tirto.id - “Kamu tahu,” kata eyang saya sembari mengambil bungkus rokok di dalam sakunya, “apa yang membuat John Coltrane begitu hebat?”
Saya hanya menggeleng dan tak mengeluarkan sepatah kata. Perhatian saya tertuju pada kalimat yang akan dikeluarkan eyang setelahnya.
“Melodi,” jawabnya yakin sesaat usai ia mengisap rokok dalam-dalam. “Melodi Coltrane itu luar biasa indah yang dihasilkan lewat perhitungan tepat. Ia memadukan kemampuan intuisi, eksplorasi, serta segala hal yang dituliskan lewat teks.”
Perbincangan kemudian bergulir begitu intens. Eyang mulai menjelaskan satu per satu yang berhubungan dengan Coltrane. Dari perjalanan kariernya, relasi dengan Miles Davis, hingga album-album apa yang patut disimak. Saya, sekali lagi, hanya diam. Tak sedikitpun protes dan memperhatikan penjelasannya dengan seksama.
John Coltrane merupakan musisi jazz asal AS yang memainkan saksofon. Ia lahir di North Carolina pada 23 September 1926. Coltrane belajar saksofon di usia 15 karena sebelumnya Coltrane lebih fokus pada klarinet. Proses mendalami musiknya sempat terpotong oleh kewajiban militer. Meski begitu, Coltrane tetap bermain musik bersama band-band angkatan laut.
Usai menyelesaikan dinas militernya, Coltrane kembali terjun ke dunia musik. Nama Coltrane pertama melejit ketika ia menjadi pengiring di album Kind of Blue (1957) garapan Miles Davis. Keterampilannya mengolah nada-nada dari saksofon mencuri perhatian publik.
Pada 1940, kancah jazz AS sedang diramaikan munculnya sub-genre baru bernama bebop. Genre yang dibenci Louis Armstrong ini dikenal dengan ciri permainan cepat, padat improvisasi, dan menolak pakem jazz yang berlaku pada waktu itu. Kehadiran bebop nantinya menjadi panduan untuk jazz era modern.
Ragam ini melahirkan ikon macam Kenny Clarke, Thelonious Monk, Bud Powell, Charlie Christian, Charlie Parker, hingga Dizzy Gillespie. Mereka meramu bebop di klub jazz, Minton’s Playhouse, yang berlokasi di Harlem, New York.
Keadaan tersebut turut menginspirasi Coltrane. Ia menjadikan musisi jazz bebop seperti Dexter Gordon, Parker, dan Sonny Rollins sebagai panutan. Di tangan Coltrane, bebop diubah sedemikian rupa. Ia mengeksplorasi nada-nada di luar pakem bebop dengan pelbagai macam improvisasi—yang jarang dijumpai di bentuk sebelumnya.
Ihwal tersebut bisa disaksikan kala Coltrane membikin Giant Steps (1960) bersama pianis McCoy Tyner, bassis Jimmy Gordon, serta drummer Elvin Jones. The Guardian mencatat, karya mereka merupakan “yang paling kreatif dan menarik sepanjang masa” dalam kancah jazz. Alasannya, dalam album itu, Coltrane menyajikan “sesuatu yang revolusioner.” Coltrane ibarat seorang arsitek, yang secara obsesif merancang bangunan yang bebas dari pengekangan waktu, ruang, dan hal-hal yang fana.
Setiap komposisi dalam Giant Steps dibikin dengan detail yang mencengangkan. Dari detail itu, Coltrane menyatukan mereka dalam lanskap yang besar. Menjadi sesuatu yang sifatnya tak lagi personal, dan lantas dirayakan oleh musisi-musisi jazz—terlebih pemain saksofon—beberapa dekade setelahnya. Permainan Coltrane di Giant Steps adalah salah satu cetak biru jazz saat ini.
Keberadaan Giant Steps hanyalah permulaan. Karier Coltrane kemudian melesat cepat. Kemampuannya pun berkembang. Jazz mulai mengakui sosoknya sebagai musisi yang menjanjikan. Dizzy Gillespie mengajaknya bermain bersama dalam gerbong orkestranya, Duke Ellington menariknya untuk berduet dengan Johnny Hodges dan Jimmy Smith, dan tak ketinggalan, Coltrane juga diseret Thelonious Monk untuk berpetualang bersama.
“Coltrane adalah pemain saksofon tercepat dan berwatak keras yang pernah aku temui. Ia bisa bermain cepat dan keras pada saat bersamaan, dan aku tau itu sulit dilakukan. Melihat Coltrane bermain, seperti melihat orang yang sedang kesurupan. Ia sungguh bergairah—dan begitu tenang dan lembut saat tak bermain,” kata Miles dalam buku biografinya berjudul Miles (1989) yang disusun Quincy Troupe.
Jalan Coltrane nyatanya tak lama. Pada 17 Juli 1967, Coltrane meninggal, di usianya yang terbilang masih prima untuk ukuran musisi: 40 tahun. Nyawanya boleh meninggalkan dunia, namun, sebagaimana musisi-musisi besar pada umumnya, warisan Coltrane dalam jazz terus menginspirasi sampai detik ini.
A Love Supreme
Tiga tahun sebelum meninggal, Coltrane merekam materi baru. Bertempat di Van Gelder Studio yang berlokasi di Englewood Cliffs, New Jersey, Coltrane membikin A Love Supreme, album yang kelak jadi magnum opus-nya, bersama McCoy Tyner, Jimmy Garrison, serta Elvin Jones.
Berbeda dengan album terdahulu, Love Supreme hanya memuat empat repertoir: “Acknowledgement,” “Resolution,” “Pursuance,” serta “Psalm.” Masing-masing komposisi punya durasi lebih dari lima menit. Sejak nomor pertama dimainkan, Coltrane sudah menghentak. Tiupan saksofonnya begitu melodius dan dahsyat. Ia seperti bermain tanpa pijakan; meliuk ke sana dan ke mari dengan bebasnya.
Richard Broody dari The New Yorker pernah menulis begini sehubungan dengan Love Supreme: Coltrane bermain tanpa struktur yang baku dan bahkan terkadang tanpa ketukan kaki yang mengatur ritme. Coltrane, lanjut Broody, menggambarkan ulang apa itu gagasan mengenai permainan solo. Di tangan Coltrane, permainan solo dalam jazz tak ubahnya suara perlawanan kulit hitam. Perlawanan terhadap segala perlakuan diskriminatif yang diterima di masa lalu—dan sekarang.
Kebebasan versi Coltrane memuat ide politis untuk mencari keseragaman dengan bentuk kesenian lainnya. A Love Supreme adalah gambaran tentang bagaimana jazz berkembang ke dalam wujud yang baru, suasana yang baru, serta cita-cita baru. Jazz ala Coltrane, tegas Broody, adalah transformasi estetik jazz ke dalam “modernisme yang terang-terangan.”
Selain memendam sesuatu yang sifatnya abstrak dan esensial, Love Supreme, di saat bersamaan, terang Broody, juga memuat amarah. Namun, kemarahan itu dibungkus dengan keheningan serta ketenangan. “Musik [Love Supreme] seperti angin puyuh dengan mata yang tenang,” tulisnya.
Love Supreme membuktikan kepiawaian Coltrane sebagai seorang komposer dan instrumentalis yang kuat secara teknis maupun imajinasi. Ia mampu memadukan beraneka ragam musik, dari jazz murni, blues, balada, sampai bebunyian dari Afrika. Semua ini termaktub secara proporsional. Coltrane bereksperimen dengan menenggelamkan diri dalam lautan ritme dan keluar membawa melodi-melodi yang liar.
Ada banyak album Coltrane yang critically acclaimed. Namun, A Love Supreme merupakan puncak dari pencariannya akan jazz. Dalam album ini, Coltrane berbicara tentang penyempurnaan konsep musik jazz yang revolusioner dan memikat.
Dalam “What Coltrane Wanted” yang dipublikasikan The Atlantic pada 1987, Edward Strickland mengatakan apa yang dilakukan Coltrane dengan jazz bisa disamakan dengan sepak terjang The Beatles kala mereka berupaya tanpa henti untuk mendefinisikan ulang makna rock dari satu album ke album berikutnya. Jika The Beatles bermain dengan rock konvensional, ekstotisme Timur, baroque, hingga psikedelik guna menemukan “rock” yang sesungguhnya, maka Coltrane pun demikian: ia meramu bebop sampai free jazz untuk memperoleh wujud jazz yang paripurna, sesuai apa yang terekam dalam imajinasinya.
Meski begitu, Coltrane tak lepas dari kritik. Saking getolnya Coltrane mencari “bentuk jazz” yang ideal, banyak yang berkata musiknya “hanya mampu dipahami oleh para penyair,” alih-alih pendengar pada umumnya. Artinya, jazz versi Coltrane kelewat segmented. Kedua, Coltrane dinilai terlampau banyak bermain dengan “keindahan”—sama seperti lukisan Van Gogh yang dirasa “terlalu penuh dengan warna”—sehingga membuat musiknya kehilangan konteks.
Cinta yang Besar
Toko itu punya nama Harapan Musik. Letaknya di pusat kota Solo, tepatnya di Jalan Slamet Riyadi. Nyaris tak ada yang berubah saat saya dan eyang menginjakkan kaki di toko tersebut. Suasana sampai bentuk bangunannya tetap sama seperti lima atau enam tahun silam. Harapan Musik, sebagaimana namanya, berusaha untuk berdiri tegak di tengah terjangan era yang serba digital.
Ada banyak koleksi kaset yang terdapat di Harapan Musik. Sebagian besar merupakan rilisan lama. Ragam musiknya pun membentang luas. Anda akan mudah menjumpai album jazz, pop, blues, disko, rock, dan lain-lain. Yang bikin unik dari toko kaset ini ialah mereka cukup memegang teguh idealisme dengan hanya menjual kaset pita.
Kedatangan kami ke Harapan Musik dimaksudkan untuk mencari satu-dua album jazz. Sebelum berangkat, eyang sudah membikin daftar album yang harus didapatkan. Tercatat, ada nama-nama macam Ella Fitzgerald, Dizzy Gillespie, Clifford Brown, Bud Powell, hingga Horace Silver. Saya mencoba memperhatikan sekali lagi daftar tersebut dan menemukan keanehan.
“Eyang,” kata saya dengan nada yang sedikit heran, “kenapa tak ada Coltrane di sini?”
Saya sangat paham. Bagi eyang, Coltrane tak ubahnya cinta, pujaan, dan inspirasinya. Terdapat banyak musisi jazz yang sudah ia dengarkan dan idolakan. Namun, nama Coltrane tak bisa digusur dari daftar nomor satu. Apabila diminta membikin 100 musisi jazz terbaik sepanjang masa, saya yakin eyang bakal memasukkan Coltrane pada posisi puncak. Baru setelahnya ada Bill Evans, Miles Davis, Thelonious Monk, dan lain-lain.
“Untuk kali ini Coltrane tak masuk,” jawabnya sembari tersenyum simpul. “Eyang ingin sedikit berjarak dengan Coltrane.”
Cukup perlu waktu bagi saya untuk memproses maksud dari “berjarak” tersebut. Apakah “berjarak” sama dengan tidak mendengarkan Coltrane untuk sementara waktu agar tidak dilanda bosan? Ataukah ada definisi lain yang lebih tepat guna menggambarkan bagaimana “berjarak” dimaksud? Terlepas dari kebingungan itu, yang jelas, eyang memastikan bahwa “cintanya untuk Coltrane tak pudar.”
Bagaimanapun, musik Coltrane adalah anugerah. Dengan nafas yang ditiupkannya dalam saksofon, Coltrane berupaya mengajak pendengar kabur sejenak dari kekacauan dunia yang seolah tak bisa lagi diperbaiki. Untuknya, penyair asal Inggris, Philip Larkin, pada 1967, pernah berkata seperti ini:
“Saya menyesali kematian Coltrane. Walaupun begitu, saya tak bisa menyembunyikan fakta bahwa Coltrane telah meninggalkan jazz dengan keheningan yang dalam dan penuh berkat.”
Editor: Nuran Wibisono