tirto.id - Presiden Joko Widodo menginginkan dana desa yang digelontorkan pemerintah tidak hanya digunakan untuk infrastruktur saja. Mantan Wali Kota Solo itu berharap setiap desa mengembangkan potensi masing-masing dengan dana yang jumlahnya selalu meningkat tiap tahun itu.
Jokowi mencontohkan dua desa yang sukses menggenjot perekonomian daerah melalui program dana desa ini. Pertama adalah Umbul Ponggok, di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang mampu meraup laba bersih hingga Rp14 miliar per tahun dari sektor wisata.
Desa kedua yang disebut Jokowi adalah Desa Kutuh, di Kabupaten Badung, Bali, yang memperoleh Rp34 miliar per tahun dari sektor pariwisata yang dikelola BUMDes. Karena itu, Jokowi pun mendorong daerah lain yang memiliki potensi wisata untuk dikembangkan.
"Keinginan masyarakat desa untuk mengembangkan potensi masing-masing seharusnya menjadi tindak lanjut kehadiran infrastruktur, sehingga desa berinovasi demi memaksimalkan potensi masing-masing. Apalagi penghasilan yang diterima desa dengan inovasi penggunaan dana desa terbilang cukup fantastis," kata Jokowi di Cigombong, Kabupaten Bogor, seperti dikutip Antara, Minggu (2/12/2018).
Zainal Anwar, asosiasi peneliti dari Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta cumpenulis bukuDesa Mengembangkan Sumber Penghidupan Berkelanjutan (2015) menilai penggunaan dana desa untuk mengembangkan potensi yang dikemas dalam pariwisata sebagai hal yang lumrah.
Sebab, kata Zainal, sejumlah desa seperti di Klaten dan Gunung Kidul turut menjadi bukti nyata keberhasilan penggunaan dana desa untuk pariwisata. Apalagi selama ini tidak ada prioritas yang spesifik dalam penggunaan dana desa.
Menurut Zainal, selama ini penggunaan dana desa dikembalikan pada hasil musyawarah setiap desa, baik untuk keperluan infrastruktur maupun non-infrastruktur. Salah satu contohnya penggunaan dana desa untuk modal dan pengembangan ekonomi desa yang memprioritaskan penyerapan tenaga kerja di kalangan warga desa sendiri.
"Tergantung kepada desanya mau musyawarah dana itu dipakai untuk apa," kata Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta ini kepada reporter Tirto.
Zainal menambahkan setiap desa tentu memiliki keunggulan masing-masing. Menurutnya, saat satu desa telah memetakan aset dan potensi, maka arah pengembangan desa itu baru dapat ditentukan. Ia mencontohkan desa di Sukoharjo yang memiliki spesialisasi dalam industri rotan sehingga menamakan dirinya sebagai "Desa Rotan."
Karena itu, Zainal menilai pengembangan potensi wisata sebuah desa seperti yang diinginkan Jokowi sangat mungkin dilakukan. Namun konsep itu tidak dapat dipaksakan pada semua desa.
"Yang penting jangan latah. Kalau ada desa tidak layak menjadi tujuan wisata, tapi memaksakan diri, ya nanti mati sendiri," kata Zainal.
Pendapat senada diungkapkan ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abdul Manap Pulungan. Ia mafhum bila Jokowi menginginkan penggunaan dana desa untuk pariwisata.
Sebab, kata Manap, sektor pariwisata tergolong efektif menyumbang devisa lantaran lebih mudah menarik uang dari negara asing dibanding mekanisme ekspor maupun industri keuangan.
Namun demikian, ia menyarankan penggunaan dana desa sebaiknya tetap berfokus pada pengembangan infrastruktur dan kapasitas kelembagaan sebagaimana tujuan awal dana itu diperuntukkan.
Menurutnya, meski kedua target itu belum sepenuhnya tercapai, tapi kehadiran dana itu telah mampu menggerakkan perekonomian desa dan meminimalisir urbanisasi.
Sebaliknya, kata Manap, bila sebuah desa diarahkan untuk mengejar potensi wisata, maka harus diimbangi juga dengan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM). Belum lagi jika standar pariwisata yang dituju tidak lagi mengincar pasar domestik, tetapi juga internasional.
"Kalau dana itu dipakai buat pengembangan pariwisata, kan, sudah keluar dari titah awalnya. Tidak semua dana desa yang digunakan bagi pariwisata itu bisa meningkatkan ekonomi desa," kata Manap.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz