tirto.id - Kubu dari spektrum politik kanan di Finlandia tengah bersukacita. Mereka berhasil unggul tipis dalam pemilu parlementer yang berlangsung ketat awal April silam.
Berjaya di urutan pertama dengan 20,8 persen suara adalah National Coalition Party (NCP). Partai tengah-kanan ini mengampanyekan pasar bebas, pengetatan anggaran belanja, dan pemotongan pajak.
Pencapaian NCP mengantar ketuanya, mantan menteri keuangan Petteri Orpo, ke kursi perdana menteri di istana Helsinki. Dia jugalah yang memimpin negosiasi untuk membentuk koalisi pemerintahan dari gabungan beberapa partai—biasanya berlangsung sampai berminggu-minggu.
Ada dugaan kuat bahwa Orpo akan merangkul Finns Party di parlemen. Partai nasionalis populis anti-imigran, anti-Uni Eropa, dan skeptis pada isu perubahan iklim ini mengekor persis di belakang NCP dengan 20,1 persen suara. Di parlemen Uni Eropa, Finns termasuk dalam grup partai berhaluan kanan jauh yang tindak tanduk politikusnya kerap menimbulkan kontroversi (seperti Vox di Spanyol, AfD di Jerman, Brothers of Italy, dan Sweden Democrats).
Bukan tidak mungkin kebijakan pemerintah Finlandia ke depannya sarat dengan corak politik kanan dan konservatif—bergeser dari pemerintahan progresif selama empat tahun terakhir yang dinakhodai partai tengah-kiri Social Democratic Party (SDP). Partai penyokong Perdana Menteri Sanna Marin itu harus puas bertengger di posisi ketiga dengan 19,9 persen suara, seiring suara untuk partai-partai kiri kecil dalam koalisinya tergerus.
Pergeseran lanskap politik Finlandia sebenarnya bukan hal yang mengherankan. Selama ini, kepemimpinan Finlandia cenderung berhaluan sentris terlepas siapa pun yang berkuasa (baik berasal dari haluan condong ke kiri atau kanan). Namun demikian, partai dari spektrum politik kanan memang jarang memimpin parlemen sejak empat dekade belakangan. Dalam kurun waktu tersebut, NCP hanya memimpin dua kali dengan total masa berkuasa delapan tahun (1987-1991 dan 2011-2014). Koalisi pemerintahannya kala itu pun masih melibatkan SDP. Sementara itu, SDP dan partai agraria berhaluan sentris Centre Party masing-masing sudah pernah berkuasa total selama 16 tahun.
Gara-Gara Sanna Marin?
Meredupnya SDP setelah ditelan partai-partai kanan menimbulkan keheranan di kalangan pengamat internasional. Partai tertua di Finlandia tersebut dinilai punya modal kuat yaitu popularitas pemimpinnya, Sanna Marin, yang dipuji sebagai perdana menteri termuda di dunia saat mulai menjabat 2019 silam pada usia 34.
Datang dari latar sosioekonomi sederhana, Marin merupakan anak perempuan pertama di keluarganya yang menempuh pendidikan universitas. Pekerjaannya sewaktu muda termasuk menjadi kasir toko.
Kabinet Marin belum genap berusia empat bulan ketika pandemi Covid-19 melanda. Kesigapan Marin mengerahkan aturan pembatasan kelak menuai pujian, berdampak pada rendahnya angka infeksi domestik ketika kasus meroket di sebagian daratan Eropa. Ia gencar mengecam ambisi ekspansionis Presiden Rusia Vladimir Putin di Ukraina dan dianggap berjasa menggiring Finlandia keluar dari netralitas sejak era Perang Dingin dengan bergabung NATO, aliansi pertahanan pimpinan adidaya Amerika Serikat yang awalnya sempat tidak diminati Marin dan sebagian besar politikus Finlandia.
Di dalam negeri, kebijakan Marin fokus pada tujuan negara kesejahteraan (welfare state), terutama mengalokasikan anggaran besar-besaran untuk memenuhi tunjangan layanan publik di sektor pendidikan, kesehatan, sampai pensiun.
Kabinetnya berkomitmen bahwa Finlandia akan mencapai karbon netral sekaligus menjadi negara kesejahteraan pertama yang bebas fosil pada 2035 nanti.
Selain itu, aturan cuti melahirkan dan pengasuhan anak bagi kaum ibu dan bapak menjadi lebih bagus di bawah administrasi Marin (masing-masing orang tua mendapat jatah cuti sampai tujuh bulan).
Sebelum Marin, tidak pernah ada pemimpin dengan popularitas dan citra flamboyan atau gaul seperti dirinya, setidaknya dalam seratus tahun lebih sejarah kemerdekaan Finlandia. Finlandia memang pernah punya segelintir pemimpin perempuan, namun tak satu pun dari mereka memancarkan aura energik sekuat Marin. Mayoritas pemimpin adalah bapak-bapak yang citranya kaku dan dingin.
Marin berusaha meleburkan batas antara dirinya sebagai figur top pemerintahan dengan massa pendukung salah satunya dengan cara aktif di Instagram dan senang berswafoto (termasuk aktivitas menyusui anak). Namanya pun bersinonim dengan milenial, angkatan demografi terbesar di muka bumi.
Majalah fesyen Vogue menyebutnya “milenial feminis environmentalis”. Tabloid Jerman Bild memujinya “perdana menteri paling keren sedunia”. Wajahnya diabadikan di sampul majalah Amerika Serikat Timeyang memasukkannya ke daftar “The Next 100 Most Influential People”, sementara di Inggris ia dinobatkan dalam “100 Women”pilihan BBC pada2020.
Perjalanan karier Marin kerap disandingkan dengan sesama pemimpin kiri progresif muda nun jauh di Selandia Baru, Jacinda Ardern. Keduanya digadang-gadang oleh media internasional sebagai politisi “rock star”.
Namun, di balik pencapaian dalam pemerintahan dan popularitas sebagai pemimpin, Marin tidak bebas dari kontroversi yang kerap dikaitkan dengan seksisme dan gaya hidup khas anak muda. Kurang lebih setahun setelah menjabat, ia dikritik karena berfoto untuk majalah gaya hidup perempuan hanya dalam balutan setelan blazer berkerah rendah tanpa dilengkapi busana dalam. Meskipun pendukungnya membela pemotretan tersebut sebagai ekspresi perempuan di tengah ragam tekanan pekerjaan dan beban domestik, tindakan Marin tetap dinilai tidak pantas dilakukan oleh pemimpin negara yang tengah dilanda karut-marut pandemi Covid-19.
Pada Desember 2021, Marin meminta maaf pada publik karena menghabiskan waktu di klub malam setelah melakukan kontak dengan pasien Covid-19. Setengah tahun kemudian, Agustus 2022, tersebar luas cuplikan video Marin tengah berpesta dengan kalangan selebritas. Tekanan pun datang dari berbagai pihak agar ia melakukan tes narkoba untuk membuktikan aktivitasnya itu tidak mengandung unsur ilegal.
Marin sempat membela diri bahwa tindakannya adalah hal lumrah: membagi waktu untuk keluarga, urusan kerja, dan bersantai bersama teman-teman. “Seperti kebanyakan orang pada usia saya,” katanya.
Akhirnya istilah “gadis pesta” pun disematkan pada dirinya—kelak dikaitkan dengan kekalahan SDP dalam pemilu. Demikian pandangan kolumnis media Inggris The Guardian Zoe Williamsdalam artikel yang terbit awal April silam.
Video Marin berpesta, yang digembar-gemborkan terutama oleh pers tradisional, kata Williams, akhirnya terasa seperti “perburuan penyihir”. Pemberitaan berlarut-larut yang sampai mendorong Marin agar melakukan tes narkoba (hasilnya negatif) tak lebih dari usaha kubu politik kanan untuk menjatuhkannya, katanya.
Terlebih dari itu, kalangan oposisi terutama partai tengah-kanan NCP gencar mengangkat isu tingginya utang negara dan pemborosan APBN oleh administrasi Marin. Namun, di balik kuatnya kampanye kebijakan ekonomi NCP, tulis Williams, “Wacananya selalu berkaitan dengan reaksi misoginis gerakan alt-right (kanan-jauh) terhadap Marin si gadis pesta.”
Kritisme terhadap Pemerintahan Marin
Sejumlah warga Finlandia keberatan dengan pendapat Williams. Dalam surat tanggapan yang The Guardian terbitkan beberapa hari kemudian, pembaca berargumen bahwa kampanye dalam pemilu Finlandia sudah berlangsung secara beradab dengan mengangkat isu-isu seputar APBN, lingkungan dan imigrasi, alih-alih kepribadian politikusnya. Narasi tentang Marin sebagai “gadis pesta” tidak terdengar gaungnya selama kampanye.
Misogini bukan faktor penentu hasil pemilu karena suara populer terbanyak justru diperoleh oleh politikus perempuan: Riikka Purra dari Finns Party dengan suara 42 ribu lebih, Marin (35 ribuan suara), dan Elina Valtonen dari NCP (32 ribu). Selain itu, meskipun SDP harus puas dengan pencapaian total suara di bawah NCP dan Finns Party, persentase suara mereka naik dari pemilu 2019—yang berarti terdapat pertambahan tiga kursi anggota dewan SDP di parlemen.
Pembaca lain menegaskan bahwa kekalahan Marin berkaitan dengan kebijakan ekonominya. Sebagian besar rakyat Finlandia menyayangkan pengeluaran anggaran selama administrasi Marin yang tidak terkontrol sehingga semakin menambah beban utang.
Selama empat tahun kabinet Marin berkuasa, persentase utang pemerintah Finlandia mengalami kenaikan yang konsisten tinggi. Angkanya sempat mencapai rekor 75 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada puncak pandemi Maret 2021. Hingga kuartal terakhir tahun 2022, utang pemerintah per PDB masih di kisaran 73 persen.
Seiring itu, resesi ekonomi yang dipicu pandemi Covid-19 dan krisis energi akibat invasi Rusia ke Ukraina diprediksi terus berlangsung sampai akhir 2023. Warga dilaporkan sudah menekan konsumsinya karena tekanan inflasi dan suku bunga tinggi. PDB pun turut mengalami kontraksi sebelum diprediksi bisa membaik tahun depan. Namun, sekali lagi, keprihatinan banyak pihak berpusar pada rasio utang terhadap PDB yang diperkirakan terus tumbuh.
Dua tahun silam, think tank bisnis Research Institute of the Finnish Economy sudah memperingatkan, pemborosan administrasi Marin untuk layanan publik kurang tepat apabila tetap dilanjutkan setelah pandemi dan berpotensi “menghancurkan masa depan Finlandia.”
Baru-baru ini, think tank konservatif Finnish Business and Policy Forum menyarankan pemerintah agar menghemat anggaran sampai 13 miliar euro selama dua periode ke depan, di antaranya dengan memotong dana termasuk untuk pendidikan dan menaikkan pajak penghasilan dari kalangan kelas menengah. Rekomendasi lainnya termasuk meningkatkan batas usia pensiun pegawai, mengalihkan tunjangan pengangguran menjadi insentif untuk pencari kerja, dan mempermudah aturan bagi pekerja migran.
Kendati demikian, Marin dan koalisi partainya kukuh berinvestasi pada pertumbuhan ekonomi dengan terus berkomitmen membiayai ragam layanan publik, dari tunjangan pendidikan, kesehatan, sampai transisi energi hijau—segala manfaat yang bersinonim dengan standar maju di negara kesejahteraan.
“Masyarakat yang tangguh hanya bisa dibangun di atas pertumbuhan ekonomi kuat dan lapangan kerja tinggi,” katanya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka akan menaikkan pajak aset dan warisan demi menutupi kekurangan anggaran.
Di kubu lain, kalangan konservatif kanan NCP dan Finns Party mengampanyekan hal-hal sebaliknya: mengurangi utang negara dan melakukan pemotongan pajak, meskipun hal tersebut bakal mengorbankan layanan publik. NCP yang propasar bebas juga menyayangkan iklim bisnis lesu dan pasar kurang kompetitif di bawah pemerintahan era Marin.
Pada akhirnya, kegagalan menjawab kritisme terkait isu kebijakan ekonomi menjadi faktor penting di balik kekalahan Marin dan koalisi pemerintahannya.
Sebenarnya, administrasi Marin sempat dipuji karena gencar membela Ukraina dan mendorong keanggotaan Finlandia di NATO. Namun hal tersebut tak membuatnya lebih menarik di mata pemilih suara karena kubu oposisi pun sama-sama mengecam invasi Rusia dan pro-NATO.
Kritik lain terhadap kepemimpinan Marin juga berkaitan dengan pernyataan-pernyataan blunder seputar isu pertahanan. Misalnya terkait pertimbangan pemerintah untuk menyumbangkan jet tempur milik Finlandia (diimpor dari AS) kepada Ukraina, yang ditepis oleh pejabat militer dan pertahanan sampai presiden. Beberapa bulan sebelumnya, NATO sampai turun tangan untuk membantah pernyataan Marin terkait potensi Finlandia menjadi lokasi permanen senjata nuklir.
Warisan minus lainnya dari administrasi Marin adalah kegagalan mewujudkan hak-hak orang Sámi—satu-satunya suku asli di daratan utara Eropa (Kutub Utara Arktik) yang diakui otoritas Uni Eropa. Marin dinilai tidak bisa menjaga kekompakan pemerintahannya. Salah satu partai dalam koalisinya, Centre Party, menolak untuk mereformasi UU Parlemen Sámi. Tanpa reformasi, hak-hak politik orang Sámi akan tetap tergerus—situasi yang sampai membuat komite PBB turun tangan menegur pemerintah Finlandia atas pelanggaran konvensi HAM internasional.
Editor: Rio Apinino