Menuju konten utama

Denny Indrayana Respons soal SPDP Kasus Dugaan Hoaks Putusan MK

Hukum masih sarat dengan praktik koruptif mafia hukum dan diskriminatif, alias tajam kepada lawan-oposisi, dan tumpul kepada kawan-koalisi.

Denny Indrayana Respons soal SPDP Kasus Dugaan Hoaks Putusan MK
Pemeriksaan Denny Indrayana Di Bareskrim Mantan Wamenkumham Denny Indrayana (tengah) menjawab pertanyaan wartawan seusai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (5/10). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Denny Indrayana merespons perihal Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus dugaan berita bohong ihwal putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi sistem pemilu dan aduan pelanggaran etika oleh Mahkamah Konstitusi ke DPP Kongres Advokat Indonesia (KAI).

"Surat dimulainya penyidikan sudah dikirimkan kepada saya, demikian pula surat pengaduan hakim MK soal pelanggaran etika advokat, kabarnya sudah dikirimkan ke DPP Kongres Advokat Indonesia, tempat saya menjadi salah satu Vice President," ujar Denny dalam keterangan tertulis, Jumat, (14/7/2023).

"Karena saat ini saya berdomisili di Melbourne, Australia, kedua surat tersebut belum saya terima secara fisik, ataupun patut secara hukum. Saya menuntut, semua prosedur hukum acara pidana maupun pemeriksaan etika advokat dilakukan sesuai aturan hukum dan perundangan yang berlaku," sambung Denny.

Atas kedua masalah tersebut, dia menegaskan sikapnya jelas. Denny akan total sepenuh jiwa raga memperjuangkan hak-hak selaku warga negara Indonesia yang ingin tegaknya hukum yang adil, terhormat, dan bermartabat. Sayangnya, saat ini penegakan hukum di Indonesia, termasuk dalam soal etika, masih jauh dari keadilan.

Denny mengungkapkan bahwa hukum masih sarat dengan praktik koruptif mafia hukum dan diskriminatif, alias tajam kepada lawan-oposisi, dan tumpul kepada kawan-koalisi. Karena kondisi hukum yang tidak normal, cenderung koruptif dan diskriminatif itu, dia sadar memilih melakukan model kontrol publik yang lebih kritis.

"Termasuk dengan mengantisipasi putusan MK, agar tidak mengubah sistem pemilihan legislatif menjadi proporsional tertutup, yang justru membuka kebuntuan konstitusi (constitutional gridlock), karena penolakan delapan parpol di DPR, dan justru berpotensi menimbulkan keonaran, termasuk kemungkinan penundaan pemilu yang membahayakan keamanan tanah air," terang Denny.

Dia berpendapat, jika karena advokasi publik yang kritis tersebut ia malah dipidanakan, ia akan melakukan perlawanan hukum sebaik mungkin, termasuk tidak hanya menggunakan semua instrumen hukum nasional, tetapi juga menggunakan aspek hukum internasional, untuk melawan penegakan hukum yang masih cenderung koruptif dan diskriminatif demikian.

Perihal pelanggaran etika yang diadukan Mahkamah Konstitusi, Denny mempunyai catatan kritis yang banyak sekali. Aduan kabarnya mengatakan advokasi publiknya yang kritis malah merusak kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi.

"Saya ingin katakan, kepercayaan publik seharusnya tidak dipengaruhi oleh unggahan media sosial Denny Indrayana—atau siapapun. Tetapi semestinya lebih ditentukan oleh kualitas putusan MK yang tidak terbantahkan, dan integritas kenegarawanan para hakim MK sendiri yang tidak terbeli," ujar Denny.

Terkait aduan etika Mahkamah Konstitusi kepada DPP KAI, Denny meminta agar hukum acaranya diterapkan sesuai aturan yang ada. Termasuk pemeriksaan yang berjenjang mulai dari tingkat cabang/daerah, sebelum ke tingkat pusat.

Dia juga meminta aturan yang mewajibkan pengadu (MK) melalui sembilan hakim konstitusinya untuk hadir langsung tanpa diwakilkan kuasanya, dipatuhi dan dilaksanakan.

Sebelumnya, Denny dianggap menyebarkan berita bohong ihwal putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi sistem pemilu. Pelapor dalam kasus ini adalah AWW, pengaduan telah diterima dan terdaftar dengan Nomor: LP/B/128/V/2023/SPKT/BARESKRIM POLRI.

Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM itu dilaporkan atas dugaan ujaran kebencian, berita bohong, penghinaan terhadap penguasa, dan pembocoran rahasia negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 112 KUHP dan/atau Pasal 112 KUHP dan/atau Pasal 207 KUHP.

Kasus ini merupakan imbas pernyataan Denny yang mengklaim mendapatkan "bocoran informasi" bahwa Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan gugatan sistem pemilu dan mengembalikannya menjadi sistem proporsional tertutup. Ternyata dalam sidang pembacaan putusan, hakim menolak gugatan dan tetap mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka.

Baca juga artikel terkait DENNY INDRAYANA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Reja Hidayat