Menuju konten utama

Corona dan Produk Impor, Kombinasi Suntik Mati Industri Tekstil RI

Industri tekstil Indonesia sekarat dan mungkin tak bertahan lama. Serbuan barang impor, regulasi, dan Corona jadi penyebabnya.

Corona dan Produk Impor, Kombinasi Suntik Mati Industri Tekstil RI
Pedagang pakaian menata dagangannya di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (25/7/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama.

tirto.id - Sudah sejak lama pakaian jadi impor membanjiri pasar Indonesia. Mulai dari pakaian anak, hijab, gamis, sampai piyama. Semua tersedia dengan harga 'miring'.

Di Pasar Baru Trade Center, Kota Bandung, Jumat (21/8/2020) lalu reporter Tirto mendapati blus impor dari Cina dijual dengan harga Rp35-50 ribu. Ada pula beberapa gamis beragam corak yang juga ber-handtag ‘Made In China’. Ada pula pakaian dalam perempuan asal Cina yang harganya sangat murah.

Memang ada produk lokal, dari daster sampai kerudung, namun jumlah dan ragamnya kurang banyak dibanding produk impor.

Pasar Baru tentu hanya satu dari sekian banyak pasar di dalam negeri yang kebanjiran produk tekstil impor. Badan Pusat Statistik (BPS, hlm 5) menyebut impor 'clothing' tahun lalu sebanyak 102.996.198 kilogram dengan nilai 995.094.224 dolar AS. Sementara pada Januari sampai Mei lalu jumlahnya sebanyak 33.497.827 kilogram dengan nilai 348.089.647 dolar AS.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengatakan produk impor ada di mana-mana. “Bukan hanya di Tanah Abang dan Mangga Dua, tapi di Pasar Baru Bandung, Solo ada, dan itu sepertinya membanjiri seluruh Indonesia,” katanya kepada reporter Tirto, Senin (24/8/2020). “Kondisi ini sebenarnya sudah terjadi bertahun-tahun. Bedanya, sekarang daya beli turun.”

‘Banjir’ ini dapat terjadi karena Indonesia tidak memiliki batas kuota pakaian jadi impor, katanya. Situasi ini, jika dibiarkan, tentu dapat mempersulit produk lokal bersaing. “Jadi memang regulasinya yang harus dibenahi,” katanya.

Jemmy mengatakan banyak tekstil dan produk tekstil (TPT) impor itu berasal dari Cina yang sebenarnya sudah ditolak beberapa negara lain karena alasan kesehatan.

Lebih detail, ia mengatakan regulasi yang dimaksud adalah “pembatasan dalam bentuk kuota impor”. “Jadi berapa banyak sih yang boleh diimpor, berapa banyak baju yang boleh masuk ke Indonesia dalam setahun. Ini kayaknya harus segera dibatasi, kalau enggak dibatasi, akan rusak, terutama untuk market masyarakat bawah.”

“Kalau pemerintah tidak membatasi produk, ya buat apa mereka kasih subsidi Rp600 ke pekerja?” tambahnya.

Pemerintah sebetulnya sudah punya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.77/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag No.85/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Namun beleid tersebut tidak mengatur detail ketentuan pemberian izin impor oleh Kementerian Perdagangan.

Sulit Bertahan

Masalah industri tekstil Indonesia saat tak hanya produk impor, tapi juga pandemi Corona COVID-19.

Pelonggaran Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak membuat industri tekstil kembali hidup. Banyak pengusaha yang kehabisan modal untuk membayar upah dan pembayaran cicilan dan bunga bank. Akhirnya, para pekerja di PHK.

“Kondisinya sejak Maret lalu ada 2 juta orang yang ter-PHK di sektor ini, tapi 1,2 juta sudah dipekerjakan kembali,” kata Jemmy.

Ia berharap situasi segera berubah. Para pengusaha, katanya, berharap kondisi jelang Lebaran tahun depan, yang jatuh pada awal Mei, lebih stabil dari tahun ini.

Menurut ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, persoalan mendasar dari industri ini adalah “regulasi-regulasi yang ada malah membunuh industri TPT.” Jadi ini telah terjadi jauh sebelum merebaknya virus Corona, meski memang pandemi memperparahnya.

Pangkal dari permasalahan yang dihadapi industri tekstil adalah tarif bea masuk bahan baku yang tinggi, sedangkan pakaian jadi tak dikenakan biaya. Akhirnya harga di pasaran tak kompetitif. Orang-orang lebih memilih baju impor yang lebih murah.

“Di dalam negeri kalah bersaing dengan produk garmen impor,” katanya dalam sebuah diskusi, Selasa (18/8/2020) lalu.

Solusi ketika pasar dalam negeri mentok adalah ekspor. Tapi lagi-lagi ia terganjal dengan bea bahan baku yang tingi. “Kalau pun bisa mengekspor, pasti daya saingnya rendah karena harga bahan baku yang diimpor tidak kompetitif.”

Data menunjukkan itu. “Rata-rata pertumbuhan ekspor tekstil selama 10 tahun terakhir hanya 3 persen, sedangkan impor tumbuh 10,4 persen,” katanya. Maret lalu, ekspor TPT bahkan anjlok sampai 60 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Atas dasar ini semua Enny memprediksi industri mungkin tak bertahan hingga akhir tahun jika tak ada pembenahan dari sisi regulasi.

“Kalau tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk membangun keterkaitan industri dari hulu ke hilir, maka semua kebijakan hanya retorika. Lama-lama industri TPT bukan cuma merosot, malahan bisa habis,” katanya.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI TEKSTIL atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino