tirto.id - Pada Senin (2/3/2020), kasus 1 dan kasus 2 corona COVID-19 resmi diumumkan di Indonesia. Kedua kasus tersebut berhubungan karena terjadi pada satu keluarga di Depok, Jawa Barat. Pasien pada kasus 2 sempat menjalani rawat inap di RS Mitra Keluarga pada Rabu (26/2/2020) sebelum dipindahkan ke Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso pada Minggu, (1/3/2020) lalu untuk menjalani pemeriksaan lebih intensif.
Setelah informasi ini tersiar, saham PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk terpantau mengalami penurunan sebesar 5,24 persen ke posisi Rp2.350 pada penutupan perdagangan Senin (2/3/2020). Posisi ini merupakan yang terendah sejak awal tahun atau year-to-date, yang dibuka pada Rp2.740 per saham.
Papan bursa sejatinya tengah bersiap mencatatkan emiten baru di sub-sektor kesehatan kendati dibayangi virus Corona, yakni PT Metro Health Care Indonesia. Perusahaan ini memiliki tujuh rumah sakit yakni RSIA Bunda Sejahtera, RSU Bina Sehat Mandiri, RSU Metro Hospital Cikarang, RSU Metro Hospital Cikupa, RSU Kartini, RSIA Mitra Husada, dan RSIA St. Yusuf. Rencananya, Metro akan melepas saham kepada publik atau melakukan initial public offering (IPO) pada 13 Maret 2020.
Perseroan membidik dana segar sampai dengan Rp1,1 triliun. Perusahaan penyedia layanan kesehatan ini menawarkan sebanyak-banyaknya 10 miliar saham, setara 30,07 persen dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh dengan nilai nominal Rp100. Harga penawaran IPO MHI ini berkisar antara Rp102 sampai dengan Rp110 per saham.
Direktur Utama MHI Henry Kembaren mengatakan, dana hasil IPO akan digunakan untuk melakukan peningkatan modal pada PT Metro Global Medika (MGM) yang membawahi seluruh rumah sakit milik MHI. "Dengan penawaran umum perdana saham ini, Metro Healthcare Indonesia berharap dapat terus melakukan pengembangan usaha melalui penambahan rumah sakit baru dan juga peningkatan fasilitas dan sarana rumah sakit," ucap Henry, dilansir CNBC Indonesia.
Fokus Pada Kelas Menengah Bawah
Henry mengaku, perseroan akan fokus pada layanan kesehatan dan okupansi volume kelas menengah bawah. Secara umum, segmen ini merupakan peserta BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, perseroan berencana melakukan ekspansi dengan menambah jaringan dan kamar di rumah sakit.
"Sasaran utamanya memang peserta BPJS. Seperti yang diketahui, margin untuk layanan seperti itu kan tipis. Jadi memang kita harus segera mengejar volume [pasien]. Itulah sebabnya kami membangun rumah sakit di daerah-daerah, supaya volume itu segera tercapai," ungkap Henry, dikutip dari Bisnis Indonesia.
Dana hasil IPO Metro nantinya akan digunakan untuk pembelian beberapa bidang tanah, pembiayaan pembangunan rumah sakit, serta pengadaan peralatan rumah sakit. MHI akan membangun rumah sakit di daerah, seperti pinggiran kota dan kabupaten yang sedang tumbuh. Lokasi itu dipandang strategis untuk menjangkau segmen pasar yang dibidik. Perseroan juga akan fokus meningkatkan kapasitas tempat tidur
Masih dari Bisnis Indonesia, Henry mencontohkan rumah sakit yang dikelola perseroan di wilayah Cikupa memiliki tingkat okupansi yang rendah. Namun, setelah dilakukan pembenahan, pasien BPJS bisa datang setiap waktu sehingga okupansi mencapai 80 persen.
Peningkatan penetrasi emiten rumah sakit swasta terhadap pasien BPJS Kesehatan diperkirakan semakin meningkat ke depan. Namun, pengelolaan operasional dan profitabilitas masih akan menjadi isu utama. "Profitabilitas tinggi masih bersumber dari pasien out of pocket dan corporate insurance," sebut Analis Samuel Sekuritas Ilham Akbar Muhammad dalam "Market Outlook 2020" (PDF).
Kenaikan tarif iuran keanggotaan BPJS Kesehatan yang terjadi saat ini diharapkan memiliki potensi untuk memperbaiki working capital terhadap klaim pembayaran BPJS Kesehatan. "Meski iuran keanggotaan naik, kami tidak berekspektasi standar tarif pelayanan akan turut dinaikkan dalam waktu dekat. Seiring fokus utama kenaikan tarif iuran adalah untuk mengurangi defisit," tulis Ilham.
Profit versus Fungsi Sosial?
Hal yang dilakukan MHI dengan membidik pasien segmen BPJS Kesehatan mencerminkan fungsi sosial yang harus dilakukan oleh Rumah Sakit. Sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No.44/2009 tentang Rumah Sakit (PDF), disebutkan bahwa rumah sakit memiliki kewajiban melaksanakan fungsi sosial, antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu atau miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
Dalam penjelasan Pasal 2 UU No.40/2009 tentang Rumah Sakit, disebutkan bahwa “fungsi sosial rumah sakit” adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang atau tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Namun, perkara yang timbul dari fungsi sosial itu salah satunya adalah tunggakan pembayaran dari BPJS Kesehatan meski tarif iuran dinaikkan. Berbagai aspek fungsi sosial ini, tentu bisa mengurangi potensi-potensi pemasukan rumah sakit sebagai sebuah entitas bisnis. Terlebih pada rumah sakit yang telah go public, aspek kinerja keuangan akan menjadi sorotan para pemegang saham dan pelaku pasar. Perseroan akan dihadapkan pada persoalan menyeimbangkan kepentingan sosial dan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengungkapkan, fungsi layanan sosial dan mencari keuntungan bagi emiten rumah sakit sejatinya bisa sejalan. Hal ini, lanjut Maximilianus, karena program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menargetkan seluruh penduduk Indonesia mendapat akses layanan kesehatan dapat menjadi peluang besar bagi operator rumah sakit dan perusahaan farmasi.
Menurutnya, melalui JKN, basis konsumen industri kesehatan akan membesar secara signifikan. “Ini berarti hal baik dari sisi penetrasi pasar dan edukasi layanan kesehatan. Rumah sakit di Indonesia paham hal ini dan mengetahui pasarnya sangat luas dan meningkat,” tutur Maximilianus kepada Tirto.
Profitabilitas yang bisa didapat perseroan menurut Maximilianus bisa berasal dari layanan medis spesialis yang disediakan masing-masing rumah sakit. Hal ini juga meningkatkan nilai jual rumah sakit itu sendiri. “Kewajiban layanan sosial dan target mendapatkan keuntungan bisa dilakukan secara sejalan dan terlihat dari sejauh mana rumah sakit bisa menoleransi biaya untuk fokus pada kesehatan. Sebab praktik BPJS Kesehatan ini berlaku seperti praktik subsidi silang,” sebut Maximilianus.
Senada, Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas Alfred Nainggolan menyebut tidak ada kendala bagi emiten rumah sakit untuk membedakan antara fungsi layanan sosial dengan keharusan mendapatkan keuntungan. Ia yakin perseroan pasti bisa memisahkan hal tersebut karena sudah memiliki porsi masing-masing.
Ia mengatakan, masyarakat maupun investor sudah paham akan fungsi rumah sakit swasta untuk mencari profit atau keuntungan. Investor pun tidak takut ketika bisnis rumah sakit dituntut untuk banyak melakukan layanan sosial. Sebab, lanjutnya, Indonesia sudah mengatur tarif layanan kesehatan sehingga seluruh besaran tarif layanan kesehatan di Indonesia sudah teregulasi.
“Ini menjadi perlindungan bagi rumah sakit dalam menetapkan kebijakan harga layanan. Tantangan berikutnya adalah dari sisi margin. Karena itu rumah sakit perlu strategi efisiensi yang tepat,” ungkap Alfred.
Kinerja rumah sakit yang fluktuatif, menurut Alfred, lebih banyak disebabkan oleh naik turunnya kontrol biaya operasional dan efisiensi yang dilakukan. Hitungan bisnis rumah sakit serupa dengan bisnis perhotelan. Faktor okupansi atau tingkat keterisian, terangnya, menjadi hal yang signifikan.
Tantangan bagi bisnis rumah sakit adalah tingkat keterisian kamar yang tidak bisa berjalan secara konsisten sehingga menimbulkan fluktuasi di pendapatan kinerja rumah sakit. "Bisnis rumah sakit agak sulit untuk mengontrol biaya karena variasi untuk layanan kesehatan cukup banyak, sehingga ini yang membuat efisiensi biaya menjadi sulit," rinci Alfred.
Pernyataan Alfred sejalan dengan laporan Deloitte berjudul "2020 Global Health Care Outlook: Laying a foundation for the future." Dalam laporan tersebut, isu utama industri kesehatan global adalah menggenjot margin. Deloitte menemukan bahwa pendapatan dari sistem kesehatan publik dan swasta mengalami tekanan yang cukup tinggi. Kondisi ini juga diperparah dengan biaya yang meningkat sehingga margin semakin menipis.
“Banyak sistem kesehatan dunia sedang berjuang untuk menjaga kesinambungan keuangan dalam lingkungan yang tidak pasti dan terus berubah. Selama bertahun-tahun, tantangan keuangan telah membayangi sistem kesehatan publik dan swasta dunia dalam berbagai tingkat,” menurut laporan tersebut.
Semakin banyaknya individu dengan kondisi kronis dalam jangka panjang, mahalnya infrastruktur medis dan investasi teknologi, peningkatan ongkos tenaga kerja diperparah dengan kekurangan belanja modal dan kurangnya staf, masih berdasarkan laporan tersebut, merupakan beberapa isu yang menghantui bisnis industri kesehatan.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara