tirto.id - Pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno resmi mengajukan gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi, Jumat (24/5/2019) malam. Selain menggugat hasil pemilu dari segi kuantitatif, yakni berdasarkan perolehan suara hasil rekapitulasi yang ditetapkan KPU, kubu Prabowo-Sandi juga menggugat dari aspek kualitatifnya.
Salah satu yang dimasukkan dalam gugatan aspek kualitatif adalah dugaan ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) dan TNI-Polri pada Pemilu 2019. Mereka menganggap kecurangan-kecurangan ini terjadi secara sistematis, terstruktur dan masif (STM).
“Kami berpandangan kalau terkait dengan pemilihan presiden, yang merupakam pejabat negara terpenting dalam republik, maka makna pelanggaran STM harus diperluas dan tidak hanya untuk persoalan politik uang, namun berbagai abuse of power yang melanggar prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilu, yang sekali lagi digariskan dalam pasal 22E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945,” demikian yang tertulis dalam isi gugatan.
Kubu Prabowo-Sandi menyoroti soal ketidaknetralan polisi dan intelijen dalam Pemilu 2019 ini. Mereka memasukkan contoh-contoh kasus, seperti pengakuan Kapolsek Pasirwangi, Kabupaten Garut AKP Sulman Azis yang mengklaim diperintahkan atasannya Kapolres Garut untuk menggalang dukungan untuk paslon petahanan, Joko Widodo-Ma'ruf Amin di wilayah tersebut.
Argumentasi BPN Prabowo-Sandi dalam laporannya ke MK, yakni ketidaknetralan Polri dan BIN secara langsung atau tidak langsung telah menjadi bagian dari 'tim pemenangan' Jokowi-Ma'ruf. Bagi kubu Prabowo-Sandi, mereka tak hanya berkompetisi melawan Jokowi sebagai petahana, tetapi juga melawan Polri dan BIN yang dianggapnya berada di belakang barisan paslon nomor urut 01.
“Hal demikian melanggar prinsip pemilu yang jujur dan adil, dan merupakan pelanggaran dan kecurangan yang harus dinyatakan sistematis, terstruktur dan masif (STM),” tulis kubu Prabowo-Sandi dalam laporannya di halaman 19.
Tak hanya aparat kepolisian, BPN Prabowo-Sandi juga menyertakan dugaan kecurangan yang dilakukan ASN dan BUMN yang terjadi secara sistematis, terstruktur dan masif (STM). Contoh-contoh kasus juga mereka sertakan, dan kebanyakan pelanggaran ini dilakukan saat sebelum pencoblosan, 17 April 2019.
Kasus-kasus seperti ini seharusnya mereka sampaikan gugatan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI yang berwenang mengurusi perkara terkait dengan tahapan proses Pemilu, bukan ke MK yang ranah wewenangnya lebih kepada soal hasil Pemilu.
Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade saat dikonfirmasi reporter Tirto mengatakan kasus-kasus ini sengaja mereka masukkan demi membuktikan klaim mereka bahwa telah terjadi kecurangan secara STM. Padahal, mereka sudah seringkali membawa permasalah seperti ini ke Bawaslu, tapi hasil putusannya tak memuaskan kubu 02.
Untuk itulah, kata Andre, MK menjadi pertempuran terakhir mereka demi Prabowo-Sandi bisa menang Pilpres 2019. “MK ini adalah kalau istilahnya Avengers itu end of game. Nah, ini pertempuran akhir, last battle. Nah, di sinilah seluruh sumber daya yang ada harus kami kedepankan,” kata Andre, Senin (27/5/2019).
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan sesuai permintaan banyak pihak, kubu Prabowo-Sandi memililih jalur konstitusional ini untuk membuktikan kecurangan-kecurangan tersebut.
“Publik tak usah khawatir, kami komitmen ambil langkah ini, enggak usah ada kekhawatiran bagi masyarakat. Bagi yang memiliki data kecurangan silakan kirim, pertempuran kita ada di MK, kami pilih pertempuran konstitusional bukan pertempuran di jalan,” kata Andre.
Sebaliknya, bagi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf menilai dalil-dalil yang disertakan kubu Prabowo-Sandiaga tanpa ada bukti dan hanya semata untuk membangun narasi-narasi telah dicurangi pada Pilpres 2019.
“[Paslon] 02 hanya hendak membentuk opini atau propaganda saja seolah pemilu curang, tanpa ada bukti,” ujar Direktur Komunikasi Politik TKN Jokowi-Ma'ruf, Usman Kansong saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Sementara itu, soal netralitas aparatur penyelenggara negara yang turut dimasukkan ke dalam laporan gugatan BPN ke MK ditanggapi santai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
Respons Kemenpan RB
Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik (HKIP) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) Mudzakir mengatakan tak jadi soal bila masalah netralitas ASN dimasukkan ke dalam pelanggaran yang sistematis, terstruktur dan masif oleh BPN.
"Merupakan hak BPN untuk memasukkan netralitas ASN sebagai materi gugatan," jelas Mudzakir kepada reporter Tirto, Senin (27/5/2019).
Soal netralitas ASN dalam Pemilu 2019, Menpan RB Syafruddin sejatinya telah mengingatkan sejak jauh hari sebelum pencoblosan bahkan setelah pencoblosan juga ia tetap mengingatkannya agar para ASN tak terlibat langsung dalam hiruk pikuk Pemilu 2019.
"ASN jangan ikutan dalam hiruk pikuk dan opini politik yang masih berlangsung. ASN itu petugas pelayan rakyat, itu tugas utamannya," ujar Syafruddin di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (18/4/2019) lalu.
Perlu Pembuktian
Peneliti senior di Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiyansyah menilai sah-sah saja kubu Prabowo-Sandiaga memasukkan data-data kualitatif itu dilakukan, asalkan harus disertai bukti-bukti yang kuat di persidangan nanti.
“Tentu harus ada bukti yang cukup kuat, yaitu betul-betul ada ASN atau TNI-Polri yang ditersangkakan melakukan tindakan sistematis, terstruktur dan masif," jelas Ferry kepada reporter Tirto.
Menurut Ferry, ASN dan Polri/TNI memang memiliki kecenderungan masing-masing dalam hatinya terhadap calon tertentu. Namun, tentu saja soal pilihan ini hanya mereka yang tahu, dan khusus ASN bisa disalurkan saat pencoblosan.
“Harus ada pembuktian yang kuat karena mekanismenya seperti apa diindikasikannya, harus ditunjang dengan bukti-bukti yang kuat,” jelas Ferry.
Namun, mantan Komisioner KPU RI itu mengatakan dirinya tak bisa menilai apakah dalil-dalil yamg diajukan ini bakal mengubah hasil Pemilu atau tidak. Hal ini karena menjadi wewenang penuh hakim konstitusi dan tak dapat diintervensi.
Karena itu, kata Ferry, BPN harus bisa membuktikan kecuramgan-kecurangan ini dengan bukti-bukti yang kuat.
“Harus ditunjang bukti-bukti kuat tak hanya sekedar asumsi maupun opini saja,” kata dia.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz