Menuju konten utama

Panglima TNI dan Menhan Saling Bantah Soal Pembelian AW 101

Panglima TNI dan Menhan tidak dalam satu komando dalam persoalan pembelian helikopter AW 101. Sebagai Panglima TNI, Gatot merasa tak dilibatkan dalam pembelian ini. Tapi Menhan berlindung di balik Permenhan No 28 tahun 2015 yang menyebutkan TNI AU berhak mengajukan usulan anggaran kepada Menhan tanpa sepengetahuan Panglima TNI.

Panglima TNI dan Menhan Saling Bantah Soal Pembelian AW 101
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu (kiri) berbincang dengan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kedua kiri), KSAD Jenderal Mulyono (tengah), KSAL Laksamana Ade Supandi (kedua kanan), dan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto (kanan) sebelum mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/2). Raker tersebut membahas evaluasi realisasi program kerja Kemenhan dan TNI tahun 2016, rencana program kerja Kemenhan/TNI tahun 2017 dan isu-isu terkini bidang pertahanan. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI berkaitan dengan anggaran pembelian helikopter Agusta Westland 101di Ruang Rapat Komisi I DPR di Gedung Nusantara II, Senin (6/2/2017) berjalan alot.

Menhan, Ryamizard Ryacudu meminta rapat yang tadinya diadakan secara terbuka menjadi tertutup. Hal ini diucapkan Ryamizard lantaran Gatot Nurmantyo selaku Panglima TNI menyinggung masalah pembelian helikopter Agusta Westland 101.

“Kita pernah mengalami bagaimana helikopter AW 101, sama sekali saya tidak tahu. Mohon maaf kalau kurang berkenan, tapi ini yang bisa kami sampaikan,” ujar Gatot Nurmantyo, di gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2/2017).

Menanggapi pernyataan Panglima TNI, anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon segera meminta penjelasan dari Menhan untuk menerangkan tentang perubahan yang terjadi pada pembelian helikopter AW 101. Alasannya, pembelian helikopter tersebut sudah dibatalkan oleh Presiden Jokowi dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Menanggapi hal tersebut, Ryamizard Ryacudu selaku Menhan langsung meminta rapat dilakukan secara tertutup.

“Mohon maaf pimpinan, saya kira bicara tertutup saja sidangnya. Tidak enak. Kalau tertutup, bisa buka-bukaan,” ujar Ryamizard.

Seusai rapat tertutup, Gatot Nurmantyo menyampaikan bahwa dirinya memang tidak tahu-menahu tentang pembelian helikopter AW 101 tersebut. Ia mengaku heran dengan apa yang sudah terjadi. Oleh sebab itu, ia mengirimkan tim investigasi untuk mengkonfirmasi kasus tersebut.

“Masih belum (selesai penyelidikan). Di investigasi saya masih berjalan, dengan ketelitian dan kehati-hatian, sehingga begitu diputuskan, sudah benar itu. ‘Kan harus dilihat prosedurnya, benar atau tidak, terus harus dilihat sudut pembayarannya. Apakah mendahulukan uji atau sebagainya itu, dan apakah alat itu benar-benar baru atau bekas yang lama,” paparnya.

Ia mengakui bahwa pembelian tersebut terjadi langsung melalui Menhan dan tanpa sepengetahuan TNI. Namun, dia tidak menduga lebih jauh terkait apa yang terjadi sehingga pembelian tersebut tetap berlanjut, meski Presiden Joko Widodo juga sudah menyatakan pembatalan pembelian helikopter.

“Yang jelas saya sudah buat surat, sudah menginformasikan itu dilarang oleh Presiden. Itu aja,” pungkasnya.

Ditemui terpisah, Menhan Ryamizard Ryacudu juga mengaku tidak tahu soal pembelian AW 101."Begini, itu dulu pesawat kepresidenan. Pesawat Presiden itu melalui Setneg. Uangnya dari Setneg. Jadi Menteri Pertahanan ga tahu apa-apa. Dia (Gatot Nurmantyo) ga tahu apa-apa," dalihnya.

Permenhan No 28 tahun 2015 dan Pembelian Heli AW 101

Menurut Gatot pangkal masalah pembelian AW 101 terletak pada Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 28 tahun 2015 yang diteken Ryamizard pada 16 Desember 2015. Akibat peraturan tersebut, kewenangan Panglima TNI dalam membuat rencana anggaran menjadi terbatas. Markas Besar TNI hanya bisa menyusun anggaran untuk Mabes TNI. Sedangkan TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara bisa mengajukan secara mandiri ke Kementerian Pertahanan.

"Tidak melalui Panglima TNI dan ini merupakan pelanggaran hierarki karena kami tidak melalui angkatan dan kami hanya menjelaskan belanja barang markas besar TNI dengan jajaran operasional saja," ujar Jenderal Gatot.

Dengan adanya Permenhan Nomor 28 Tahun 2015 ini, maka masing-masing TNI AD, AL, dan AU dapat membuat anggaran belanja sendiri.

Sementara itu, Andreas Pareira selaku anggota Komisi I dari fraksi PDIP menyatakan bahwa dengan adanya peraturan ini, angkatan/matra juga dapat langsung melakukan pembelian atas persetujuan Menhan, tanpa sepengetahuan Panglima TNI terlebih dahulu.

Hal ini, kata Andreas, tentunya bertentangan dengan pasal 15 Undang-undang tahun 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia seputar Tugas dan Kewajiban Panglima TNI yang salah satunya mengatur tentang hak Panglima TNI memimpin TNI.

Ia juga menegaskan bahwa peraturan yang baru dibuat ini bisa menjadi tidak sejalan dengan RENSTRA (Rencana Strategi) pemerintah karena kurangnya sinkronisasi antara TNI dengan Menhan.

Menurutnya, Menhan dengan Panglima TNI seharusnya mengadakan pembicaraan terlebih dahulu terkait dengan hal ini. Namun, begitu ditanya mengenai bagus tidaknya peraturan menteri Nomor 28 ini, ia tidak berani menghakimi.

“Apakah itu menjadi lebih baik atau ngga, saya belum tahu,” paparnya seusai rapat kerja.

Andreas Pareira kembali menambahkan bahwa pembelian helikopter AU 101 sebenarnya bukan bentuk pelanggaran terhadap perintah Presiden. Presiden Jokowi hanya mengatakan bahwa pembelian helikopter VVIP belum diperlukan, tetapi AW 101 yang dibeli merupakan helikopter berjenis angkutan dan bukan VVIP.

“Barangnya (helikopter) sudah datang, mau diapain? Kalau kita udah bayar, (terus gak jadi) jadi sengketa nanti,” paparnya.

Senada dengan Andreas, Tubagus Hasanuddin selaku anggota Komisi I DPR RI juga mengatakan pembelian helikopter tersebut diajukan untuk VVIP dan bukan alat angkut berat. Namun, pembelian tersebut akhirnya tetap dipaksakan, meski sudah mendapat penolakan dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

“Setahu saya AW 101 itu, kita di DPR membahasnya, tapi tidak dibicarakan di sini bahwa pengajuan/pengadaan heli angkut berat. Waktu itu kita gak tahu jenisnya apa karena tidak bisa DPR menanyakan ‘apa’ sebelum tender. Setelah disepakati membeli heli angkut berat, baru mereka kembali ke markas melakukan tender. Baru kami tahu bahwa akan membeli AW 101 itu dari koran, kemudian direncanakan untuk VVIP. Kemudian Presiden tidak berkenan, Presiden meminta untuk tetap membeli produk dalam negeri dari PTDI jenis 737 angkut berat,” ujarnya.

Hadi Tjahjanto selaku kepala staf Angkatan Udara Republik Indonesia hari ini mengkonfirmasi bahwa helikopter AU101 sudah datang dan berada di landasan udara Halim Perdana Kusuma.

“Ya, saya memang mendapat laporan barangnya sudah datang. Ya lokasinya tentu berada di Halim,” kata Hadi di Kompleks Senayan.

Terkait apakah pembelian helikopter seharga 55 juta dolar AS per unit ini akan dibatalkan atau tidak, Hadi mengaku tidak bisa menyimpulkan sekarang.

“Ya kesimpulannya nanti setelah data-data itu lengkap, ya ‘kan saya melihatnya secara komprehensif,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait HELIKOPTER AW 101 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Agung DH