tirto.id - Pengumuman BPS soal pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,27 persen pada triwulan II-2018 sesaat memang mampu mengerek kurs rupiah terhadap dolar AS. Pada Senin (6/8) kemarin, nilai tukar rupiah versi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI), menunjukkan penguatan sebesar 0,15 persen menjadi Rp14.481 per dolar AS dibanding posisi Jumat (3/8) yang mencapai Rp14.503 per dolar AS. Pada Kamis (9/8) rupiah menguat tipis jadi Rp14.422 per dolar AS.
Namun, bila ditarik ke belakang, sepanjang 2018 rupiah menjadi salah satu mata uang berkinerja terburuk di ASEAN. Sejak 1 Januari sampai dengan 27 Juli 2018, mata uang garuda telah melemah sebesar 5,85 persen. Capaian terendah nilai tukar rupiah adalah Rp14.530 per dolar AS pada penutupan perdagangan Selasa (24/7) lalu.
"Jika melihat lebih luas, bukan hanya rupiah yang melemah hari ini, tapi juga mata uang lainnya," kata Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto pada 20 Juli seperti dikutip dari Antara.
Pelemahan rupiah senasib dengan nilai tukar peso Filipina yang terjerembab hingga 6,57 persen periode yang sama. Mata uang negeri gajah putih Thailand, Baht, juga tersungkur di hadapan dolar AS dan melemah sebesar 2,52 persen sejak 1 Januari sampai dengan 27 Juli 2018.
Nilai tukar mata uang dolar Singapura sepanjang 2018 juga telah mengalami depresiasi sebesar 1,79 persen. Kinerja nilai tukar ringgit Malaysia dan dolar Brunei Darussalam relatif cukup baik dengan pelemahan masing-masing sebesar 0,32 persen dan 0,90 persen.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, melansir pemberitaan Tirto sebelumnya, Darmin bilang karena dipengaruhi tren ekonomi global sebagai faktor eksternal.
Di sisi lain ada faktor internal yang tak kalah vital, lebarnya defisit naraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) neraca perdagangan Indonesia juga jadi penyebabnya. Bank Indonesia mencatat, CAD pada kuartal I-2018 sebesar $5,5 miliar atau setara 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan pada kuartal II-2018 diperkirakan mencapai lebih dari 2,5 persen PDB.
Data Badan Pusat Statistik (BPS)
(PDF) menyebutkan, selama Januari-Juni 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar $1,02 miliar di mana angka impor kumulatif mencapai $89,04 miliar sedangkan ekspor kumulatif hanya mencapai $88,09 miliar. Neraca perdagangan Indonesia selama paruh pertama tahun ini mayoritas diwarnai oleh defisit. Defisit transaksi berjalan tidak hanya dibentuk oleh defisit neraca perdagangan tetapi juga neraca jasa. Importasi migas Indonesia yang cukup besar juga mendorong defisit neraca perdagangan yang akhirnya bermuara pada pelemahan kurs.Filipina juga mengalami hal yang sama. Negara yang dipimpin oleh Rodrigo Duterte ini menurut rangkuman World Bank (PDF) 2017 juga mengalami defisit transaksi berjalan yang melebar dari 11,7 persen PDB pada 2016, menjadi 13,1 persen pada 2017. Namun, pada 2017, kinerja ekspor Filipina memang tumbuh 14,2 persen melampaui impor tahunan sebesar 12,8 persen. Gubernur bank sentral Filipina Nestor Espenilla mengatakan, penurunan nilai tukar peso Filipina terhadap dolar AS telah membantu meningkatkan daya saing ekspor Filipina dengan negara-negara lain di dunia.
Namun, permintaan impor bahan mentah dan barang setengah jadi di Filipina, berkontribusi pada peningkatan permintaan dolar AS. Oleh sebab itu, “Peso tetap rentan,” menurut Jonathan Ravelas, kepala strategi pasar di BDO Unibank Inc. di Manila seperti yang dilansir dari Bloomberg.
“Posisi pembayaran utang luar negeri kemungkinan akan memburuk keadaan lebih lanjut, karena kegiatan ekonomi lebih banyak mendorong permintaan impor untuk peralatan modal dan barang-barang konsumsi,” kata Jonathan.
Bank sentral Filipina memperkirakan CAD akan membengkak menjadi $700 juta pada 2018. Sebab utamanya, rencana peningkatan infrastruktur Presiden Rodrigo Duterte senilai $180 miliar yang mendorong peningkatan impor.
Peso mencapai titik nilai tukar terlemah pada 14 Juni 2018 di mana perdagangan ditutup di level P53,23 per dolar AS. Capaian ini menjadi level terlemah yang disentuh peso Filipina sejak Juni 2006. Pelemahan terdalam nilai tukar peso Filipina pada Juni kemarin, menyusul pengumuman kenaikan suku bunga AS.
Wakil Presiden Filipina Leni Robredo seperti dilansir dari Rappler mengungkapkan kekhawatirannya tren melemahnya nilai tukar mata uang dapat membebani sektor usaha dan menyebabkan hilangnya pekerjaan. Pelemahan mata uang akan mendorong kenaikan harga barang serta tingginya angka impor.
“Pelemahan nilai tukar memiliki efek yang serius kepada kehidupan sehari-hari masyarakat biasa di Filipina. Sangat mengkhawatirkan bahwa kejatuhan mata uang peso terjadi begitu cepat,” ucap Leni seperti diwartakan Rappler.
Peningkatan arus modal yang keluar dari Filipina turut melemahkan nilai tukar peso Filipina, di tengah penurunan arus investasi. “Aliran investasi yang masuk ke Filipina tidak banyak dan ini adalah salah satu masalah terbesar,” kata Stephen Innes, Head of Trading for Asia Pacific at Oanda Corp yang berkantor di Singapura seperti diwartakan Bloomberg.
Arus portofolio dana asing yang keluar dari pasar modal Filipina juga punya peran dalam kejatuhan kurs peso terhadap dolar AS. Pemicunya tak lain, langkah Bank sentral AS The Fed mengumumkan kenaikan tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada 2017 yang menyebabkan keluarnya arus modal asing dari negara berkembang seperti Filipina dan juga Indonesia.
Bila melihat kasus Indonesia, keluarnya dana asing atau capital outflow di pasar modal juga tak terhindari. Ini dapat dilihat dari data IDX (PDF) mencatat sepanjang tiga bulan pertama 2018 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah kehilangan 166,67 poin atau setara 2,62 persen.
Melemahnya nilai tukar rupiah turut disokong oleh tingginya kepemilikan investor asing terhadap surat utang negara. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiaayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menyebutkan, porsi asing di surat utang negara mencapai 37,73 persen pada Juli 2018 atau setara dengan Rp839,54 triliun.
Mau tak mau, imbal hasil yang kompetitif harus diberlakukan sebagai cara untuk menahan arus modal keluar dari Indonesia. Data DJPPR Kemenkeu menyebutkan, surat berharga negara bertenor 10 tahun diganjar dengan imbal hasil sebesar 7,81 persen yang mengalami peningkatan sebesar 0,4 basis poin. Imbal hasil yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, jauh lebih tinggi dari surat utang yang ditawarkan Filipina dengan iming-iming imbal hasil sebesar 6,5 persen dan Vietnam sebesar 4,9 persen.
Bila berkaca dari apa yang terjadi di Indonesia dan Filipina, keduanya sama-sama punya kerapuhan dalam fundamental ekonomi. Sehingga saat ada kebijakan mendasar dan perbaikan ekonomi negara besar seperti AS maka bagian yang paling sensitif yaitu kurs mata uang langsung kena imbasnya. Kali ini, Indonesia merasakan luka dalam dari keperkasaan dolar AS di kawasan.
Editor: Suhendra