Menuju konten utama

Diskusi Buku Memoar Pulau Buru untuk Menolak Lupa

Diskusi Buku dan Pameran Sketsa “Tiada Jalan Bertabur Bunga: Memoar Pulau Buru dalam Sketsa” merupakan jalan untuk merawat ingatan atau menolak lupa. Diskusi buku ini memperoleh berbagai komentar dari pembaca buku maupun peserta diskusi yang mengikuti diskusi.

Diskusi Buku Memoar Pulau Buru untuk Menolak Lupa
Ilustrasi tahanan politik di Pulau Buru. Gambar/ Mars Nursomo.

tirto.id - Diskusi Buku dan Pameran Sketsa “Tiada Jalan Bertabur Bunga: Memoar Pulau Buru dalam Sketsa” merupakan jalan untuk merawat ingatan atau menolak lupa. Pernyataan itu disampaikan oleh pemandu diskusi Baskara T. Wardaya SJ dan dilaksanakan di Kampus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Jumat (21/10/2016).

Diskusi diawali dengan pemaparan penulis buku Gregorius Soeharsojo Goenito yang merupakan salah seorang penyintas dari Pulau Buru. Pria berusia menjelang 81 tahun ini mengatakan amat terharu karena telah berhasil menerbitkan memoarnya yang berdasarkan sketsa serta buku harian yang dibuatnya selama diasingkan di Pulau Buru.

“Saya mendapatkan dukungan dari Profesor Janet Steele, peneliti sejarah dari Amerika, untuk mengumpulkan bukti-bukti sebagian sejarah yang pernah saya tulis dalam buku harian dan sketsa selama di Buru,” kenang Greg.

Ia akui amat terharu ketika sejarawan dari Amerika itu antusias dengan karya-karyanya. Ia tidak menyangka akan ada seorang yang sangat tertarik dengan dokumen dalam bentuk tulisan dan gambar yang sudah usang. “Tanpa orang asing itu, mungkin saya tak bisa bicara dengan yang lain,” ujar Greg.

Pemaparan Greg selanjutnya ialah mengenai isi buku. Secara singkat ia mengatakan buku memoar tersebut berisikan sketsa-sketsa, narasi serta puisi-puisi yang semuanya merupakan karyanya sendiri.

Isi buku kemudian dikomentari oleh beberapa orang. Salah satunya Hairus Salim, budayawan dan pegiat YLKIS Yogyakarta. Ia mengatakan, “[...] jika Anda membaca catatan dan menyimak sketsa di dalam lembaran-lembaran buku ini, lalu Anda merasa dunia seperti bergetar dan gelap, kuatlah hati dan pikiran. Buru dan semua cerita di dalamnya itu nyata. Pertanyaan kini, [...] apakah dengan semua itu kita mau menundukkan kepala, mengakui ada yang salah dari masa lalu kita, dan menghaturkan maaf?”

Sementara itu, Muhidin M Dahlan (Gus Muh), penulis dan peneliti Warung Arsip dan Radio Buku menegaskan buku ini amat penting bagi kemanusiaan dan generasi masa kini.

“Jenderal Besar Soeharto meniru setepat-tepatnya metode penjinakkan Orde Kolonial terhadap “pembangkang” atau kaum yang dijadikan tumbal dari sebuah persekongkolan mahajahat. Seperti Digul yang diciptakan untuk “pembangkang 26”, Buru dibikin untuk menyapu sisa-sisa Genosida '65 bagi orang Komunis atau yang terkoneksi dengan kultur progresif komunis atau pendukung garis keras Sukarno. Sebagaimana pemusnahan perlahan-lahan ala kolonial Digul itu [...]. Gregorius Soharsojo Goenito menjadi papilon dalam kamp kerja paksa “binaan” Jenderal Besar. Dengan nyanyian ia tawar kesepian yang merampas kewarasan, dengan tonil ia tepis keterpisahan yang panjang dari kolektivisme, dan dengan gambar/sketsa ia gubah kesakitan menjadi kesaksian atas sebuah orde yang berdiri di atas pemusnahan massal. Ini buku penting yang memberitahu [...] manusia yang berlangsung dalam kereta sejarah Indonesia modern,” kata Gus Muh.

Baca juga artikel terkait PULAU BURU atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh