tirto.id - “Keterlambatan pembayaran gaji pada Februari 2019 merupakan salah satu penyebabnya. Namun [aksi] ini merupakan akumulasi kekecewaan terhadap kinerja pimpinan”
Akhmad Qomarudin bicara cukup lantang saat ia dan kawan-kawannya di PT Pos menggelar aksi demonstrasi lanjutan di depan kantor Kementerian BUMN, Jakarta pada Rabu (6/2/2019).
Qomarudin yang juga Ketua Umum Serikat Pekerja PT Pos Indonesia Kuat Bermartabat (SPPI KB) mencoba mengupas sisi persoalan yang sedang menghinggapi Pos Indonesia, salah satunya soal ketidakpuasan pada manajemen PT Pos yang sempat memantik demo para pekerja di kantor pusat Bandung pada 28 Januari 2019.
Sialnya pasca-aksi demo di Bandung, masalah baru muncul, gaji Januari telat dibayar. Manajemen beralasan, penundaan pembayaran gaji karyawan merupakan akibat dari belum cairnya pinjaman dari mitra perusahaan sebagai dampak dari demo karyawan.
“Dengan terjadinya demo, maka perusahaan terpaksa harus mengatur ulang cashflow (arus kas) dan hal yang tidak bisa dihindari adalah penundaan gaji yang lazimnya dibayarkan pada tanggal 1 setiap bulannya,” jelas Gilarsi W Setijono, Direktur Utama PT Pos Indonesia.
PT Pos Indonesia baru mencairkan gaji lebih dari 23 ribu karyawan PT Pos Indonesia pada Senin, 4 Februari 2019. Persoalan gaji hanya sekelumit dari masalah yang sedang mendera PT Pos. Benang merahnya adalah ada upaya efisiensi beberapa tunjangan pekerja oleh manajemen terhadap para karyawan yang akhirnya memantik ketidakpuasan pergantian manajemen PT Pos. Ini bermuara pada dugaan masalah kinerja keuangan PT Pos.
Berdasarkan laporan keuangan, secara garis besar kinerja PT Pos memang tak buruk-buruk amat, masih mencetak laba meski dalam kondisi menurun. Namun, serikat pekerja menduga laporan laba yang ditampilkan oleh direksi PT Pos Indonesia dalam laporan keuangan bukan laba operasi.
“Sehingga berakibat cashflow menjadi mengkhawatirkan,” kata Qomarudin, Ketua Umum SPPI-KB kepada Tirto.
Membedah Keuangan PT Pos
Cashflow atau arus kas, istilah keuangan ini merujuk pada laporan keuangan yang berisi tentang penerimaan dan pengeluaran kas suatu perusahaan pada periode waktu tertentu. Arus kas disebut positif apabila penerimaan lebih besar dari pengeluaran. Begitu pun sebaliknya. “Cashflow bermasalah artinya arus kas keluar lebih besar dibanding kas yang masuk,” jelas Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital kepada Tirto.
Laporan keuangan PT Pos yang sudah dirilis ke publik masih sebatas sampai akhir 2017, sedangkan puncak kemelut hubungan manajemen dengan para pekerja PT Pos justru terjadi pada awal 2019. Laporan keuangan 2018 juga belum dirilis oleh PT Pos. Laporan keuangan 2018 dijadwalkan baru terbit pada Maret 2019.
Namun, sebagai gambaran, arus kas PT Pos Indonesia sudah memperlihatkan bergerak negatif sejak 2017. Mulai dari aktivitas operasi maupun investasi. Untuk aktivitas operasi arus kas bergerak negatif sebesar Rp550,83 miliar. Padahal 2016, arus kas operasi masih positif senilai Rp58,45 miliar.
"Gambaran umum arus kas menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas perseroan dalam kegiatan operasinya sehingga membutuhkan pendanaan yang cukup besar untuk menjalankan aktivitas bisnis," jelas PT Pos Indonesia dalam laporan keuangannya (PDF).
Kenaikan pengeluaran operasi di antaranya dipicu oleh ekspansi PT Pos menambah pekerja. Sejak 2016, PT Pos merekrut lebih dari 5 ribu karyawan baru. Jumlah ini terbilang luar bisa karana hampir 25 persen dari total pegawai PT Pos saat itu dan menjadi perekrutan terbanyak sepanjang sejarah BUMN ini. Sepanjang 2017 terjadi penambahan jumlah karyawan kontrak menjadi 4.027 orang dari sebelumnya 3.983 orang.
PT Pos Indonesia juga menambah agen pos jasa keuangan dari 47.115 di tahun 2016 menjadi 49.983 di tahun 2017. Akibatnya, pos pengeluaran untuk gaji dan tunjangan pegawai menggelembung sampai dengan 68,33 persen menjadi Rp3,20 miliar dibanding Rp1,90 miliar per Desember 2016.
Belum lagi besarnya honorarium yang harus dibayar kepada petugas agen pos yang mencapai Rp6,26 miliar. Melonjak lebih dari 5.000 persen mencapai Rp6,257 miliar dibanding 2016 yang sebesar Rp121,16 juta.
Angka-angka itu harus juga ditambah dengan gaji, honorarium dan tunjangan yang dibayarkan untuk Direksi dan Dewan Komisaris yang masing-masing senilai Rp17,08 miliar dan Rp8,49 miliar.
PT Pos Indonesia tetap menjalankan program pendidikan dan pelatihan bagi semua jenjang karier dengan biaya sebesar Rp17,18 miliar. Angka itu meningkat 57 persen dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada tahun 2016 sebesar Rp10,9 miliar.
Arus kas dari aktivitas investasi juga mencatatkan angka negatif sebesar Rp263,56 miliar pada 2017, dari sebelumnya positif Rp120,98 miliar pada 2016. Kenaikan pengeluaran investasi salah satunya karena penambahan jumlah kantor pos dari 3.887 unit menjadi 3.921 unit.
Arus kas sedikit terbantu setelah ada kucuran dana pinjaman bank yang naik Rp9,06 miliar. Secara keseluruhan, arus kas PT Pos Indonesia masih negatif sebesar Rp24,22 miliar.
Meski arus kas negatif, tapi kemampuan PT Pos Indonesia untuk menjalankan usaha termasuk membayar gaji karyawan masih bisa dilakukan. Sebab, kas dan setara kas yang dimiliki perseroan masih sebesar Rp2,94 triliun pada akhir 2017. Jumlah ini memang turun Rp23 miliar dibanding nominal kas dan setara kas PT Pos Indonesia 2016 yang senilai Rp2,96 triliun.
Sekretaris Perusahaan PT Pos Indonesia Benny Ottoyo membantah adanya cashflow yang bermasalah di tubuh perusahaan. "Tidak ada masalah tentang cashflow PT Pos Indonesia. Nanti akan dijelaskan oleh tim bagian keuangan PT Pos Indonesia, tapi tidak ada masalah," ucap Benny kepada Tirto.
Namun, tanda-tanda kinerja keuangan PT Pos mulai goyang makin nampak sejak 2018. Gilarsi Wahyu Setijono yang merupakan Direktur Utama PT Pos Indonesia pernah memperkirakan target laba sebesar Rp400 miliar untuk akhir 2018 tidak akan tercapai. Menurut Gilarsi, 2018 merupakan tahun yang berat bagi PT Pos Indonesia.
"Kami tidak tercapai (target laba). Saat ini hampir seperempatnya saja. Berat. Approximate (sekitar) lah ya, Rp100 miliar (laba)," ujar Gilarsih melansir CNN Indonesia.
Bisnis Inti Mulai Goyang?
Bisnis PT Pos Indonesia memang sudah goyang setidaknya mulai ada tanda-tanda sejak 2017. Pada 2017, pendapatan dari lini bisnis surat dan paket turun 1,45 persen menjadi Rp2,67 triliun. Padahal bisnis surat dan paket masih menjadi lini bisnis utama yang menopang sampai dengan 53 persen kinerja PT Pos Indonesia.
Bisnis jasa keuangan berupa pengiriman uang juga turun tajam hingga 13,08 persen, dan hanya mencatatkan pemasukan sebesar Rp971 miliar. Penyebabnya, rekeningisasi penyaluran program BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat)secara non tunai melalui bank penyalur sesuai Perpres Nomor 63 Tahun 2017 membuat hilangnya potensi pendapatan perusahaan sampai dengan Rp400 miliar.
Penurunan pendapatan di sektor jasa keuangan juga disebabkan oleh turunnya pendapatan dari layanan transfer uang sebesar 5,04 persen menjadi hanya sebesar 35,40 persen. Penurunan pendapatan di sektor remitansi ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya pemain baru yang masuk dalam bisnis serupa, dan berkembang layanan fintech serupa. Padahal bisnis jasa keuangan juga menjadi ladang pemasukan terbesar kedua bagi PT Pos Indonesia, karena menyumbang 19 persen pendapatan.
Pendapatan PT Pos Indonesia dari sektor ritel dan properti juga menurun 1,51 persen menjadi hanya Rp363 miliar dibanding tahun 2016 yang mencapai Rp368,57 miliar. Pendapatan dari teknologi informasi turun paling parah sampai dengan 76,22 persen dari Rp22,71 miliar menjadi hanya Rp5,4 miliar.
Sektor yang menyokong pendapatan PT Pos Indonesia justru datang dari pendapatan logistik yang naik 38,34 persen, menjadi Rp353 miliar dari realisasi 2016 yang sebesar Rp255,17 miliar. Selain itu, pendapatan lainnya juga tumbuh sampai dengan 76,44 persen menjadi Rp710,67 miliar dari sebelumnya hanya Rp402,78 miliar.
“Mencermati hal ini, isu di PT Pos Indonesia adalah harus ada restrukturisasi bisnis,” imbuh Alfred.
Celakanya, transformasi bisnis yang dilakukan perseroan terbilang terlambat. Mantan Sekretaris Kementerian BUMN periode 2005-2010, Muhammad Said Didu menilai, PT Pos melakukan strategi yang salah saat mentransformasi bisnis. Sebabnya, pergeseran bisnis dari jasa antar-surat menjadi bisnis pengiriman logistik, jasa keuangan, serta properti, belum sepenuhnya dikuasai para manajemen sebagai pengelola perusahaan.
“Jadi saya pikir ini ada perubahan strategi awal perusahaan logistik menjadi perusahaan transaksi,” ungkap Said.
Editor: Suhendra