tirto.id - Pekan pertama Juni 2019, RSUD Kota Tangerang mendadak ramai diperbincangkan di dunia maya. Rumah sakit itu menjadi viral lantaran terdapat tulisan yang dianggap diskriminatif pada papan pengumuman di rumah sakit itu.
"Dalam rangka menghindari khalwat dan ikhtilath," tertulis di sana, "penunggu pasien wanita seyogyanya (berdasarkan PUEBI: 'seyogiyanya') adalah wanita; penunggu pasien pria seyogyanya adalah pria. Kecuali penunggu pasien adalah keluarga (mahramnya)."
Menanggapi hal tersebut, Kepala Hubungan Masyarakat RSUD Kota Tangerang Lulu Faradis mengatakan bahwa reaksi masyarakat dinilai terlalu berlebihan. Pengumuman itu, lanjutnya, sesungguhnya hanya merupakan imbauan, bukan keharusan.
Meski begitu Lulu mengakui kalau isi papan pengumuman itu memang menimbulkan tafsir yang beragam. Karenanya, manajemen memutuskan mencopot papan itu dan akan menggantinya dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti dan tak multitafsir.
"Kami menggunakan kata-kata yang terkesan sangat syariat sekali. Seperti kata khalwat dan iktilath," ujarnya. Saat ini, papan pengumuman itu tidak lagi terpasang.
Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan, saat ini, tidak sedikit orang yang bertanya-tanya tentang rumah sakit syariah. Pertanyaannya beragam, mulai dari apa beda rumah sakit ini dengan rumah sakit konvensional hingga siapa saja yang bisa dilayani.
Beda RS Syariah
Menurut pengertian dari Kementerian Kesehatan, rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Sementara untuk rumah sakit syariah atau halal, definisinya kurang lebih sama. Hanya saja, penyelenggaraan rumah sakit yang disebutkan Kemenkes tersebut dilakukan dengan prinsip syariat Islam.
Untuk itu, standar pelayanan rumah sakit syariah juga sama dengan rumah sakit konvensional pada umumnya. Apalagi, baik rumah sakit syariah maupun konvensional wajib mendapatkan akreditasi dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Ini juga sekaligus menjawab bahwa rumah sakit syariah tidak saja melayani muslim, namun juga mereka yang tidak memeluk Islam. Hal ini juga diperkuat dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.107/2016.
Dalam fatwa tentang pedoman penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan prinsip syariah itu disebutkan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien, tanpa memandang ras, suku dan agama.
Walau fungsi rumah sakit syariah dan konvensional kurang lebih sama, untuk bisa disebut sebagai rumah sakit syariah tidaklah mudah. Selain harus terakreditasi oleh KARS, penyelenggara rumah sakit juga harus mendapatkan sertifikasi kesyariahan dari MUI.
Dalam laman resmi MUKISI, terdapat 50 persyaratan standar dan 161 elemen penilaian yang harus dipenuhi operator rumah sakit. Seluruh standar dan penilaian itu mencakup aspek manajemen dan layanan rumah sakit.
Meski mendirikan rumah sakit syariah terlihat lebih merepotkan ketimbang konvensional, perkembangannya di Indonesia nyatanya terbilang pesat. Hingga berita ini ditulis, jumlah rumah sakit syariah mencapai 15 rumah sakit dari hanya 3 rumah sakit pada April 2018.
Permintaan Tinggi
Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan kemunculan rumah sakit syariah sebenarnya merupakan imbas dari adanya permintaan yang cukup tinggi dari masyarakat.
"Saya kira ini mirip bank. Ada yang konvensional, ada juga yang syariah. Sama fungsinya tapi ada perbedaan. Nah, saat ini banyak orang yang mencari perbedaan itu, terutama dalam konteks rumah sakit," katanya kepada Tirto.
Menurut Telisa, warga kelas menengah Muslim saat ini memang semakin memperhatikan sisi spiritual atau agama dalam kehidupan sehari-hari seiring dengan meningkatnya pendidikan dan penghasilan mereka.
Apa yang dikatakan Telisa sejalan dengan penelitian yang dilakukan lembaga riset Internasional Pew Research Center. Dalam salah satu survei yang mereka lakukan, ditemukan bahwa sebanyak 93 persen responden di Indonesia menilai agama memiliki peran penting dalam kehidupan mereka.
Belum lagi, populasi umat muslim di Indonesia juga sangat besar. Dalam Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, sebanyak 207 juta jiwa beragama Islam atau sekitar 87 persen dari total penduduk sebanyak 238 juta jiwa.
Lebih lanjut, Boston Consulting Group (BCG) memprediksi jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 267 juta jiwa pada 2020. Dari total penduduk tersebut, sebanyak 62 persen (PDF; hlm. 6) merupakan warga kelas menengah.
Dengan asumsi warga kelas menengah muslim mendominasi jumlah kelas menengah Indonesia yang berjumlah sekitar 62 persen itu dan umat muslim sebanyak 207 juta jiwa, maka warga kelas menengah muslim di Indonesia pada 2020 secara hitungan kasar berada di kisaran 128 juta jiwa. Angka ini tentu menggiurkan untuk "digarap" pelaku bisnis.
Selain itu, prospek bisnis rumah sakit di Indonesia juga tampak semakin cerah di masa depan, manakala kesehatan ternyata dinilai sebagai sumber kebahagiaan masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muda.
Penilaian itu bisa dilihat dari hasil survei yang dilakukan Centre Strategic And International Studies (CSIS). Dalam survei yang melibatkan 1.451 responden itu, kesehatan menduduki posisi teratas sebagai sumber kebahagiaan.
Sektor Bisnis yang Menjanjikan?
Di lain pihak, pundi-pundi pendapatan ke kantong operator rumah sakit saat ini juga terus meningkat. Apalagi, kinerja operator rumah sakit selama ini juga cukup positif, terlihat dari laporan keuangan operator rumah sakit yang melantai di Bursa Efek Indonesia.
"Pendapatan emiten rumah sakit ini relatif baik, dan ruang untuk tumbuh juga terbuka lebar. Tantangannya cuma dari sisi margin. Bagaimana untuk lebih efisien," tutur Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas Alfred Nainggolan kepada Tirto.
Klaim Alfred berdasar. Kinerja emiten rumah sakit tahun lalu memang cukup baik. PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. selaku pengelola RS Mitra Keluarga, misalnya, meraup pendapatan senilai Rp2,71 triliun sepanjang 2018, naik 9 persen dari tahun sebelumnya.
Ada pula Omni Hospital milik PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk. Perusahaan dengan kode emiten SAME ini meraup pendapatan sebesar Rp952 miliar, naik 23 persen dari tahun sebelumnya, sebesar Rp776 miliar.
Rumah sakit Siloam milik Lippo Grup juga mencatatkan kinerja yang positif sepanjang 2018. Siolam berhasil meraup pendapatan usaha sebesar Rp5,96 triliun, atau naik 12 persen dari sebelumnya Rp5,3 triliun.
Mayapada Hospital menjadi rumah sakit dengan pertumbuhan pendapatan paling tinggi jika dibandingkan dengan tiga emiten rumah sakit sebelumnya, yakni tumbuh 28 persen menjadi Rp806 miliar.
Sayang, rumah sakit milik pengusaha Dato Tahir ini memiliki nilai beban usaha yang lebih besar ketimbang pendapatan. Imbasnya, PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk. selaku pengelola Mayapada Hospital membukukan rugi bersih sebesar Rp96 miliar.
Terkait rumah sakit syariah, kendati di Indonesia belum marak, di Malaysia, rumah sakit jenis ini sudah banyak ditemukan. Hal ini, salah satunya, karena rumah sakit syariah berperan penting dalam menyumbang pendapatan negara dari sektor kesehatan atau wisata kesehatan.
Pemerintah Malaysia memang mengincar para pasien dari luar negeri, khususnya mereka yang berasal dari negara-negara Muslim seperti Indonesia dan Timur Tengah. Sebagai catatan, orang-orang Indonesia sendiri merupakan target utama dari bisnis tersebut.
Pemerintah Malaysia bahkan sudah mematok target jumlah orang asing yang berobat ke Negeri Jiran itu, yakni sebanyak 1,9 juta orang pada 2020. Jumlah kunjungan itu diprediksi akan menghasilkan pemasukan sebesar 9,6 miliar ringgit dan menciptakan sebanyak 5.300 lapangan kerja.
Oleh karenanya, alokasi anggaran dari pemerintah Malaysia mengembangkan bisnis rumah sakit juga tidak main-main. Pada 2017 saja, pemerintah Malaysia mengalokasikan anggaran sebesar 4,8 persen dari PDB mereka.
Anggaran tersebut digunakan untuk menambah rumah sakit baru lengkap dengan teknologi kesehatan yang terbaru. Anggaran itu juga sudah termasuk untuk membiayai pelatihan yang bertujuan untuk menarik orang asing berobat ke Malaysia.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara