tirto.id - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu mencatat impor barang untuk penanggulangan COVID-19 telah mencapai Rp2,74 triliun. Impor itu meliputi peralatan kesehatan seperti Alat Pelindung Diri (APD), alat test kit, obat-obatan sampai masker.
Jumlah komoditas impor terbesar adalah masker dengan 106 juta pcs dari berbagai negara.
“Berdasarkan data hingga tanggal 19 Mei 2020, fasilitas fiskal impor barang untuk penanggulangan COVID-19 telah diberikan dengan total nilai impor mencapai Rp2.746.789.886.242,21,” ucap DJBC dalam keterangan tertulis, Rabu (27/5/2020).
Semua barang impor ini tercatat memperoleh fasilitas fiskal impor dalam rangka penanganan COVID-19. Fasilitas yang diberikan dari skema tersebut berupa pembebasan bea masuk (BM) dan cukai, tidak dipungut PPN dan PPnBM, dan dikecualikan dari pajak penghasilan dalam rangka impor atau PPh 22.
Terhitung sejak 13 Maret 2020 – 19 Mei 2020, total fasilitas fiskal yang diberikan mencapai Rp602.611.433.446 atau Rp602,61 miliar. Rinciannya, pembebasan bea masuk sebesar Rp258.914.186.623 atau Rp258 miliar, tidak dipungut PPn dan PPnBM sebesar Rp239.704.964.515 atau Rp239 miliar, dan dikecualikan dari pungutan PPh 22 sebesar Rp103.992.282.308 atau Rp103 miliar.
Di luar itu, ada fasilitas impor untuk Kawasan Berikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Sejak 1 April 2020 hingga 26 April 2020, total nilai insentif fiskal berupa pembebasan PPh Pasal 22 mencapai Rp882.637.858.209 atau Rp882,63 miliar.
Kendati demikian, tingginya impor barang penanggulangan COVID-19 juga membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional gigit jari. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sempat kecewa karena pemerintah tidak memprioritaskan penggunaan APD produksi dalam negeri.
Dampaknya dikhawatirkan malah memukul perusahaan tekstil dalam negeri. Imbasnya pun akan terasa pada tenaga kerja yang terlibat.
“Padahal, di tengah pandemi COVID-19 ini, produksi APD bisa membantu kondisi keuangan perusahaan terutama untuk membayar gaji karyawan, walau pun ini hanya sekitar 3%-5% dari total produksi yang biasa dilakukan dalam keadaan normal,” ucap Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta dalam keterangan tertulis, Selasa (19/5/2020).
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium di Indonesia (Gakeslab) Randy H Teguh pernah menyampaikan protes atas kebijakan relaksasi impor dalam rangka penanganan COVID-19. Sebabnya, importasi belakangan boleh dilakukan hampir seluruh perusahaan.
Namun, mereka sendiri masih kerap mengalami kesulitan saat ingin melakukan importasi. Menurut Randy, anggota Gakeslab sudah memiliki pengalaman dan jaringan yang seharusnya bisa memanfaatkan untuk memperoleh barang impor alkes.
“Tapi jangan lupakan kami yang sudah punya kemampuan pasti dan network dalam impor tapi malah tidak mendapat akses yang cukup,” ucap Randy dalam rapat Dengar Pendapat (RDP) virtual bersama Komisi IX DPR RI, Rabu (8/4/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri