tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengaku pesimis terhadap kualitas penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia untuk lima tahun ke depan setelah menyaksikan debat pertama capres-cawapres 2019 yang diadakan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (17/1/2019) malam.
Menurut Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan, secara keseluruhan, kedua pasangan capres-cawapres tidak menawarkan gagasan yang visioner terkait rule of law di Indonesia.
Baik Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi, kata dia, hanya menyampaikan pandangan nirsubstansi soal jaminan perlindungan HAM. Keduanya miskin solusi konkrit dan segar terkait sejumlah permasalahan hukum HAM yang mendasar di Indonesia.
"Kedua pasangan juga jelas terlihat canggung dan gagap dalam menguraikan pandangan-pandangannya terkait penegakan hukum dan HAM. Hal tersebut tampaknya dilatarbelakangi faktor bahwa kedua pasangan memiliki catatan buruk dalam hal pemenuhan HAM," ujar Ricky melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat (18/1/2019).
Ricky menyebutkan, saat Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menyatakan visinya dengan mengarahkan isu hak asasi manusia pada aspek-aspek di luar sosial politik seperti akses pada lahan, kesehatan, dan pembangunan, mereka justru hanya memfokuskan diri pada isu hak ekonomi, sosial dan budaya.
Hal itu, kata dia, adalah jalur elaborasi yang aman. Sayangnya, pada masa pemerintahan Jokowi, hal-hal tersebut yang justru terlupakan.
"Mereka yang hidup dengan atau rentan terkena HIV masih sering mendapatkan diskriminasi di akses kesehatan, tata kelola BPJS yang masih bermasalah, dan juga maraknya pemenjaraan pada pemakai narkotika yang membuat mereka sulit mengakses banyak hal," jelasnya.
Selain itu, lanjut Ricky, Jokowi juga menjanjikan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
"Di sisi lain, pemerintahan Joko Widodo belum juga berhasil mengungkap dengan terang kasus serangan terhadap Novel Baswedan," ucapnya.
Sejak 2016, kata Ricky, persekusi terhadap minoritas agama maupun LGBT juga terus terjadi dan bahkan mengalami eskalasi.
"Di banyak kasus, aparat kepolisian justru juga terlibat sebagai pelaku diskriminasi dengan mendiamkan praktik kekerasan terhadap LGBT. Di samping itu, dalam kapasitasnya sebagai Ketua MUI, Ma’ruf Amin sering mendorong atau mengamini kelahiran fatwa maupun peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap minoritas," kata Ricky.
Sementara untuk pasangan nomor urut 2, Ricky juga menilai jika Prabowo dan Sandiaga tidak memberikan alternatif serta jawaban meyakinkan, yang ada hanya narasi panjang dalam kerangka kesejahteraan dan pembangunan (developmentalis).
"Hal ini ditunjukkan dengan memunculkan solusi tunggal terkait korupsi dan penegakan hukum yakni peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum. Memperhatikan kesejahteraan penegak hukum adalah hal yang penting, tetapi meningkatkan gaji aparat tidaklah serta merta menurunkan angka korupsi," jelasnya.
Ia pun mencontohkan Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang memiliki total pendapatan sebesar Rp12 miliar lebih dalam kurun waktu lima tahun
"Tetap saja melakukan korupsi, yang kemudian mendapat vonis seumur hidup," ujarnya
Selain itu, saat Sandiaga menyatakan bahwa HAM yang tegak adalah harga mati bagi mereka, Ricky justru meragukannya.
"Bagaimana keduanya bisa menegakkan HAM apabila Prabowo memiliki keterlibatan dengan pelanggaran HAM masa lalu? Sandiaga sendiri juga memiliki peran dalam kampanye yang sarat nuansa intoleran saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang lalu," kata Ricky.
Ia pun menyayangkan kedangkalan pandangan dan jawaban kedua pasangan calon terkait sejumlah pertanyaan hukum HAM yang penting.
"Sayangnya kedua pasangan calon sama-sama banyak memberikan jawaban yang mengambang dan cenderung hampa yang mencerminkan rendahnya penguasaan masalah. Perbedaannya adalah pasangan nomor urut 1 memberikan jawaban kosong secara telanjang, sementara pasangan nomor urut 2 menyampaikan jawabannya yang kosong dengan berbalut gula," pungkasnya.
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno