tirto.id - Pada Rabu (2/8/2017), tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di daerah Pamekasan, Jawa Timur yang berhasil menangkap Achmad Syafii, Bupati Kabupaten Pamekasan. OTT ini dilakukan terkait penggelapan dan penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) Kabupaten Pamekasan tahun Anggaran 2015 – 2016.
Kasus penyimpangan dana desa bukan yang pertama kali terjadi. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) telah menerima 932 pengaduan mengenai penyimpangan penggunaan dana ini.
Dana desa pada dasarnya diberikan oleh pemerintah pusat untuk memeratakan pembangunan antara desa dan kota sehingga tidak muncul kesenjangan. Untuk itu, diterbitkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Melalui UU ini, pemerintah desa memiliki kewenangan yang lebih besar untuk melakukan perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan keuangan desa dalam rangka pembangunan di desa.
Pembagian Dana Desa dilakukan berdasarkan Alokasi Dasar sebesar 90 persen dan 10 persen sisanya masuk dalam alokasi formula. Alokasi dasar merupakan unsur pemerataan pembangunan Desa dan Kota. Sedangkan, alokasi formula merupakan representasi unsur keadilan, di mana dalam menentukan nilanya digunakan pembobotan, yaitu 25 persen untuk jumlah penduduk, 35 persen untuk angka kemiskinan, 10 persen untuk luas wilayah, dan 30 persen untuk tingkat kesulitan geografis desa.
Formulasi ini dilakukan berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 22 Tahun 2015 dan terakhir kali dengan PP Nomor 8 Tahun 2016. Selanjutnya, secara teknis, pengalokasian Dana Desa diatur dalam PMK Nomor 49 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa.
Seperti dalam dasar penerbitan peraturannya, penggunaan dana desa ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar. Selain itu, dana desa juga digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Prioritasnya adalah untuk pembangunan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Tahun 2015 merupakan tahun pertama dialokasikannya Dana Desa pada APBN. Realisasi Dana Desa sampai dengan 31 Desember 2015 adalah sebesar Rp20.766,2 miliar dan realisasinya sebesar 100 persen dari pagu pada APBN-P yang ditetapkan di 2015.
Anggaran Dana Desa terbesar berada di pulau Jawa dengan nilai Rp6.513,21 miliar atau setara dengan 31,36 persen dari total dana desa. Dengan jumlah desa pada 2015 di Pulau Jawa yang terhitung sebanyak 25.011, maka rata-rata setiap desa mendapatkan dana sebesar Rp260,41 juta. Sedangkan, Bali dan Nusa Tenggara merupakan wilayah yang mendapatkan alokasi dana desa terkecil dengan nilai Rp1.300,01 miliar atau setara dengan 6,26 persen. Rata-rata, dengan jumlah desa di Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 5.127, maka pada 2015, setiap desa mendapatkan dana sebesar Rp253,56 juta.
Untuk daerah timur Indonesia, alokasi dana desa sebesar Rp2.507,63 miliar atau sebesar 12,08 persen terhadap total dana desa. Dengan jumlah desa yang berada di wilayah ini pada 2015 sebanyak 8.479 desa, maka rata-rata per desa mendapatkan dana sebesar Rp295,75 juta.
Pada 2016, realisasi Dana Desa adalah sebesar Rp46.679,3 miliar atau 99,36 persen dari jumlah anggaran yang ditetapkan dalam APBN-P TA 2016 sebesar Rp46.982,1 miliar. Dibandingkan 2015, realisasi Dana Desa 2016 meningkat sebesar 123,04 persen.
Pertumbuhan realisasi dana desa terbesar berada di wilayah Maluku dan Papua yang meningkat sebesar 127,22 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2016, dana desa yang disalurkan ke wilayah timur Indonesia ini sebesar Rp5.697,88 miliar. Dengan jumlah desa sebanyak 8.832 desa, maka rata-rata dana yang diterima per desa adalah Rp645,14 juta.
Sedangkan, pertumbuhan realisasi dana desa terendah berada di wilayah Sulawesi dengan hanya tumbuh sebesar 114,75 persen. Realisasi dana desa yang disalurkan untuk wilayah ini pada 2016 sebesar Rp5.102,93 miliar. Untuk realisasi dana yang diterima per desa, rata-rata sebesar Rp483,55 juta pada 2016.
Pada 2017, dana desa yang dianggarkan oleh pemerintah sebesar Rp60 triliun atau meningkat sebesar 27 persen dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. Melihat persebarannya, anggaran untuk dana desa terbesar tetap di pulau Jawa dengan nilai Rp18.649,59 miliar, menyusul berikutnya adalah Sumatera sebesar 17.997,27 miliar rupiah. Kenaikan anggaran terbesar ada pada Sulawesi dan Maluku sebesar 34,09 persen dan Papua sebesar 31,23 persen dari tahun sebelumnya.
Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, terlihat anggaran Dana Desa terus mengalami peningkatan. Peningkatan anggaran dan realisasi ini sesuai dengan arah kebijakan pemerintah berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam UU tersebut disebutkan pemerintah secara bertahap akan meningkatkan alokasi dana desa dan pada 2017 ditargetkan alokasi Dana Desa mencapai 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. Peningkatan dana desa ini juga menjadi indikasi komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan desentralisasi di Indonesia
Namun, selain proporsinya yang masih terpusat di Pulau Jawa, dana desa juga rawan diselewengkan. Berdasarkan hasil kajian yang lakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), fenomena korupsi di daerah semakin luas setelah pemerintah pusat mengimplementasikan alokasi dana desa. Berdasarkan laporan ICW tersebut, pada 2016, dana desa masuk dalam lima besar sektor yang dikorupsi.
Meskipun komitmen pemerintah terlihat besar untuk mengurangi ketimpangan kesejahteraan, khususnya antara masyarakat desa dan kota, akan tetapi penyelewengan tak dapat dihindari. Hal ini tak lepas dari rendahnya pengawasan mulai dari alokasi, penyaluran hingga pemanfaatan dana desa. Pemerintah Pusat sudah harus memperhatikan tata kelola mulai dari satuan terkecil, mulai dari peningkatan kompetensi kepala desa hingga kemampuan pengawasan masyarakatnya.
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti