterai ini, Kemenkeu juga akan mengenakan bea pada dokumen digital berupa meterai digital. Pengenaan bea meterai digital pada dokumen digital ini bertujuan mengikuti perkembangan zaman. Saat ini, hampir seluruh dokumen bersifat digital tanpa menggunakan kertas lagi. meterai digital pada dokumen digital ini tentu dapat menambah porsi penerimaan negara.
Oleh karena itu, Kemenkeu juga mengusulkan perluasan definisi dokumen menjadi termasuk dokumen digital selain dokumen kertas. "Penting secara esensi adalah dokumen yang memiliki nilai penyerahan uang meski dalam bentuk digital akan sama dengan dokumen kertas, jadi perlu diwajibkan memiliki meterainya," ucap Sri Mulyani.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan menyebut, pembuatan aturan meterai digital ini sudah disusun dalam RUU Bea meterai dan akan segera ditentukan pasal per pasal rinciannya. Selain itu, dalam RUU Bea meterai ini nantinya akan ada variasi dari meterai digital termasuk pembayaran meterai melalui pembayaran digital atau digital payment.
"Bentuk meterai digital nantinya akan bervariasi bukan hanya berupa meterai tempel. Pembayaran meterai secara digital juga dimungkinkan. Jadi, kami menyerap teknologi yang baru," kata Robert di tempat yang sama.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak tengah menyiapkan teknologi terkait pembayaran meterai secara digital tersebut. Pengenaan bea meterai digital pada dokumen digital ini sejalan dengan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mengatur transaksi bersifat elektronik termasuk terkait dokumen dan tanda tangan elektronik.
Nantinya juga, nominal bea meterai elektronik pada dokumen elektronik akan sama dengan dokumen kertas. Ini artinya, bea meterai digital yang dibebankan pada dokumen digital memiliki nilai Rp10.000. Terkait meterai digital pada dokumen digital ini, Kemenkeu mengaku belum dapat menghitung potensi penerimaan negara. Sebab, masih dalam tahap persiapan.
Catatan penting, seluruh aturan rencananya akan berlaku pada 2020 mendatang.
Siap Bekerja Sama
Terkait penerbitan meterai digital ini, sejumlah perusahaan pembayaran digital mengatakan bahwa mereka siap bekerja sama dengan pemerintah, khususnya dalam hal transaksi meterai digital.
PT Fintek Karya Nusantara atau LinkAja, salah satunya. CEO LinkAJa Danu Wicaksana mengungkapkan pihaknya telah mendengar mengenai rencana pemerintah untuk pembayaran digital untuk meterai digital ini. Meski demikian, Danu mengaku belum ada diskusi lebih lanjut terkait pembayaran elektronik untuk meterai digital pada dokumen digital ini.
Di sisi lain, Chief Operating Officer (COO) LinkAja Haryati Lawidjaja mengungkapkan bahwa akan banyak program kerja sama antara LinkAja dengan pemerintah, meski tak menyebut secara rinci mengenai keterlibatan LinkAJa dalam pembayaran elektronik untuk meterai elektronik.
"Akan banyak program kerja sama dengan pemerintah, karena kami ingin membantu financial inclusion sehingga program gerakan nasional non-tunai bisa berhasil," ungkap Fei ini kepada Tirto.
Perusahaan fintech ternama lainnya, OVO, mengaku mendukung rencana pemerintah terkait pembayaran digital untuk meterai digital pada dokumen digital. CEO OVO Johnny Widodo mengungkapkan rencana pemerintah tersebut merupakan peluang baik bagi OVO sebagai pemain di kancah pembayaran non-tunai.
"Kami sebagai pemain payment pasti melihat ini sebagai peluang baik. Sebagai open platform, [kami] selalu terbuka untuk kerja sama. Untuk pembayaran online, tentunya OVO sudah mumpuni dan sudah banyak partnership-nya,” kata Johnny kepada Tirto.
Pemain lain di fintech payment, PT Dompet Anak Bangsa atau Go-Pay juga mengungkap hal senada. Menurut Head of Corporate Communication Go-Pay Winny Triswandhani, sebagai salah satu platform pembayaran digital terbesar di Indonesia Go-Pay selalu terbuka untuk kerja sama dengan berbagai pihak.
"Kami tidak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan instansi terkait, agar pengguna sampai beli meterai pun bisa pakai Go-Pay," tutur Winny kepada Tirto.
Yustinus Prastowo, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengungkapkan, perusahaan fintech yang bergerak di sektor pembayaran digital secara teknis akan berperan sebagai penyedia bea meterai digital. Nantinya, perusahaan-perusahaan ini dapat melaporkan berapa banyak bea meterai yang telah terjual atau digunakan dalam transaksi digital.
"Pembayaran secara non-tunai untuk pembelian meterai digital pada dokumen digital ini akan mempermudah dan secara bisnis menciptakan efisiensi dan efektifitas," kata Yustinus kepada Tirto.
Selain itu, dengan menggunakan teknologi elektronik, Dirjen Pajak pun akan lebih mudah dalam hal pemeriksaan dokumen digital serta monitoring penjualan meterai secara digital. "Langkah ini memiliki potensi untuk menambah penerimaan negara," imbuh Yustinus.
Negara lain yang telah mempraktikkan bea meterai digital adalah Italia. Undang-undang pajak di negeri pizza tersebut memberlakukan bea meterai pada faktur atau dokumen elektronik berlaku sejak 1 Januari 2019. Sementara itu, Singapura pada 2018 juga tengah mengusulkan perluasan bea meterai pada dokumen elektronik.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara