tirto.id - Tidak sulit menemukan coklat semurah cap Jago di zaman orde baru. Harganya cuma Rp 100 perak saja. Anak-anak kecil Indonesia dari golongan kromo masih bisa membelinya. Untuk membelinya pun tak perlu ke pusat kota, warung-warung di kampung menyediakannya di dalam toples. Ada yang bentuknya bulat maupun kotak.
Tak diketahui secara pasti sejak kapan coklat cap Jago mulai beredar di pasaran Indonesia. Coklat ini adalah produksi PT Perusahaan Industri Ceres, Bandung. Ceres tak hanya memproduksi coklat cap Ayam Jago saja, melainkan produk-produk lain yang cukup legendaris. Grup Ceres adalah produsen coklat Silver Queen, Ritz, Delfi, Chunky, wafer Briko, Top, biskuit Selamat, dan tentunya meises Ceres.
Sebagai pabrikan coklat, Ceres sudah eksis sebagai pabrik coklat sejak zaman kolonial. Tapi bukan pabrik dengan mesin-mesin besar, melainkan pabrik coklat rumahan. Buku 50 Great Bussines Ideas form Indonesia (2010) yang disusun M Ma'ruf, menyebut pabrik coklat rumahan yang berada di kota Garut itu berada di bawah bendera NV Ceres. Pemiliknya orang Belanda. Menjelang datangnya serdadu-serdadu Jepang pada 1942, orang Belanda yang hendak kabur meninggalkan Garut itu, ingin menguangkan asetnya dengan harga murah. Salah satu aset tersebut adalah NV Ceres. Orang beruntung yang membeli pabrik coklat ini adalah Ming Chee Chuang, seorang laki-laki asal Burma. Menurut artikel berjudul "Chocolate Craving" yang ditulis Forbes (26/08/2006), Ming Chee Chuang lari dari Burma dan menetap di Bandung di zaman kolonial.
Setelah masa-masa suram bagi dunia bisnis era revolusi (1945-1949), Chuang bisa berbisnis coklat dengan tenang. Pada 1950, Chuang tak lupa mengganti nama NV Ceres menjadi PT Perusahaan Industri Ceres.
Di tahun-tahun pertama bisnis coklatnya, menurut catatan Ahmad Fuad Afdhal dalam Mitos-mitos Bisnis: Antara Fakta dan Teori (2004:127), Ceres memakai merek Ritz untuk biskuit wafer dan coklat yang mereka produksi pada 1951. Namun, Nabisco Foods lalu mengklaim merek itu. Biskuit wafer RITZ sendiri sudah dirintis sejak 1949 oleh pengusaha Belanda. Pada akhirnya, merek Ritz menjadi milik Ceres.
Pada tahun 1950an, menurut laman Petrafoods, produk Silver Queen dan Ceres sudah menjadi brand. Silver Queen, belakangan terkenal sebagai coklat yang cukup diminati anak muda. Di masa lalu iklannya menyebut: “Bukan Hidup untuk makan segala macam coklat. Juga bukan makan coklat untuk hidup. Akan tetapi hidup sekali untuk menikmati rasa coklat Silver Queen.”
Silver Queen yang merupakan campuran coklat dengan mede itu, menurut Ma'ruf, lahir karena membuat coklat batangan di tahun 1950an adalah mustahil di negara tropis. Belum ada teknologi yang mendukung. “Chuang tidak kekurangan akal. Dia mencampur adonan coklat dengan kacang mede yang membuat coklat batangan seperti beton bertulang kuat dan akhinya membuat Silver Queen unik,” tulis Ma'ruf.
Pada tahun 1950-an, pemerintah mengeluarkan Program Benteng. Program itu dikeluarkan karena banyak perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak berstatus perusahaan asing. Saat itu, keterlibatan juga geliat orang Indonesia non-Tionghoa atau non-Arab masih terhitung kecil. Para pedagang dari kalangan pribumi diberikan fasilitas khusus.
Chuang, yang dari namanya saja sudah jelas tak tergolong pribumi, jelas tak mendapat fasilitas enak Program Benteng itu. Namun, bukan berarti bisnisnya tak maju. Tahun 1950an bukan dekade suram bisnisnya, sebagai pebisnis coklat yang dianggap berasal dari Burma—yang kini dikenal sebagai Myanmar. Coklatnya cukup dikenal. Tak hanya di Garut, tapi di pertengahan 1950an sampai juga ke Bandung.
“Saat Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dia (Chuang) mendapat order coklat cukup banyak untuk dihidangkan dalam acara akbar itu dan kemudian memindahkan pabriknya dari Garut ke Bandung,” tulis M .Ma'ruf. Chuang dianggap ahli dalam membuat coklat enak.“Konon, saking lezatnya Presiden Sukarno hanya mau memakan coklat buatan Chuang. Coklat racikan itu sebenarnya sederhana, berbahan kakao, gula susu yang diaduk-aduk. Tak ada yang istimewa dari cara Chuang membuat coklat yang lezat. Hanya saja memainkan temperatur pada alat-alat pemanas coklat,” lanjut Ma'ruf.
Ming Chee Chuang mewariskan Ceres kepada anak-anaknya. Harmanto Edy Djatmiko dalam Raja yang Pemalu di majalah Swa (09/10/2008) menyebut anak laki-laki tertuanya, John Chuang, belakangan menjadi CEO yang mengendalikan perusahaan, termasuk mengontrol keuangannya, dari kantor pusatnya di Singapura. Joseph Chuang mengurusi komunikasi dengan peritel, sementara William Chuang, lebih banyak mengurusi food service dan urusan pabrik.
Sejak 1984, menurut laman Petrafoods, anak-anak Chuang mendirikan Petra Food dan kantor pusatnya berada di Singapura. PT Ceres termasuk salah satu anak perusahaan Petra Food. Tahun 1987, Keluarga Chuang mulai terlibat distribusi merek ketiga di Indonesia. Tahun berikutnya, 1988, mulai berbisnis coklat di Filipina—termasuk dalam pengadaan dan pengolahan coklat. Tahun 1989, pengadaan bahan baku dilakukan di Thailand.
Kerja sama dengan industrialis Jepang maupun negara lain tentu saja dilakoni dalam pengembangan produk. Iklan-iklan produk dari keluarga Chuang ini kerap bersliweran di televisi-televisi Indonesia hingga beberapa tahun terakhir ini. Meski menurut buku Ekonomi Indonesia, Masalah dan Prospek 1988/1989 (1988:189) “mengkonsumsi cokelat di Indonesia masih sangat rendah dan belum merupakan barang konsumsi pokok dalam kehidupan sehari-hari,” akan tetapi Ceres terus bertahan dan kini menjadi produsen coklat nomor tiga dunia.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti