tirto.id - Merunut akar sejarahnya, masyarakat Jawa sebenarnya bukan komunitas yang memiliki dasar keislaman kuat. Selama ratusan tahun, paling tidak sepanjang abad ke-8 hingga 15, Jawa berada di bawah sistem kekuasaan dan tradisi Hindu-Buddha. Pada kurun itu tradisi Islam masih sulit ditemui dalam keseharian orang-orang Jawa.
Sejarawan Merle Calvin Ricklefs menyebut perkembangan Islam di Jawa tidak pernah terdokumentasikan dengan baik. Kisah Walisanga, misalnya, lebih banyak diselubungi mitos dan legenda yang sulit dilacak. Dalam Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang (2013), Ricklefs hanya menunjuk adanya kepelikan yang mewarnai Islamisasi di Jawa sekitar abad ke-14 sampai 16 (hlm. 29-30).
Saat Kerajaan Mataram Islam berada di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), ada upaya mensintesiskan ajaran Islam, terutama dimensi tasawufnya, dengan mistisisme Jawa yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha. Sultan Agung sendiri dikisahkan dekat dengan roh-roh suci dan menguasai ilmu magis rahasia. Dan di saat bersamaan ia juga digambarkan gemar berziarah ke Makkah, bersedekah, dan pergi berjihad.
Dalam bukunya yang lain, Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, C. 1830-1930 (2007), Ricklefs menyebut praktik kejawen di masa Sultan Agung diperbolehkan asal memperhatikan hukum-hukum Islam. Pada beberapa bagian, aktivitas kejawen harus tetap dilakukan bersamaan dengan Rukun Islam sebagaimana dituturkan dalam serat dan suluk yang ditulis di lingkungan keraton sejak abad ke-18 (hlm. 32-33).
Naik Haji dan Status Sosial
Sejak abad ke-18 Islam sudah tidak lagi dimonopoli kalangan keraton. Ajaran agama ini berhasil menjebol tembok istana dan menyebar di kalangan rakyat meskipun masih terbatas. Ricklefs mengutip laporan Residen Gresik Cornets de Groot tahun 1822 yang menyebut bahwa masyarakat Gresik dari semua kelas sudah melaksanakan Rukun Islam.
Laporan dari Gresik ini cukup kontras dibandingkan laporan yang datang dari Surakarta tahun 1824. Sebagaimana dikutip Ricklefs dari laporan J.W. Winters, orang Jawa di kota-kota kerajaan sangat suka menggabungkan wawasan keagamaan dan takhayul. Hal ini, menurut simpulan Ricklefs, mengarahkan kepada sikap sintesis mistik yang pernah dipraktikkan Sultan Agung.
Sintesis mistik lambat laun diwarnai ekspresi simbolis berupa kemunculan tokoh yang dipercaya memiliki ilmu kebatinan tinggi. Kepercayaan ini lantas bercampur dengan prinsip dan praktik keagamaan orang Jawa yang belum disiplin. Salah satu akibatnya adalah muncul anggapan bahwa haji merupakan suatu posisi agung, selayaknya para sultan atau Walisanga.
“Peziarahan ke Mekkah seringkali dijalankan oleh masyarakat Jawa, dan semua pengikut Muhammad lainnya, bukan terutama karena alasan kesalehan, tetapi demi posisi sosial dan beragam kemudahan yang didapat oleh mereka yang telah melakukan peziarahan tersebut di antara masyarakat yang masih sederhana dan tidak terpelajar,” kritik John Crawfurd, diplomat Inggris yang bertugas di Jawa sekitar abad ke-19.
Sebagaimana penuturan Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007), sejak pertengahan abad ke-19 perjalanan haji mengalami perkembangan pesat. Salah satu penyebabnya adalah kemunculan para syekh yang tak hanya memotivasi orang-orang agar berangkat haji tapi juga mengakomodasi perjalanan para jemaah (hlm. 126-127).
Putuhena juga mencatat setiap tahun orang yang melakukan perjalanan haji rata-rata berjumlah sekitar 2.500. Rombongan ini berasal dari Jawa dan Madura. Meskipun tidak dirinci, persentase jemaah haji asal Jawa disebutkan mengungguli mereka yang berasal dari Madura atau Sumatra.
Orang yang telah menunaikan ibadah haji dipandang memiliki status sosial yang cukup tinggi. Tapi tidak semua rakyat Jawa bisa pergi berhaji. Tingginya pajak haji yang dikenakan pemerintah kolonial malah menimbulkan ironi, karena peningkatan jumlah orang yang memaksakan diri pergi berhaji di awal abad ke-19 berpotensi menambah jumlah rakyat miskin. Orang-orang itu cenderung menghabiskan hartanya selama di Makkah.
Ramai-Ramai Belajar Tasawuf
Sementara itu, pada akhir abad ke-19, ajaran tasawuf semakin populer di kalangan orang-orang Islam di Jawa. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya yang diterbitkan dengan judul The Peasants’ Revolt of Banten in 1888 (1966), keresahan sosial dan ambruknya tatanan tradisional masyarakat Jawa berperan mendorong peningkatan kegiatan keagamaan (hlm. 140).
Masuknya ajaran Kristen ke dalam kebudayaan Jawa yang dibawa gelombang besar kedatangan orang-orang Eropa pada pertengahan abad ke-19 disebutkan telah membangkitkan sikap anti-Barat. Keadaan ini kemudian menimbulkan frustrasi dan keresahan di kalangan elite, khususnya para bupati dan pemuka agama.
Pada 1850 Penasihat Kehormatan Urusan Pribumi K. F. Holle mencatat para bupati yang mulai tegas mengatur ketaatan ibadah rakyat mereka. Dalam suratnya kepada gubernur jenderal, Holle juga melaporkan kegiatan keagamaan yang umum dikampanyekan para bupati meliputi khotbah, mengumpulkan kas masjid, dan membahas pokok ajaran Islam.
Di beberapa wilayah di Pulau Jawa, seperti dideskripsikan Sartono, serempak menunjukkan peningkatan yang menonjol dalam kegiatan agama. Para haji dan elite agama berbondong-bondong memberikan pendidikan Islam tradisional kepada anak-anak muda. Persekutuan penganut tasawuf menjamur bersamaan dengan khotbah-khotbah keagamaan yang berkumandang di seantero tanah Jawa.
Sekitar 1880-an Jawa seketika diguncang kebangkitan beragama. Desa-desa semakin ramai mendirikan musala atau masjid dan memilih imamnya masing-masing untuk memimpin umat yang kian berkembang pesat.
Di beberapa wilayah Jawa dan Madura juga mulai banyak didirikan pesantren. Sejak 1860-an mereka yang tertarik untuk nyantri jumlahnya mencapai ratusan orang. Pesantren-pesantren tersebut umumnya menyerap tenaga guru dari kalangan haji yang lama bermukim di Makkah. Menurut Ricklefs, inilah yang menyebabkan ajaran-ajaran yang diberikan bersifat lebih ortodoks.
Ricklefs tak ketinggalan memaparkan bahwa gerakan "reformasi Islamik" di Jawa berkaitan dengan kemunculan kelas menengah baru. Para petani dengan giat memperkuat kemampuan finansial agar dapat mengirimkan anak-anak mereka belajar di pesantren. Ada pula yang pergi berhaji dari hasil upah bekerja di perkebunan kelapa sawit dan tembakau rakyat
Para haji dari kalangan kelas menengah baru ini juga dikenal suka membawa pulang jaringan bisnis dengan komunitas-komunitas Arab. Hal ini, lanjut Ricklefs, menjadi kanal baru untuk menyebarkan gagasan pemurnian ajaran Islam di tanah Jawa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan