Menuju konten utama

Di Balik Penangguhan Penahanan Eks Danjen Kopassus Soenarko

Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu mengaku heran kenapa Panglima TNI Hadi Tjahjanto harus menjadi penjamin penangguhan penahanan Soenarko. Sebab, ia khawatir terjadi konflik kepentingan.

Di Balik Penangguhan Penahanan Eks Danjen Kopassus Soenarko
Mayor Jenderal TNI Soenarko saat menjabat Komandan Jenderal Pasukan Khusus. FOTO/wikipedia/kopassus.mil.id

tirto.id - Penangguhan penahanan terhadap tersangka kepemilikan senjata api ilegal, Mayjen (Purn) Soenarko menuai kontroversi. Sebab, yang menjadi penjamin terhadap mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus itu adalah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengaku heran kenapa Hadi dan Luhut harus menjadi penjamin. Menurut dia, bila Panglima TNI sebagai penjamin, ia khawatir akan terjadi konflik kepentingan.

“Aneh saja Panglima TNI (juga Luhut) yang meminta itu. Secara hukum, tidak masalah siapapun jadi penjamin. Kalau tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatan, apakah polisi berani menahan si penjamin?” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/6/2019).

Erasmus berpendapat jika dalam posisi seperti itu, maka polisi akan tidak berani menolak alias menerima penangguhan penahanan. Ia menambahkan dalam KUHP, ada dua penjamin, yaitu uang dan orang.

Dalam kasus Soenarko, kata Erasmus, jika jaminan uang, maka uang siapa yang digunakan? Apakah uang pribadi atau uang TNI. “Tidak boleh pakai duit TNI, kalau pakai duit pribadi silakan saja mengajukan secara pribadi,” kata Erasmus.

Dalih Mabes Polri

Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo membenarkan bila Panglima TNI Hadi Tjahjanto dan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai penjamin penangguhan penahanan Soenarko. Ia pun mengatakan penyidik telah mempertimbangkan secara matang.

“Permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh pihak kuasa hukum Soenarko sudah diterima oleh penyidik Bareskrim. Penjamin adalah Panglima TNI dan Menko Kemaritiman,” kata Dedi, di Mabes Polri, Jumat (21/6/2019).

“Karena sebagai Panglima TNI beliau sebagai pembina seluruh purnawirawan TNI, sedangkan Luhut sebagai pembina dan tokoh senior di satuan elite TNI,” kata Dedi menambahkan.

Menurut Dedi, penyidik memiliki pertimbangan bahwa dalam proses pemeriksaan, Soenarko cukup kooperatif. Soenarko, lanjut Dedi, menyampaikan semua perihal peristiwa yang dialaminya.

“Kemudian pertimbangan oleh penyidik secara subjektif ialah Soenarko tidak akan mengulangi perbuatannya, tidak akan menghilangkan barang bukti, tidak akan melarikan diri,” kata Dedi.

Namun, kata Dedi, meski penahanan ditangguhkan, tapi perkara yang menjerat mantan Danjen Kopassus itu tetap berlanjut. “Iya untuk proses penanganan kasus tetap sesuai prosedur yang berlaku,” kata dia.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil menduga sejak awal kalau korps TNI tidak akan membiarkan mantan prajuritnya yang berpangkat jenderal ditahan dengan tuduhan makar. Sebab, hal itu aib bagi TNI.

“Apalagi makar itu pidananya [bisa] berupa hukuman mati,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/6/2019).

Nasir berpendapat, yang dilakukan oleh Panglima TNI bukanlah intervensi terhadap proses hukum yang sedang berlangsung, melainkan merupakan bentuk tanggung jawab selaku pimpinan tertinggi di TNI.

Hal senada diungkapkan Anggota Komisi I DPR, Lena Maryana. Ia menyatakan penangguhan itu tidak bisa dikatakan intervensi karena hal itu dijamin dalam peraturan yang ada. “Kecuali bila meminta dihentikannya proses hukum. Itu baru bisa disebut intervensi,” ucap Lena.

Lena menyatakan sepanjang syarat penangguhan penahanan terpenuhi dan bisa dijamin yaitu tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti dan melarikan diri, maka permintaan penangguhan bisa dilakukan.

Sementara itu, peneliti dari Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat mengatakan organisasi-organisasi HAM, telah lama mengkritik sistem hukum pidana Indonesia yang menyediakan pre-trial detention.

“Kritiknya adalah bila Soenarko -sebagai eks petinggi militer- bisa tidak menjalani pre-trial detention untuk kasus, ini juga harus berlaku terhadap para tersangka lainnya, khususnya warga sipil,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/6/2019).

Papang mencontohkan kasus dugaan makar di Papua dan Maluku yang selalu menjalani pre-trial detention. Menurut dia, dilihat dari aspek prinsip non-diskriminasi, sistem tersebut banyak dikritik oleh organisasi HAM di Indonesia.

Menurut Papang, kritik tersebut dilontarkan karena tidak lagi sesuai dengan kewajiban HAM international Indonesia, khususnya ICCPR (Kovenan Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi.

Papang menegaskan adili Soenarko sesuai dengan prinsip fair trial menurut hukum HAM internasional yang jadi kewajiban HAM Indonesia. “Seperti hak untuk akses terhadap pengacara, tidak disiksa dan lainnya. Sama seperti kewajiban aparat penegak hukum terhadap tersangka lainnya,” kata dia.

Ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir menyatakan penangguhan penahanan merupakan hak Soenarko, tapi penyidik harus menguji terlebih dahulu soal penahanan Soenarko dalam kasus dugaan kepemilikan senjata api ilegal.

“Harus diuji lagi apakah itu [kepemilikan senjata api ilegal] bagian dari operasi militer atau bukan. Kalau Panglima TNI menjadi penjamin, ada apa dengan TNI dan Polri? Penyidik harus bisa menjelaskan secara objektif,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/6/2019).

Mudzakir menegaskan penyidik harus bisa menjelaskan alasan objektif perkara kepada publik. Selain itu, kata dia, berkaitan dengan subjektivitas penyidik dalam penangguhan penahanan harus diobjektifkan.

“Alasan subjektif harus diobjektifkan agar rakyat mengerti bahwa penahanan [kasus] ini bisa dijelaskan secara objektif. Misalnya dia dikhawatirkan melarikan diri, harus ada alasan objektifnya. Sehingga masyarakat bisa menerima seluruh prosesnya,” tutur Mudzakir.

Ia menambahkan, Soenarko masih bisa membuktikan tuduhan melalui praperadilan meski penangguhan penahanan dikabulkan. Hal itu menjadi penting, lanjut Mudzakir, karena dimensi politik saat ini kental.

“Masyarakat tidak ingin hukum jadi alat politik penguasa,” sambung dia.

Baca juga artikel terkait KASUS MAKAR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz