tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) hanya menerima permohonan sengketa hasil pemilu jika selisih suara yang disengketakan akan mengubah hasil akhir. Dalam konteks Pilpres 2019, tim Prabowo Subianto-Sandiaga Uno harus membuktikan bahwa setengah plus satu dari 16,9 juta suara mestinya jadi milik mereka.
Angka 16,9 juta adalah selisih suara Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandi. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi-Ma'ruf (paslon nomor urut 01) memperoleh suara 85.607.362 atau sekitar 55,50 persen, sementara perolehan Prabowo-Sandiaga (02) 68.650.239 suara.
Namun tim hukum Prabowo-Sandi untuk sengketa pemilu di MK, yang diketuai pengacara senior Bambang Widjojanto, mengatakan MK semestinya tidak memutus hasil pemilu berdasarkan hitung-hitungan suara saja. MK, kata mereka, harus lebih dari itu.
Jika MK hanya menentukan pemenang pemilu berdasarkan benar atau salahnya rekapitulasi suara, kata mereka dalam dokumen gugatan yang dipegang Tirto, itu sama saja membuat MK jadi "Mahkamah Kalkulator." (hlm. 9).
"Pembatasan Mahkamah hanya dalam kerja teknis penghitungan demikian adalah pelecehan atas tugas konstitusional MK yang jelas-jelas merupakan pengawal konstitusi, yang artinya harus menjaga terselenggaranya hasil pemilu yang jujur dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi." (hlm. 9).
"Adalah bertentangan dengan konstitusi, jika Mahkamah hanya menghitung suara, dan tetap memenangkan suatu pasangan capres dan cawapres, meskipun kemenangan suara pasangan tersebut nyata-nyata adalah hasil dari kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif." (hlm. 10).
Tim hukum Prabowo-Sandi lantas mengutip putusan MK untuk Pemilukada Jawa Timur tahun 2008. Ketika itu MK memerintahkan pemungutan suara ulang atas wilayah yang terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (disingkat TSM). Menurut tim hukum, putusan serupa harus diberlakukan di Pilpres 2019.
"Penting bagi MK untuk terus menjaga konsistensi putusannya dengan menerapkannya juga dalam perkara ini." (hlm. 13).
Akal-akalan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan untuk membalikkan hasil akhir, tim Prabowo wajib membawa alat bukti sekurang-kurangnya formulir C1 dari 100 ribu TPS, yang masing-masing membuktikan ada 100 kecurangan.
Berkaca dari pengalaman 2014, tim Prabowo tampaknya sulit membuktikan itu, kata Feri. Lima tahun lalu Jokowi-Jusuf Kalla unggul atas Prabowo-Hatta Rajasa dengan selisih kira-kira 7,5 juta suara alias hanya setengah dari selisih tahun ini. Saat itu Prabowo pun menggugat ke MK, dan kalah karena bukti kurang.
Pada gugatan tahun 2014, tim Prabowo bilang mereka menemukan kecurangan di 52 ribu TPS. Namun saat sidang di MK, yang dibawa hanya beberapa boks saja (mereka pernah bilang akan membawa bukti sebanyak 10 truk kontainer, tapi belakangan direvisi dengan bilang "kotak kontainer, bukan truk kontainer").
Bagi Feri, argumen "Mahkamah Kalkulator" di atas mesti dibaca dalam konteks sulitnya mengumpulkan bukti ini.
"Strateginya mungkin mau mengalihkan perhatian seolah-olah nanti kalau diputuskan mereka kalah, itu karena MK mahkamah kalkulator, padahal mereka sendiri punya kelemahan dalam mendalilkan soal TSM," kata Feri kepada reporter Tirto, Senin (27/5/2019). "Jadi semacam pengalihan isu saja," tambahnya.
Saat mengajukan permohonan sengketa ke MK pada 25 Mei lalu, tim hukum Prabowo mengajukan 51 berkas alat bukti—yang akan dilengkapi kemudian—untuk meyakinkan hakim bahwa memang ada kecurangan pemilu yang sifatnya TSM. Di antara yang mereka lampirkan adalah tautan-tautan dari situs berita media daring.
Feri bilang bukti-bukti itu tidak kuat sama sekali.
"Bagaimana bisa menang kalau alat buktinya tidak kuat. Lalu karena hakim memutus beda lalu mereka menuduh saja bahwa hakimnya bermasalah. Dari awal sudah dibangun skenario itu. Itu tidak dibenarkan," tambah Feri.
Pengajar komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, juga menduga hal serupa. Dia bilang tim Prabowo "out of context", terlalu banyak bicara selain substansi permohonan, karena memang mereka sebetulnya tidak siap menggugat apalagi membuktikan kecurangan yang mencapai hampir 17 juta suara.
"Makanya untuk menutupi kelemahan itu mereka serang MK kanan-kiri," kata Adi kepada reporter Tirto.
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Andre Rosiade menjawab tudingan-tudingan itu dengan narasi yang kira-kira mirip seperti dalam dokumen permohonan. Dia bilang ingin MK menetapkan keputusan tak cuma dari hitung-hitungan suara, tapi benar-benar berdasarkan asas jujur dan adil.
"Kami bilang ke MK jangan jadi Mahkamah Kalkulator, jadilah mahkamah yang benar-benar menjadikan pemilu dengan semangat jurdil sekaligus agar MK memperbaiki pemilu ke depan, jangan hanya bicara kuantitatif, tapi bicara kualitatif juga," katanya kepada reporter Tirto.
Terkait dengan bukti yang oleh para pengamat disebut sangat kurang, Andre bilang akan melengkapinya.
"Hak mereka berpendapat. Tapi nanti kami buktikan dengan bukti. Tentu bukti-bukti itu enggak kami ungkap sekarang. Sekarang, aja, bocor dokumen ini [dokumen gugatan]," tambahnya.
Penulis: Rio Apinino