Menuju konten utama

Dokter Gugur Melonjak 3 Kali Lipat, Selama Juli Sudah 168 Meninggal

Meski sudah menerima vaksin dosis lengkap, dokter mengalami kelelahan hebat sehingga pertahanan mereka bobol dan terserang virus.

Dokter Gugur Melonjak 3 Kali Lipat, Selama Juli Sudah 168 Meninggal
Sejumlah tenaga kesehatan membawa peti berisi jenazah almarhum dokter Jhon Andi Zainal yang meninggal akibat COVID-19, di halaman RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (24/9/2020). ANTARA FOTO/FB Anggoro/aww.

tirto.id - Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengungkap data kematian dokter hingga 27 Juli 2021 mengalami lonjakan. Belum genap sebulan lonjakannya mencapai lebih dari tiga kali lipat dibanding bulan sebelumnya.

Total dari Maret 2020 hingga 27 Juli 2021 sudah ada 598 dokter gugur. Selama 1-27 Juli 2021 terdapat 168 dokter wafat. Angka itu melonjak lebih dari tiga kali lipat dibandingkan bulan Juni dengan 50 dokter gugur akibat COVID-19.

Selain itu angka kematian dokter pada Juli 2021 ini dipastikan menjadi yang tertinggi sepanjang pandemi melebihi kematian dokter tertinggi pada Januari 2021 sebanyak 65 kematian.

“[Peningkatan dokter yang wafat] penyebabnya karena lonjakan kasus COVID-19 tinggi yang kita alami mulai Juni dan puncaknya Juli 2021 ini,” kata Ketua Pelaksana Harian Mitigasi IDI Mahesa Paranadipa kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Rabu (28/7/2021).

Peningkatan kasus COVID-19 ini turut meningkatkan kapasitas pelayanan yang harus dilakukan oleh para dokter. Imbasnya paparan virus di tempat para dokter bekerja ini menjadi sangat tinggi, kata Mahesa.

Meski sudah hampir semua dokter telah menerima vaksin COVID-19, tetapi hal itu tak serta merta membuat para dokter dapat terlindungi 100 persen dari paparan virus.

“Walaupun sudah divaksin daya tahan atau imunitas tubuh itu sangat tergantung dari banyak faktor. Pertama asupan nutrisi, kelelahan, stres dan lainnya yang sangat mempengaruhi. Dengan lonjakan kasus yang terjadi itu menyebabkan kelelahan yang tinggi,” ujarnya.

Akibat kelelahan ini menyebabkan imunitas menurun walaupun sudah terbentuk antibodi di dalam tubuh para dokter.

“Ibarat pasukannya sudah ada, tapi disuruh perang terus melawan virus ya capek lama-lama. Ini salah satu faktor yang kami analisa dan prediksi,” ujarnya.

Dalam situasi saat ini kata Mahesa, satu-satunya jalan adalah menekan angka lonjakan kasus semaksimal mungkin agar beban tenaga kesehatan dapat semakin berkurang.

Selain itu, ia juga meminta agar pemerintah tetap memberikan dukungan sumber daya semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan pelayanan.

“Tenaga mungkin masih bisa kita motivasi untuk kuat dan bertahan tapi kalau sarana dan prasarana enggak cukup ya enggak bisa, oksigen tidak ada obat-obatan tidak ada maka akan meningkatkan risiko tak tertangani secara optimal secara prosedur,” kata Mahesa.

Kelelahan pada tenaga kesehatan juga dialami oleh perawat. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat sekitar 90 persen perawat di lapangan mengalami stres imbas lonjakan kasus. Beban lain perawat juga kondisi mental yang rapuh akibat melihat pasien yang banyak, tetapi infastruktur yang mereka punya tidak cukup memadai untuk menolong.

Baca juga artikel terkait TENAGA KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Zakki Amali