Menuju konten utama

Di Balik Keluhan Konsumen soal Lemotnya Internet Selama WFH

Pakar Telekomunikasi ITB Agung Harsoyo mengatakan persoalan infrastruktur menjadi kendala pemerataan jaringan internet di Indonesia. Sebab pembangunan masih terpusat di kota-kota besar.

Di Balik Keluhan Konsumen soal Lemotnya Internet Selama WFH
Ilustrasi pembatasan Internet. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Presiden Joko Widodo pertengahan Maret lalu mengimbau masyarakat bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah. Ini dilakukan sebagai upaya melawan virus Corona atau COVID-19 yang menyebar secara masif di Indonesia.

Sejumlah perusahaan pun mematuhi imbauan itu dengan kebijakan Work From Home (WFH). Institusi pendidikan juga meliburkan sekolah dan meminta muridnya belajar di rumah. Namun masalah muncul saat banyak masyarakat mengeluhkan jaringan internet yang lelet.

Rinkania (25 tahun), warga Bandung salah satunya. Ia mengeluh jaringan internetnya semakin lambat ketika mengirimkan berkas untuk kebutuhan pekerjaan selama WFH. Ia terpaksa harus menyelesaikan pekerjaan di siang sampai sore hari, karena koneksi internet akan semakin lambat di malam hari.

“Sebenarnya dari sebelum WFH gini juga sudah lemot, mungkin karena sekarang ditambah banyak orang yang kerja dari rumah, aksesnya juga makin sibuk. Internetnya agak lama jadi harus tambah sabar saja,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/5/2020).

Ia mengaku, bulan ini akan beralih untuk memasang home router dengan harapan tidak akan terjadi gangguan koneksi. Berdasarkan hitungannya, jika memasang wifi di rumah, konsumsi internet akan jauh lebih murah dan efisien.

“Aku saja ini 52 giga Rp180.000/bulan, belum adik, belum orang tua yang semuanya pegang gadget aktif internet semua. Jadi bulan depan mau pasang wifi, paling Rp300-Rp400/bulan. Enggak apa-apa agak mahal yang penting lancar dan unlimited,” kata dia.

Tifda Rindu Muhammad (22 tahun) mengeluhkan hal serupa. Ia bahkan sampai harus mengganti provider selular dan merogoh kocek lebih dalam dengan harapan bisa memperoleh akses internet yang lebih cepat.

“Udah coba pakai 3 dulu paket chating saja, tapi lama-lama jadi lemot banget bahkan cuma buat kirim pesan Whatsap. Akhinya pas pindah ke XL dan Telkomsel mendingan,” kata dia kepada reporter Tirto.

Awalnya ia membeli paket 15 gigabite/bulan, namun ternyata paket tersebut kurang. Ia pun menambah konsumsi kuota menjadi 30 gigabite/bulan.

Tifda mengaku, tidak masalah dengan peningkatan tersebut. Karena saat ini ia lebih sering berkomunikasi dengan kawan serta mengakses berbagai situs hiburan di gadget miliknya.

“Dulu punya 15 giga itu udah besar, lemot mah sering apalagi kalau sudah malam di kamar, ketutup banget. Karena sekarang harus di rumah full day, jadi naikin paket konsumsi dua kali ke yang 30 giga-an lumayan cepet sekarang. Meski memang mahal banget,” jelas dia.

Rinkania dan Tifda hanya contoh kasus dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang mengeluh soal lambatnya koneksi internet. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan, internet di Indonesia memang lambat bila dibandingkan negara lain seperti Filipina, Pakistan, bahkan Malysia.

“Jadi memang internet Indonesia saja yang lemot bukan karena pemakaian berlebih gegara WFH,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto.

Berdasarkan riset yang dirilis Hootsuite, pada Januari 2020, kecepatan Internet Indonesia rata-rata hanya 20,1 Mbps atau jauh di bawah rata-rata dunia (worldwide) yang mencapai 73,6 Mbps. Dalam penelitian Hootsuite, negara lain seperti Singapura tercatat memiliki kecepatan jaringan tertinggi mencapai 200,1 Mbps.

Soal kecepatan mobile Internet atau internet via telpon genggam di Indonesia juga perlu mendapat perhatian. Sebab Indonesia rata-rata hanya memiliki kecepatan 13,3 Mbps atau terendah kedua di antara 40-an negara yang ditampilkan dalam riset tersebut.

Huda mengatakan, Indonesia bahkan masih terjebak di jaringan 3G dan 4G padahal beberapa negara sudah mulai mengakses jaringan ke 5G bahkan 6G. Padahal jika jaringannya semakin cangih dan cepat, biayanya pun lebih murah.

“Jadi seperti jalan di tempat. Semakin cepat internet maka akan semakin murah per mbps. Jadi internet lemot maka biaya Indonesia relatif kemahalan di bandingkan Malaysia, Singapura, Thailand,” terang dia.

Selain lambat, Huda menjelaskan layanan internet juga sangat tidak merata. Bisa jadi internet hanya bisa dinikmati di kota-kota besar, di wilayah terpencil belum terlayani. Meski pemerintah sudah membangun program Palapa Ring untuk mengkoneksikan antar-pulau di Indonesia, kata dia.

“Palapa Ring programnya bagus, tapi program itu enggak cukup. Pemerintah hanya gimmick saja soal tol udara itu karena implementasinya nol besar,” kata dia.

Penyebab Internet Indonesia Lemot

Pakar Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo mengatakan persoalan infrastruktur masih menjadi kendala pemerataan jaringan internet di Indonesia. Pembangunan hanya terpusat di kota-kota besar, sementara yang di daerah sangat kesulitan untuk mendapatkan akses.

“Indonesia ini punya persoalan soal pemerataan infrastruktur, jadi khusus untuk masa COVID-19 ini kalau di kota besar mungkin bisa dilihat ya upgrade itu cukup intens,” kata Agung kepada reporter Tirto.

Selain itu, ia juga cukup memaklumi keluhan masyarakat soal lambatnya jaringan internet saat berada di rumah.

Agung menjelaskan, selama ini provider berlomba-lomba berebut ceruk pasar di kawasan yang ramai pengguna. Pola bisnis ini mendorong para provider banyak mengengambangkan infrastruktur jaringan iternetnya pada wilayah-wilayah dengan konsentrasi pengguna yang tinggi seperti perkantoran dan pusat perbelanjaan.

Pengembangan jaringan internet di kawasan residensial atau pemukian kurang mendapat perhatian lantaran secara bisnis, sekala ekonominya memang rendah, kata Agung.

Menurut Agung, pola pengembangan bisnis itulah yang berakibat pada lambatnya akses internet di kawasan pemukiman seperti yang banyak dirasakan saat ini.

Dengan adanya Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) dan maraknya WFH di berbagai wilayah, sebenarnya sudah diantisipasi oleh para perusahaan provider seluler dengan mulai mengalihkan konsentrasi pengembangan jaringan ke kawasan residensial atau pemukiman.

Sayang, kata dia, upaya itu belum cukup maksimal untuk bisa mengimbangi tingginya aktivitas masyarakat dari rumah. Padahal, untuk kerja dari rumah masyarakat juga membutuhkan akses internet sama cepatnya dengan akses internet di kantor.

“Mereka meng-upgrade karena melihat pola traffic berubah, dari perkantoran ke residen. Jadi mereka melakukan rekonfigurasi mereka naik ke tempat-tempat di mana trafic itu naik. Karena trafficnya naiknya cukup signifikan ya di perumahan,” kata Agung.

Masalah pembangunan jaringan Internet di Indonesia di kawasan non-perkotaan juga punya kendala tersendiri, terutama soal tingkat keekonomian. Sederhananya, banyak provider enggan membangun jaringan internet di luar daerah lantaran tingkat huniannya rendah.

Artinya, kata dia, akan sia-sia bila sebuah provider membangun instalasi jaringan di daerah yang konsumennya sedikit.

Masalahnya, Indonesia tak punya kebijakan tata ruang yang memadai. Tak ada batasan jelas wilayah mana yang bisa dibangun hunian dan wilayah mana yang tidak, sehingga banyak pemukiman kecil yang muncul dengan populasi minim.

Hal ini yang membuat provider kesulitan menetapkan fokus pembangunan infrasturktur jaringan internetnya di Indonesia, kata Agung.

Hal ini, kata Agung, menjelaskan mengapa kenaikan pengguanaan internet selama PSBB tidak serta-merta menaikkan kinerja keuangan provider telekomuniasi penyedia jaringan internet.

Itu tercermin dari kompaknya perusahaan komunikasi mengkaji kembali target capaian keuangan tahunannya. Hal itu melanda hampir semua provider, tak terkecuali perusahaan telekomunikasi pelat merah, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM).

Direktur Consumer Service TLKM, Siti Choiriana mengatakan saat ini perusahaan rajin melakukan komunikasi dengan Kementerian BUMN membahas revisi target kinerja tahun 2020.

"Sampai dengan sekarang masih kami bahas terus, belum final. Target kinerja ini termasuk di dalamnya pendapatan, laba bersih dan belanja modal," kata dia.

Pada November 2019, TLKM menargetkan pendapatan di tahun ini bisa tumbuh 5 persen -6 persen. Sayangnya, TLKM belum menyampaikan laporan keuangan tahun 2019.

Namun, TLKM menargetkan di 2019 pendapatan bisa tumbuh 5 persen menjadi Rp137,32 triliun dari perolehan 2018 yang sebesar Rp130,78 triliun. Dengan asumsi tersebut, berarti TLKM membidik pendapatan sekitar Rp144,19 triliun hingga Rp145,56 triliun di tahun ini.

Apa Solusinya?

Agung Harsoyo mengatakan untuk jangka panjang, pemerintah diminta tetap fokus dan konsisten menjalankan roadmap pengembangan infrasturktur komunikasi seperti mega proyek nasional palapa ring atau yang dikenal dengan istilah tol langit.

Sementara, untuk jangka pendek, pemerintah bisa memberikan kepada para provider untuk mengerahkan tenaga teknisnya selama pelaksanaan PSBB.

Di tengah penerapan PSBB seperti saat ini, kata dia, tak jarang permintaan sambungan baru atau peningkatan kapasitas jaringan internet dari masyarakat datang secara mendadak. Sehingga diperlukan tenaga teknis yang siaga saat permintaan datang.

"Supaya industri telekomunikasi ini dikecualikan (dalam penerapan PSBB), tapi masih di sana-sini masih banyak kendala untuk bisa menjalankan upgrade terkait dengan lemotnya internet tadi," kata Agung.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Teknologi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz