Menuju konten utama
Diajeng Berdaya

Doa dan Kebaikan dalam Untaian Gelang-Gelang "Magus"

Keberanian untuk berkomunitas dan memulai networking menjadi kunci di balik kesuksesan Terry mengembangkan bisnis gelang batu-batuan alam “Magus Treasure”.

Doa dan Kebaikan dalam Untaian Gelang-Gelang
Header diajeng Gelang Magus by Terry. tirto.id/Quita

tirto.id - Terry tak menyangka pertemanannya dengan Adel di dunia maya satu dekade silam dapat “naik kelas” menjadi relasi setingkat partner bisnis. Tak terbayang pula di benaknya bahwa usaha rintisan mereka bersama akan bertahan dan konsisten membuahkan hasil sampai sekarang.

Perempuan kelahiran Surabaya ini mengawali karier sebagai staf keuangan di sebuah toko komputer. Tipikal angkatan Milenial yang tumbuh dewasa bersama fenomena pop culture global dari franchise Harry Potter, Terry merasa kecintaannya pada dunia sihir dan mistis tersalurkan dengan baik setelah ia menemukan komunitas fandom fantasi serupa di jagad Twitter (kini berganti jadi X).

Di sanalah, Terry mengasah hobinya menulis bersama kawan barunya, staf perbankan bernama Adel asal Surakarta. Mereka menyusun kisah-kisah misteri yang berhasil diterbitkan jadi buku.

Ketika akhirnya bertatap muka langsung dalam event peluncuran buku di Yogyakarta, mereka mulai mengobrol panjang-lebar dan menyadari punya kesamaan minat lain. Sama-sama gemar membuat aksesori perhiasan bergaya etnik nan unik.

Merasa masih punya cukup energi untuk berkreasi, mereka sepakat menjadikan kesenangan tersebut sebagai bisnis. Diputuskanlah jenama “Magus Treasure”. Berakar dari kata “magis”, ia dikaitkan dengan karakter magician dalam permainan kartu ramalan Tarot.

Menurut Terry, meski kerap diasosiasikan dengan penyihir, istilah ini juga dapat dimaknai sebagai pembawa perubahan yang baik. Pendeknya, aksesori Magus seakan-akan menjadi “harta karun” yang memberikan kebaikan bagi “penemu” alias pemakainya.

Terry menenkan, tersemat doa-doa baik ketika ia merangkai aksesori Magus, “Agar ketika diterima oleh pengguna, ia juga mendapatkan hal-hal kebaikan. Tagline-nya adalah for luck and for friendship. Jadi, semoga beruntung! Apalagi ketika produk ini dibagikan kepada teman-teman kita.”

Adel, yang posisinya di luar kota, mengampu tugas sebagai pengelola administrasi penjualan daring, sementara Terry menetap di Sleman, Yogyakarta untuk fokus pada produksi dan strategi marketing.

Sebelum mengerucutkan bisnisnya pada aksesori berbahan baku batu-batuan alam, Terry dan Adel berusaha membaca tren di kalangan artisan jewellery atau pengrajin perhiasan di Indonesia kala itu. Memasuki 2011, perhiasan dari anyaman kawat atau wire jewellery sempat mendulang popularitas.

“Hasil penelusuran kami di internet, produk wiring ini memanfaatkan batu-batuan. Bersamaan dengan itu, juga ramai tentang batu-batu akik yang disematkan pada cincin. Jadi, waktu itu memang lagi booming batu.”

Mereka terpacu untuk berpikir, batu apa lagi yang bisa dijadikan sumber kreasi? Bagaimana model aksesori yang tepat?

Setelah menemukan sejumlah inspirasi perhiasan dari beberapa akun Instagram asal Jepang, mereka sepakat untuk belajar merangkai batu-batuan alam dengan untaian benang menjadi gelang. Jenis batunya beragam: amethyst, clear quartz, citrine, sunstone.

Kenapa batu alam?

“Batu-batu alam itu unik—khas. Setiap bongkahan yang kita temukan tidak ada yang sama. Jadi, menurut kami, bagi para pemakainya, hal itu jadi menimbulkan keunikan sendiri-sendiri. Meski jenis batunya sama, feel-nya akan berbeda di setiap pemakai. Keunikan ini, salah satunya, ya bisa untuk menambah rasa percaya diri,” terang Terry.

Aktivitas berjualan mulanya dilakukan secara daring. “Awalnya kami tawarkan ke teman-teman komunitas di Twitter. Kemudian kami geser strategi dengan upload foto-foto produk ke Instagram.

Calon pembeli yang berminat lalu mendiskusikan desain aksesori yang diinginkan via perpesanan pribadi di Instagram atau WhatsApp.

Sampai sekarang, Instagram masih menjadi platform andalan Magus untuk menjangkau lebih banyak peminat dan penggemar. Dibandingkan di pasar offline, penjualan daring meraup pendapatan lebih besar, kini meningkat sampai 100 persen sejak bisnis dirintis.

Ketika ditanya tantangan awal saat memulai Magus, Terry menjawab mantap, “Waktu, karena kami berdua waktu itu masih kerja—delapan jam lebih habis untuk bekerja. Ada saja keterbatasan waktu untuk produksi, waktu untuk belajar, waktu untuk berpikir. Akhirnya satu-satu harus dikerjakan, tidak serta-merta sekaligus.”

diajeng Gelang Magus by Terry

Gelang-gelang Magus dipajang di Joglo Ayu Tenan, concept store yang menjual ragam produk kerajinan karya anggota Asosiasi Pengrajin Perhiasan Yogyakarta (APPY). (Tirto.id/Sekar Kinasih)

Terry tak menampik usahanya disebut berskala kecil, “Ya memang UMKM. Benar-benar kecil. Saya nggak punya karyawan.”

Terry hanya dibantu oleh satu asisten ketika berjualan di bazar. Menurutnya, pemberdayaan tenaga kerja yang banyak itu susah, “Susah mencari orang yang mau ikut dengan cara kerja kita. Karena proses produksi perhiasan ini betul-betul butuh kreativitas.”

Terlepas dari itu, Terry sangat menikmati proses belajar dalam meniti bisnisnya, “Kami belajar sambil jalan. Learning by doing—dari marketing, pencatatan keuangan, kreativitas.”

Seluruh pendanaan pun diperolehnya dari kantong sendiri, “Nggak ada investor dari luar, semua pribadi. Pokoknya, saat itu kami hanya merasakan kepuasan dengan merintis bisnis sendiri. Mungkin istilahnya sekarang seperti healing, ya. Karena ini memang sesuatu yang kami senangi, maka kami yakin untuk menekuninya.”

Pada 2015, Terry memutuskan resign dan mendedikasikan waktu penuh untuk mengelola Magus, demikian juga Adel.

Saat memutuskan untuk kerja full time di Magus, Terry menemukan rekan bisnis baru. Ia berjumpa dengan Lila Imeldasari, desainer produk pakaian bergaya etnik Lemarilila. Di butik milik Lila, gelang-gelang Magus pertama mendapatkan “rumah”.

diajeng Gelang Magus by Terry

Aktivitas Terry berjualan gelang-gelang Magus pada 7 Agustus 2022 di Pasar Wiguna, kegiatan bazar mingguan di Jl. Laksda Adisucipto, Yogyakarta. (FOTO/Dok. Magus)

Terry juga berkenalan dengan artisan jewellery Rahayu Dwiastuti atau biasa disapa Ibu Yayuk. Pertemuan dengan Yayuk memungkinkan dirinya menjadi bagian dari Asosiasi Pengrajin Perhiasan Yogyakarta (AAPY) dan produknya diikutsertakan ke pameran ke luar negeri seperti Portugal (2019) dan Belanda (2022)

Magus juga berkembang berkat Rumah Kreatif Sleman (RKS), unit di bawah naungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang bertugas membimbing dan mendampingi pelaku usaha daerah.

Terry sangat terbantu dengan banyaknya kelas pelatihan menarik dan program inkubasi bisnis dari pemda. Akhir Januari kemarin, ia baru saja mengikuti kelas fotografi produk yang RKS selenggarakan bersama Canon.

Tahun lalu, dinas kabupaten mensponsorinya dalam pameran Kriyanusa di Jakarta. Melalui dinas provinsi, Terry pernah difasilitasi untuk berpartisipasi di Asian Tourism Forum dan pameran di pusat perbelanjaan terbesar di Yogyakarta, Pakuwon Mall Jogja.

Baru-baru ini, Terry semakin bersemangat setelah gelang-gelang Magus lolos seleksi kurasi program Uniqlo Neighborhood Collaboration Project. Selama kurang lebih satu tahun, produk Magus akan dipamerkan di etalase Uniqlo di Pakuwon Mall Jogja sehingga semakin dikenal banyak orang.

Mengenang perjalanan usahanya, Terry kembali menekankan pentingnya memulai networking. “Bukannya memang begitu? Dari zero, membuat jaringan. Berkembang karena berani untuk berjejaring. Bukan kekuatan ordal, ya!” pungkasnya sambil tertawa.

Baca juga artikel terkait WOMENPRENEUR atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Diajeng
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Dwi Ayuningtyas