Menuju konten utama

Di Balik Ngototnya DPR Perketat Penyadapan Melalui Revisi UU KPK

Masalah penyadapan menjadi salah satu poin pertanyaan saat uji kelayakan dan kepatutan capim KPK di Komisi III. Mengapa DPR ngotot ingin membatasi wewenang penyadapan KPK?

Di Balik Ngototnya DPR Perketat Penyadapan Melalui Revisi UU KPK
Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin (kanan) menjabat tangan perwakilan masyarakat sipil yang turut serta dalam rapat dengar pendapat (RDP) di ruang rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/9/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

tirto.id - Topik soal kewenangan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu bahasan panas di uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon pimpinan (capim) KPK periode 2019-2024 di Komisi III DPR RI. Masalah penyadapan yang akan dibatasi dalam revisi UU KPK menjadi poin yang ditanyakan kepada capim.

Capim KPK Nawawi Pomolango sepakat jika kewenangan penyadapan oleh KPK diperketat dan diawasi. Hal itu dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

"Saya setuju penyadapan harus dilakukan sedemikian rupa. Harus hati-hati apa yang mau disadap,” ujar Nawawi saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Sementara Capim KPK lainnya, Lili Pintauli Siregar mengatakan, ketentuan bahwa penyadapan harus seizin dewan pengawas tidak pas. Menurut dia, dewan pengawas semestinya berkutat pada urusan etik punggawa KPK, tidak sampai pada level teknis.

"Bukan soal begitu, tetapi ini dilihat. [Penyadapan] teknis, teknis banget. Bagi saya, itu [penyadapan harus izin Dewas] tidak pas, bukan tidak setuju, tidak pas," kata Lili setelah fit and proper test di Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Pengetatan soal penyadapan memang jadi poin dalam rencana revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) Taufiqulhadi mengatakan mereka bukan ingin memperketat penyadapan, melainkan hendak mengaturnya.

Taufiq menuding penyadapan seringkali dilakukan penyidik secara sepihak tanpa sepengetahuan pimpinan. Namun, Taufiq enggan mengungkap dari mana ia mendapat informasi itu.

"Berdasarkan yang saya ketahui," ujar Taufiq.

Karena itu, pengaturan proses penyadapan diperlukan agar penyadapan murni dilakukan untuk penegakan hukum dan tidak ada penyelewengan kekuasaan.

Taufiq mengklaim sudah berkompromi dengan mengatur izin penyadapan hanya perlu ke Dewan Pengawas. Kalau mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kata dia, izin penyadapan bahkan harus diajukan ke kepala pengadilan setempat.

Alasannya, KPK khawatir rencana penyadapan bocor keluar, sebab pengadilan mudah diintervensi.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani bercerita, pada proses pembahasan UU Terorisme bahkan DPR sepakat penyadapan hanya bisa dilakukan atas izin pengadilan.

Namun, kata Arsul, saat itu Densus 88 menyatakan keberatannya lantaran takut kehilangan momen akibat proses birokrasi yang berbelit.

"Maka kami yang di DPR memahami itu, kalau begitu harus ada ketentuan dalam keadaan mendesak, polisi boleh menyadap dulu sambil izinnya dulu," ujar Arsul, pada Jumat (6/9/2019) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

Dalam draf revisi UU KPK memang ada pengetatan dalam proses penyadapan. Proses perizinan tak cukup hanya sampai ke pimpinan. Dalam draf itu diatur pimpinan harus menyampaikan surat izin tertulis kepada Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan.

Keberadaan Dewan Pengawas ini pun menuai polemik. Itu merupakan posisi non-struktural yang akan dibentuk lewat revisi UU KPK. Meski begitu, ia memiliki wewenang yang kuat, yakni memberi izin penyadapan, mereka juga berwenang memberi izin penggeledahan dan penyitaan.

Jika izin telah keluar, maka petugas bisa menyadap nomor yang dituju selama tiga bulan dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu yang sama.

Petugas pun harus melaporkan proses penyadapan secara berkala kepada pimpinan. Jika sudah selesai dilakukan, maka petugas harus memberi pertanggungjawaban kepada pimpinan dan Dewan Pengawas. Selain itu, rekaman yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani harus dimusnahkan seketika. Jika tidak, maka ada ancaman pidana yang menanti.

Dalih DPR Soal Penyadapan Dipertanyakan

Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar mempertanyakan alasan DPR mengatur soal penyadapan oleh KPK. Sebab, kata dia, mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), penyadapan berpotensi melanggar hak asasi, karenanya diperlukan satu undang-undang khusus yang mengatur ini.

Di sisi lain, Zainal mengingatkan, yang memiliki kewenangan penyadapan tak hanya KPK, tapi juga instansi lain.

"Kalau mau taat, harusnya semuanya dong [diatur] jangan cuma satu-satu. Jangan cherrypicking, diambil yang mau ditaati yang lainnya tidak. Kok pilih-pilih?" kata Zainal saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (12/9/2019).

Zainal menambahkan “harusnya yang dikerjakan [DPR] berarti RUU Penyadapan itu saja dikerjakan.”

Saat ini, nasib RUU Penyadapan pun tengah terkatung-katung di Komisi 1 DPR RI. Padahal RUU ini telah masuk ke dalam program legislasi nasional sejak tahun 2018.

Sementara itu, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo menilai tak perlu lagi pengaturan lebih lanjut soal penyadapan. Alasannya, prosedur untuk bisa menyadap di lembaga antirasuah itu sudah sangat ketat.

Sebelum menyadap, kata dia, penyelidik atau penyidik harus meminta persetujuan direktur, setelah itu persetujuan deputi, dan terakhir persetujuan dari lima pimpinan KPK. Dalam surat permohonan itu petugas melampirkan nomor tujuan dan alasan melakukan penyadapan.

Jika pimpinan sudah memberi persetujuan, yang melakukan penyadapan bukanlah satgas penyelidik/penyidik tersebut, melainkan personel dari kedeputian informasi dan data.

"Jadi saya pikir semua ini hanya hal yang mengada-ngada," kata Yudi di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa (10/9/2019).

Yudi menilai keberadaan Dewan Pengawas ini hanya memperpanjang birokrasi di KPK. Selain itu, keberadaan mereka justru dikhawatirkan akan mengganggu pola kerja di KPK serta memperbesar kemungkinan bocornya rencana penindakan.

Ia mengklaim tidak takut diawasi, hanya saja kewenangan yang diberikan kepada Dewan Pengawas terlampau kuat sehingga berpotensi justru jadi Dewan Pengendali. Saat ini pun, kata dia, KPK sudah memiliki Dewan Penasehat dan Pengawas Internal.

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif. Menurut dia, proses penyadapan harus mendapat persetujuan yang berlapis dari Kepala Satgas Penyelidik/Penyidik sampai ke pimpinan.

Karena itu, ia menilai proses penyadapan di KPK adalah yang paling akuntabel di Indonesia, bahkan KPK pernah mengajukan diri ke Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) untuk diaudit.

"Tetapi akhirnya diputuskan bahwa Kemenkominfo tidak boleh lagi mengaudit," kata Laode.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz