tirto.id - Jumlah utang pemerintah di era kepemimpinan Joko Widodo mengalami lonjakan cukup signifikan. Data APBN KiTa yang dirilis Kementerian Keuangan, pada Selasa, 22 Januari menunjukkan, total utang pemerintah hingga Desember 2018 berada di angka Rp4.418,3 triliun.
Sementara pada periode yang sama pada 2014, posisi utang Indonesia berada di angka Rp2.608,7 triliun. Artinya, dalam 4 tahun terakhir, sejak 2014 hingga 2018, utang Indonesia bertambah hingga Rp1.809,6 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan utang bukan sesuatu yang dilarang. Sebab, kata Sri Mulyani, selama ini pemerintah menggunakannya demi percepatan pembangunan.
Apalagi, kata Sri Mulyani, pemerintah telah mengelolannya dengan baik sesuai kaidah peraturan perundang-undangan. Baik dari sisi risiko maupun rasio utang terhadap PDB yang saat ini masih berada di angka 30 persen.
Sri Mulyani pun meminta masyarakat untuk percaya pada pemerintah karena pengelolaan utang selama ini telah dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
“Utang itu tidak najis,” kata dia, di Hotel Shangri-la, Jakarta Pusat, Rabu lalu.
Saat ini, kata Sri Mulyani, utang juga memang harus dilakukan lantaran pemerintah tidak mungkin mengurangi anggaran jaminan sosial demi pembiayaan. Dengan demikian, kata dia, infrastruktur dapat memanfaatkan utang sebagai alternatif pembiayaan.
Pernyataan Sri Mulyani cukup beralasan. Selama pemerintahan Jokowi, utang memang bertambah sekitar Rp1.809 triliun, tetapi indikator utang Indonesia masih menunjukkan sisi positif.
Misalnya, rasio hutang terhadap PDB berada di angka 29,98 persen dari Rp 14.735,85 triliun. Selain itu, sesuai UU yang berlaku, defisit anggaran pemerintah saat ini juga masih berada di bawah angka 3 persen.
Direktur Riset Center Of Reform on Ecnomic (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan angka-angka itu menunjukkan saat ini pemerintah memang telah mengelola utangnya dengan hati-hati.
Menurut Piter, kendati jumlah itu kini mencapai sekitar Rp4.400 triliun, tapi Indonesia masih sanggup membayarnya. Lagi pula, kata Piter, dari keseluruhan jumlah yang diekspose kepada masyarakat, belum tentu semuanya harus dibayar saat itu juga.
Ia mencontohkan saat ini utang dengan jatuh tempo terdekat saja berada di kisaran 8,6 miliar dolar AS. Nilai itu, kata Piter, jauh di bawah cadangan devisa yang saat ini jumlahnya mencapai 100 miliar dolar AS.
“Kita masih sangat mampu membayar. Dibandingkan jumlah kekayaan, utang kita masih relatif aman. Kan, enggak harus dibayar saat itu juga,” kata Piter.
Menurut Piter, angka itu juga menandakan pemerintah masih memiliki ruang bila perlu menambah utang hingga separuh dari angka maksimum 60 persen rasio terhadap PDB.
“Ruang kita untuk [tambah] utang masih cukup besar. Itu rasio aman untuk utang masih 60 persen dari PDB,” kata Piter.
Namun demikian, peneliti dari Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap mengatakan utang yang dilakoni pemerintah masih perlu disokong dengan jaminan penerimaan negara yang wajar.
Manap menyoroti pendapatan pajak yang seringkali tidak mencapai target.
Meskipun pada 2018 realisasi penerimaan negara diklaim pemerintah mencapai target, tapi Manap menilai hal itu lebih dipengaruhi oleh lonjakan harga minyak dunia. Padahal saat harga komoditas itu turun, akan tampak bila performa pajak mengalami shortfall yang cukup signifikan.
Pada 2018, misalnya, penerimaan pajak baru mencapai Rp1.315,9 triliun setara 92,4 persen dari target Rp1.424 triliun. Penyebabnya capain pajak non-migas hanya sebesar 90,3 persen atau Rp1.251,2 triliun dari target APBN senilai Rp1.385,9 triliun.
“Walaupun masih 30 persen dari PDB, saya pikir dengan kondisi penerimaan negara tidak bagus-bagus juga, kita tidak bisa jor-joran ngutang. Sistem pendapatan dan perpajakkan kita tidak terjamin,” kata Manap.
Jika hal ini tidak ditangani dengan baik, Manap mengkhawatirkan keseimbangan primer dapat berada di kondisi negatif.
Dalam kondisi itu, kata Manap, pemerintah mau tidak mau harus terus menambal kekurangannya dengan utang guna memenuhi belanja. Seperti menerbitkan surat utang negara (SUN) dan surat berharga negara (SBN) di akhir tahun untuk pembiayaan pada periode berikutnya.
Akibatnya, kata Manap, anggaran yang dimiliki pemerintah tidak dapat digunakan untuk belanja produktif, seperti infrastruktur.
Sebab, semakin banyak kebutuhan anggaran yang harus ditutupi dengan utang, maka bunga yang dihasilkan kemudian akan menjadi beban yang harus dibayarkan sewaktu-waktu.
Dengan demikian, kata Manap, semakin besar juga porsi anggaran yang tergerus oleh kewajiban pelunasan utang.
“Berutang tidak haram ya. Memang beberapa negara menggunakan utang itu untuk pertumbuhan ekonomi. Tapi harus diikuti pendapatan yang wajar agar tidak tekor,” kata Manap.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz