tirto.id - Masalah penurunan daya beli masyarakat terus menjadi polemik akhir-akhir ini. Ada yang pro, ada yang kontra. Presiden Joko Widodo pun memberikan responsnya. Pada penutupan rapat koordinasi nasional KADIN 2017, Selasa (3/10), Presiden Jokowi menyatakan daya beli masyarakat menurun merupakan isu untuk 2019.
"Angka seperti ini kalau tidak disampaikan, isunya hanya daya beli turun. Saya liat siapa yang bicara, politik... oh tidak apa. Kalau pengusaha murni saya ajak bicara. Kalau orang politik memang tugasnya itu, membuat isu-isu untuk 2019. Sudah kita blak-blakan saja," kata Jokowi, seperti dilansir dari Antara.
Presiden Jokowi tidak melihat ada penurunan daya beli, melainkan yang terjadi adalah perubahan pola belanja dari offline ke online. Hal itu dilihat dari jasa kurir dan logistik yang meningkat.
"Saya berikan angka. Coba saya ambil dari shifting dari offline ke online. Banyak orang yang ke situ. Kalau ada toko tutup ya karena ini. Salahnya nggak ikuti zaman," kata dia.
Jokowi mengungkapkan angka jasa kurir naik 130 persen pada akhir September ini. "Angka ini didapat dari mana? Ya kita cek. JNE cek, kantor pos cek. Saya kan juga orang lapangan," katanya.
Benarkah klaim soal kenaikan jasa kurir tersebut? Variabel apa lagi yang perlu dilihat untuk menunjukkan bahwa aktivitas logistik memang meningkat?
Untuk melihat daya beli masyarakat, salah satu varibel yang dapat digunakan adalah inflasi. Inflasi bisa diartikan sebagai terkendalinya harga-harga, tetapi juga bisa dipandang sebagai penurunan daya beli. Inflasi fluktuatif dan trennya cenderung menurun, menunjukkan permintaan domestik melambat, dan artinya daya beli juga melambat. Sejak Januari hingga September 2017, inflasi cenderung terus turun. Pada Januari, inflasi bulanan menunjukkan angka 0,97 persen dan menurun menjadi 0,13 persen pada September. Pada Maret dan Agustus, bahkan terjadi deflasi dengan nilai -0,02 persen dan -0,07 persen.
Baca Juga: Daya Beli Masyarakat Melemah, Benarkah?
Selanjutnya, yang patut diperiksa adalah adanya peralihan dari transaksi offline ke online, yang salah satu indikatornya adalah industri logistik. Untuk menguji klaim ini, maka kita perlu melihat pertumbuhan industri logistik. Melalui variabel ini, akan terlihat aliran barang, khususnya domestik, mulai dari tataran bisnis hingga rumah tangga. Menurut data, sejak triwulan pertama 2016 hingga triwulan kedua 2017, pertumbuhan industri pergudangan dan jasa penunjang angkutan, pos dan kurir menunjukkan angka yang fluktuatif dengan tren yang cenderung tumbuh positif.
Pada triwulan I 2016, pertumbuhan triwulanan industri ini sebesar -4,26 persen dibandingkan triwulan sebelumnya, dan meningkat menjadi 6,23 persen pada triwulan III 2016. Namun, pada triwulan pertama 2017, pertumbuhan industri ini melemah menjadi -3,97 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan II 2017, kembali tumbuh menjadi 4,83 persen. Namun, fluktuasi pertumbuhan industri pergudangan dan jasa penunjang angkutan, pos dan kurir ini dapat menjadi indikasi bahwa daya beli masyarakat cenderung tidak stabil, sehingga jika dilihat bersamaan dengan inflasi bulanannya, hal ini menunjukkan perlambatan daya beli masyarakat.
Dilihat lebih jauh, total barang dalam negeri yang dibongkar di pelabuhan Tanjung Priok menunjukan tren yang menurun sejak Januari hingga Juli 2017. Pada Januari 2017, tercatat sebesar 744,18 ribu ton barang yang dibongkar melalui pelabuhan ini dan menurun menjadi 637,47 ribu ton pada Juli 2017.
Tak hanya Tanjung Priok, aktivitas bongkar di Pelabuhan Makassar dan Balikpapan juga menunjukkan tren menurun untuk periode yang sama. Di Makassar, pada Januari 2017, jumlah barang yang dibongkar sebesar 456,16 ribu ton dan menurun menjadi 417,71 ribu ton.
Selain barang yang dibongkar, jumlah barang dalam negeri yang dimuat di beberapa pelabuhan utama pun menunjukkan tren yang menurun. Di Tanjung Priok, misalnya, pada Januari 2017, jumlah barang yang dimuat sebesar 922,07 ribu ton dan menurun menjadi 796,04 ribu ton pada Juli 2017. Tak hanya itu, pelabuhan utama di wilayah timur, Tanjung Perak, pun memperlihatkan penurunan. Pada Januari 2017, jumlah barang yang dimuat sebesar 532,88 ribu ton dan menurun menjadi 427,34 ribu ton.
Meskipun penurunannya tidak sebesar Tanjung Priok dan Tanjung Perak, pelabuhan Balikpapan juga memperlihatkan penurunan jumlah barang yang dimuat. Pada Januari, tercatat jumlah barang dimuat sebesar 909,75 ribu ton dan menurun menjadi 894,34 ribu ton.
Di sisi lain, jumlah barang yang didistribusikan melalui transportasi kereta api memperlihatkan tren yang meningkat. Pada Januari 2017, jumlah barang melalui jalur ini tercatat sebesar 3.304 ribu ton dan meningkat menjadi 3.800 ribu ton. Namun, perlu diperhatikan, bahwa angka ini hanya menggambarkan aliran barang di dalam pulau, yaitu wilayah yang berada di Pulau Sumatera dan Jawa.
Daya beli masyarakat sederhananya menggambarkan kemampuan masyarakat di dalam negeri untuk melakukan aktivitas konsumsi. Sehingga, dalam menentukan kemampuan ini, tak mungkin hanya melihat satu aspek industri tetapi harus dilihat dari berbagai sisi. Kurang tepat jika memutuskan kemampuan daya beli lemah atau kuat hanya dengan melihat pertumbuhan profit ataupun pendapatan satu atau dua perusahaan. Apalagi, jika karakteristik pasarnya bukan monopoli. Semua perlu dilihat secara menyeluruh, termasuk dari sisi industri penunjang.
Industri penunjang, seperti logistik, cenderung akan memperlihatkan tren yang senada dengan indikator utama. Seperti pada data di atas, tren inflasi yang fluktuatif juga serupa dengan tren laju pertumbuhan industri pergudangan dan jasa penunjang angkutan, pos dan kurir yang juga menunjukkan angka fluktuatif. Hal ini juga senada dengan jumlah bongkar dan muat barang dalam negeri yang fluktuatif dengan kecenderungan melambat.
Berdasarkan data-data tersebut, kita bisa melihat bahwa aktivitas perekonomian memang masih cenderung fluktuatif. Beberapa bagian memang menunjukkan tren melemah, tetapi ada bagian lain yang menunjukkan tren menguat.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti