tirto.id - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tampak duduk berdampingan dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (6/2/2017). Dalam gambar yang diabadikan pewarta foto Antara itu, keduanya sempat mengobrol dan saling lempar senyuman.
Namun, kemudian, Gatot menyatakan kekecewaan terkait kewenangannya yang terpangkas oleh Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 28 tahun 2015 yang ditandatangani Ryamizard,16 Desember 2015 silam. Regulasi tersebut menurut Gatot telah mengebiri kewenangannya sebagai Panglima TNI.
“[...] begitu muncul Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 28 tahun 2015, kewenangan saya tidak ada. Sekarang tidak ada,” ujarnya saat raker yang membahas evaluasi realisasi program kerja Kemenhan dan TNI tahun 2016, rencana program kerja Kemenhan/TNI tahun 2017 dan isu-isu terkini bidang pertahanan.
Akibatnya, dalam bidang operasional serta rencana keuangan, Panglima TNI tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengendalikan TNI AD, TNI AL, TNI AU, karena anggaran langsung didistribusikan oleh Kemenhan. Padahal menurut Gatot, berdasar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, masing-masing dari mereka merupakan kesatuan yang membangun TNI.
Permenhan No. 28 tahun 2015 ini juga berdampak buruk pada ketimpangan aliran dana antara Mabes TNI dengan TNI AD, AL, dan AU. Ia sangat menyayangkan karena hal tersebut mempersulit pertanggungjawaban Panglima TNI dalam pengendalian terhadap tujuan dan sasaran penggunaan anggaran TNI.
Salah satu contohnya adalah soal pembelian helikopter AW 101 yang menuai polemik. Dalam konteks ini, baik Gatot maupun Menhan Ryamizard sama-sama melempar tanggung jawab soal pembelian helikopter tersebut.
Gatot mengaku bahwa dirinya tidak tahu-menahu tentang pembelian helikopter AW 101 itu. Menurut dia, pembelian tersebut langsung melalui Menhan, tanpa sepengetahuan Mabes TNI. “Kita pernah mengalami bagaimana helikopter AW 101, sama sekali saya tidak tahu. Mohon maaf kalau kurang berkenan, tapi ini yang bisa kami sampaikan,” kata Gatot Nurmantyo.
Sementara Ryamizard juga mengaku tidak mengetahui soal pembelian AW 101. “Begini, itu dulu pesawat kepresidenan. Pesawat Presiden itu melalui Setneg. Uangnya dari Setneg. Jadi Menteri Pertahanan enggak tahu apa-apa. Dia [Gatot Nurmantyo] enggak tahu apa-apa,” ujarnya berdalih.
Pernyataan Menhan bertolak belakang dengan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Menurutnya, anggaran yang digunakan untuk pembelian AW 101 berasal dari anggaran TNI AU yang pencairannya melalui dukungan administrasi Kemenhan.
“Untuk pengadaan AW 101, Kementerian Pertahanan pun pada waktu itu kan hanya dikhususkan untuk pesawat VVIP. Jadi Kementerian Pertahanan tidak tahu kalau akan diadakan untuk pesawat angkut. Oleh sebab itu, saya membentuk tim investigasi ke dalam internal Angkatan Udara adalah untuk melihat proses perencanaan sampai dengan pengadaan bagaimana,” kata Hadi, di lingkungan Istana Presiden Jakarta, Selasa (7/2/2017).
TNI di Bawah Koordinasi Kemenhan
Terlepas dari kontroversi soal pembelian AW 101 di atas, curhat Gatot tentang kewenangannya yang terpangkas oleh Permenhan No. 28 tahun 2015 menyisakan pertanyaan. Apalagi Gatot sempat merujuk pada UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Secara hierarkis, perundang-undangan lebih tinggi daripada peraturan menteri.
Ada beberapa catatan penting yang bisa digarisbawahi. Secara kedudukan, UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI membedakan kedudukan TNI sebagai garis komando yang berada langsung di bawah Presiden, dengan kedudukan TNI secara administratif yang berada dalam koordinasi Kemenhan.
Dalam konteks ini, pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden, serta tanggung jawab penggunaan TNI berada pada Panglima TNI. Namun, dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Kemenhan.
Dalam kasus pembelian helikopter AW 101, pengajuan anggarannya dilakukan oleh TNI AU yang pencairannya melalui dukungan administrasi Kemenhan. Artinya, UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI secara tersurat mengatur soal pembiayaan TNI yang berasal dari APBN. Dan keperluan anggaran ini diajukan oleh Kemenhan.
“Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai seluruhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” begitulah bunyi Pasal 67 ayat (1) UU No. 34 tahun 2004.
Dalam pemenuhan anggaran operasi militer yang bersifat mendesak pun, Panglima TNI mesti mengajukan anggaran kepada Menhan untuk dibiayai dari anggaran “kontijensi” yang bersumber dari APBN.
Sementara, dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan, TNI berperan sebagai alat pertahanan negara. Melihat ketentuan regulasi yang ada, secara hierarki perundang-undangan, Permenhan No. 28 tahun 2015 tidak bertentangan dengan perundang-undangan, khususnya UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
UU ini sesuai dengan cita-cita supremasi sipil, yang secara administratif memosisikan TNI di bawah pemerintahan sipil melalui Kemenhan. Hanya saja, dalam praktiknya, prinsip transparansi dan akuntabilitas yang tersurat dalam Pasal 68 ayat (3) UU TNI itu tidak menjadi prioritas. Itulah yang membuat kasus pembelian helikopter AW 101 masih terjadi.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani