Menuju konten utama

Demo Hong Kong & Gejayan Memanggil: Protes Rakyat Terhadap RUU

Gejayan Memanggil dan demo Hong Kong sama-sama berasal dari rakyat yang merasa dikriminalisasi oleh RUU.

Demo Hong Kong & Gejayan Memanggil: Protes Rakyat Terhadap RUU
Pengunjuk rasa anti pemerintah bereaksi setelah adanya pengumuman bahwa semua operasional bandara akan dihentikan karena demonstrasi di Bandara Hong Kong, China, Selasa (13/8/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Issei Kato/djo/wsj.

tirto.id - Gejayan Memanggil adalah gerakan massa untuk turun ke jalan menuntut penarikan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), UU KPK, kerusakan lingkungan, RUU Pertahanan, RUU Penghapusan Kekesaran Seksual (PKS), dan penangkapan aktivis.

Gerakan yang dipelopori Aliansi Rakyat Bergerak ini dimulai pada Senin (23/9/2019). Aliansi ini menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR dan elite politik, dan RKUHP dianggap mengebiri demokrasi.

Gerakan #GejayanMemanggil ini kemudian memicu kota-kota besar di Indonesia, terutama mahasiswa dan aktivis untuk bersama-sama turun ke jalan menyuarakan ketidaksetujuan terhadap keputusan pemerintah.

Gerakan serupa juga terjadi di Hong Kong, selama empat bulan berturut-turut masyarakat Hong Kong berunjuk rasa di berbagai titik di kota untuk menentang RUU Ekstradisi.

Meskipun banyak yang ditangkap dan ditahan, terluka, dan menghabiskan banyak dana, demonstrasi tersebut masih berjalan hingga saat ini.

Warga Hong Kong memiliki lima tuntutan, sebagaimana diwartakan CNN, yaitu mencabut sepenuhnya RUU Ekstradisi, Carrie Lam turun dari jabatan sebagai pemimpin Hong Kong, penyelidikan independen terhadap perilaku polisi atas para demonstran, melepaskan para tahanan demokrasi, dan kebebasan demokrasi.

Protes di Hong Kong yang terjadi berlarut-larut dipicu oleh pemerintah yang memproses RUU Ektradisi, sebuah kebijakan yang mengizinkan narapidana Hong Kong diadili di Cina, dengan hukum dan kebijakan Cina.

Masyarakat Hong Kong menganggap hal tersebut adalah kriminalisasi terhadap warga, dan menganggap Cina terlalu mencampuri urusan warga Hong Kong, sehingga muncul gerakan massa.

Gejayan Memanggil juga memiliki motif yang sama, masyarakat merasa dikriminalisasi dengan adanya RKUHP dan RUU lainnya sehingga mendorong gerakan massa untuk menuntut pemerintah.

Aksi Gejayan Memanggil ini memiliki 6 tuntutan.

  1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
  2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
  3. Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia.
  4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria.
  5. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
  6. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Mayoritas peserta unjuk rasa adalah mahasiswa yang berasal dari kampus di Yogyakarta. Namun, beberapa kampus di Jogja lainnya menyatakan tidak sepakat dan tidak mendukung aksi tersebut, di antaranya, UGM yang menanggapi melalui surat edaran, institusi tersebut tidak terlibat dalam unjuk rasa, kemudian Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Demo Hong Kong masih berlanjut hingga saat ini, bahkan salah seorang aktivis demokrasi Joshua Wong sampai mencari dukungan dari kongres AS untuk memperjuangkan demokrasi di Hong Kong, .

HKFP mewartakan.

Baik demo Hong Kong maupun Gejayan Memanggil sama-sama berasal dari rakyat yang merasa dikriminalisasi oleh RUU dan menyatakan ketidaksetujuan terhadap keputusan pemerintah.

Baca juga artikel terkait DEMO MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Anggit Setiani Dayana

tirto.id - Politik
Kontributor: Anggit Setiani Dayana
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Dipna Videlia Putsanra